Mata Clara berkaca-kaca. Wanita priyayi berdarah campuran Jawa-Belanda itu sangat jarang menangis. Percayalah, air matanya hari ini adalah air mata kebahagiaan.
"Anak cantik itu anakmu juga, Calvin." bisik Clara.
Perlahan Calvin mengalihkan pandang. Dilihatnya Albert tengah menggendong bayi cantik itu. Mengusap-usap kepalanya. Membisikkan sesuatu. Hati Calvin terasa perih. Realitanya, bayi cantik itu darah daging Albert. Sama sekali tak ada darah Calvin mengalir di tubuhnya. Mana mungkin pria infertil pengidap Sindroma Hughes seperti dirinya mampu memiliki keturunan? Teringat pahitnya kenyataan, hati Calvin makin sakit.
Sesaat kemudian Albert menyerahkan bayi cantik itu ke tangan Calvin. Dengan lembut, Calvin menggendongnya. Memperlakukannya dengan penuh kasih. Sekarang ia telah menjadi seorang ayah. Ayah tiri dari anak perempuan berparas jelita. Bagaimana bila kelak anak itu tahu siapa ayah kandungnya? Mendapati ayah kandungnya ternyata seorang rohaniwan Katolik yang hidup selibat, pastilah anak itu akan terpukul sekali.
"Jagalah dia. Cintai dia. Besarkan dia dengan cinta dan kasih. Aku percaya, kamu bisa melakukannya." pinta Albert.
"Aku akan berusaha yang terbaik. Terima kasih, Albert." janji Calvin.
Bukan Calvin Wan namanya bila inkonsisten. Dia akan memegang janjinya. Apa pun yang terjadi.
Meski demikian, tak dapat diingkari rasa sakit menyusup di hati. Calvin sakit dan terluka melihat wajah bayi cantik dalam gendongannya. Andai saja bayi cantik ini darah dagingnya. Andai saja ia mampu memiliki keturunan. Andai saja penyakit itu tak pernah menggerogoti tubuhnya. Ia takkan perlu meminta seorang calon Pastor untuk memberikan benihnya yang terbaik.
Hati Calvin teriris kesedihan. Ia sangat tampan, sangat kaya, punya segalanya. Hanya satu yang tak ia miliki: keturunan. Calvin tak berdaya, sungguh tak berdaya.
** Â Â Â
Aku bukan aku yang dulu