"Laa haula wala quwata illa billah." Calvin bergumam lirih, menggenggam tangan Clara.
Dua orang suster mendorong brankar ke ruang operasi. Tindakan medis terpaksa diambil: operasi caesar. Sebenarnya Clara enggan. Ingin merasakan proses persalinan secara normal. Namun sudah tak memungkinkan lagi.
"Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Rasa sakitmu, rasa sakitku juga. Aku mencintaimu, Clara."
Sepasang mata sipit bening meneduhkan itu memancarkan kelembutan. Kelembutan yang menenangkan hati. Clara merasa tenang di bawah tatapan itu. Hatinya terasa dikuatkan. Ia pasti mampu melewati semua ini. Sebelum Clara masuk ruang operasi, Calvin mencium keningnya. Menggenggam tangannya erat. Menyalurkan kekuatan.
Pintu tertutup rapat. Calvin resah, Calvin gelisah. Blogger, peragawan, dan petinggi perusahaan super tampan itu tak dapat menahan kecemasannya. Dalam hati ia terus berdoa. Meski janin di rahim Clara bukan anak kandungnya, meski bukan darah dagingnya, ia telah berjanji untuk mencintai anak itu sepenuh hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih. Maka, Calvin pun mendoakan kelahiran anak itu dengan selamat dan sehat.
Beberapa orang berlarian di koridor ruang operasi. Mereka menghampiri Calvin, beberapa di antaranya langsung menjatuhkan diri di kursi. Panik dan kelelahan.
"Calvin, mendadak sekali." Silvi terengah, merapikan rambutnya.
"Iya. Itu pula yang ingin kutanyakan. Bbukankah prediksinya seminggu lagi?" tukas Sarah penasaran.
"Entahlah. Rencana Allah lebih cepat dibanding prediksi dokter." jawab Calvin diplomatis.
Silvi meliriknya dari ekor mata. Seperti biasa, selalu begitu. Lama mengenal Calvin, Silvi paham banyak hal tentangnya. Calvin menangkap lirikan mata Silvi. Perasaannya tak menentu. Seperti ada sepasang mata lain tak kelihatan yang mengerlingnya.
"Mengapa harus caesar? Memangnya Clara tak cukup kuat untuk melahirkan secara normal?" Anton melontarkan pertanyaan, memuaskan rasa ingin tahunya.