Bukan Calvin Wan namanya bila tak bisa sabar. Dari mana pula adiknya tahu dia ada di sini? Adica memang paling jago kalau memata-matai orang.
"Silvi maunya Cheongsam atau Klederdracht ya?"
Adica tertawa, kali ini malah menyebut pakaian adat China dan pakaian adat Belanda. Menghela nafas sabar, Calvin tetap memfokuskan pandangannya ke arah Anton dan Silvi. Begitu fokusnya sampai-sampai ia tak menyadari ada aliran darah segarr dari hidungnya. Tetesan darah membasahi kemeja putihnya, sempurna menciptakan noda merah besar di atas warna putih. Darah itu, seharusnya tak boleh mengalir.
** Â Â Â
Tersenyum di balik masker oksigennya. Ia berada di sini lagi, di ruangan putih pucat ini lagi. Pelan-pelan tangannya terangkat. Melepas masker oksigen. Sudah beberapa hari ia terbaring di sini. Peralatan medis mengelilinginya, paramedis menjaganya, Adica menemaninya.
Selama beberapa hari, Calvin tak bertemu Silvi. Silvi tak datang menjenguknya. Entah apatis, entah tidak tahu keadaannya. Mungkin pula Silvi terlalu sibuk bersama pangeran es itu.
Di paviliun mewah sebuah rumah sakit internasional, penuh fasilitas lengkap dan dikelilingi orang-orang yang memperhatikan, Calvin berusaha menikmatinya. Calvin berterima kasih pada Adica, adik yang selalu setia menemaninya. Tidak terkalahkan oleh penyakit, Calvin merenungkan hal apa saja yang bisa dilakukannya dalam kesakitan dan kesepian. Perenungannya membawa pada berbagai jawaban. Alhasil, Calvin berusaha menikmati segala rasa sakitnya dengan membaca buku, menonton film, dan menulis artikel di media citizen journalism itu. Rasa sakit itu ia taklukkan dengan caranya sendiri.
"Film action lagi..." komentar Adica, melempar pandang penuh arti ke layar plasma.
"Yups. Favoritku."
"Hmm...novel detektif jadi favoritmu, sekarang film action jadi kesukaanmu. Tapi kamu hebat. Kamu bisa melawan rasa sakit dengan caramu sendiri."
Entah itu sekadar pujian atau benar-benar tulus. Adica menarik kursi ke dekat ranjang, lalu mengenyakkan tubuh di atasnya.