"Kuharap darah ini tidak mengalir lagi di tanganmu."
Clara mengecup tangan Calvin. Matanya memerah, habis menangis. Sisa air mata membekas di wajahnya yang cantik.
Sedetik kemudian, Calvin menggenggam tangan Clara. Membelainya lembut. Mata teduhnya menatapi mata bening wanita itu.
"Clara, terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkanku." bisik Calvin.
"Sama-sama." Clara tersenyum kecil, menarik kursi ke dekat tempat tidur. Lalu mengenyakkan tubuh di atasnya.
"Aku kaget sekali ketika melihatmu mencoba bunuh diri. Darah berceceran dimana-mana...pisau di tanganmu... dan rona pucat di wajahmu. Aku khawatir padamu, Calvin. Sungguh."
Hening sesaat. Paviliun rumah sakit dengan fasilitas lengkap dan mewah itu diliputi keheningan berbalut cinta. Cinta yang sesungguhnya terlarang. Asmara terlarang antara psikolog dan kliennya. Mengapa terlarang? Sesungguhnya sang psikolog cantik sudah ada yang punya.
"Kamu mengkhawatirkanku?" ulang Calvin setengah tak percaya.
"Iya. Aku takut nyawamu tak tertolong. Aku takut sudah terlambat menyelamatkanmu."
Ada yang mengkhawatirkannya. Ada yang peduli padanya. Hati Calvin trenyuh.
"Clara, boleh aku minta tolong padamu?" tanya Calvin.
"Sure..." sahut Clara, tersenyum anggun.
"Tolong ambilkan tab-ku. Aku ingin menulis. Aku ingin one day one article."
Luar biasa. Dalam kondisi sakit, Calvin masih bersemangat one day one article di media jurnalisme warga itu. Mempertahankan komitmen dalam keadaan sakit.
Clara mengambil tab milik Calvin. Menyerahkannya disertai senyum tulus. Ada cinta dalam sorot matanya. Ada kekaguman di balik senyumnya.
"Kamu hebat, Calvin. Why are you so adorable?" puji Clara.
"Tidak, Clara. Biasa saja. Hanya sekadar berbagi," Calvin menyebut kalimat terakhir yang biasa dia gunakan sebagai penutup tulisannya.
Kekaguman mengaliri hati Clara. Wanita Aries kelahiran 16 April yang pernah menjadi model waktu kecil itu amat mengagumi Calvin. Bukan sekadar mengagumi, tapi mencintainya. Ah cinta itu sesungguhnya terlarang. Bagaimana jika Adica sampai tahu?
Menatap seraut wajah tampan itu lama-lama. Membingkainya dalam jiwa. Menikmati teduhnya mata itu. Mengamati gerakan lincah jemari tangan Calvin menyusun rangkaian kata menjadi sebuah artikel. Clara betah melakukannya. Tak juga jemu, tak juga ingin beranjak. Bolehkah waktu berhenti?
"800 juta pekerjaan yang akan diotomatisasi tahun 2030?" Clara membaca artikel yang baru setengahnya itu, ketertarikannya bangkit.
"Iya, Clara. Itu berdasarkan skenario pesimis. Skenario optimisnya 400 juta." Calvin menjelaskan.
Clara mengangguk paham. Lagi-lagi memberi tatapan kagum pada klien istimewanya itu. Calvin mau menulis lagi, setelah percobaan bunuh diri untuk kesekian kalinya. Sebuah kemajuan besar. Clara berharap, komitmen one day one article itu mampu mengembalikan semangat hidup Calvin seutuhnya.
"Aku beruntung bisa mengenalmu, Calvin. Mengapa dulu aku membencimu? Mengapa aku harus memusuhimu secara sepihak? Maafkan aku ya," ungkap Clara.
Calvin tersenyum menawan. Tak tahan untuk mengulurkan tangan dan mengacak rambut Clara. Sebuah tindakan impulsif yang membuat si psikolog cantik berteriak gemas. Perlahan merapikan kembali rambutnya yang berantakan.
"Tidak apa-apa. Itulah gunanya saling mengenal." kata Calvin menenteramkan.
"Seharusnya aku tak perlu memusuhimu, Calvin. Kini aku sadar...orang yang selama ini kumusuhi sangatlah mengagumkan."
Hati Calvin berdesir. Kata-kata lembut itu keluar dari orang yang pernah memusuhinya. Seseorang yang mempedulikannya, menyelamatkannya dari percobaan bunuh diri. Seorang wanita yang mendapat tempat spesial di hatinya, wanita yang ia cintai.
"Jika kamu mengagumiku..." Calvin bergerak dari tempat tidurnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Clara.
"Aku mencintaimu. Clara Carolina, I love you."
Betapa magisnya kata cinta. Mengandung kekuatan luar biasa. Energi hati berpadu dengan energi cinta. Sesungguhnya, hati Calvin dan Clara telah menyatu.
"Calvin..." panggil Clara halus.
"Ingin sekali kukatakan hal yang sama padamu. Aku...aku juga mencintaimu, Calvin Wan."
Dua pasang mata beradu pandang. Lembut, tulus, penuh cinta. Cinta ini terlarang. Bila mereka saling mencintai, akan ada dua hati yang tersakiti.
Namun, cinta berada di luar logika. Cinta tak bisa disalahkan. Terlarang atau bukan, cinta tetaplah cinta. Rasa yang tercipta dari hati, anugerah Tuhan yang begitu indah.
Calvin dan Clara berpelukan. Hangat mengalir di tubuh Clara, hangat yang sama menjalari tubuh Calvin. Cinta di hati mereka tak mungkin tersembunyi lagi. Meski terlarang, meski mereka tidak mungkin bersatu.
"Bagaimana jika Adica tahu?" desis Clara.
"Suatu saat nanti, kita harus jujur. Kita tak bisa menyembunyikan cinta ini selamanya."
Sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa cinta mereka terlarang. Tak bisa lama-lama disembunyikan.
"Calvin, masih mungkinkah kita bersatu?" Clara bertanya lagi.
"Nothing impossible. Sayangnya...kamu kekasih adikku. Mencintaimu sama saja merebut kebahagiaan adik kandungku sendiri. Kamu tahu? Adica sangat mencintaimu."
Bolehkah, sekali saja cinta menunjukkan keegoisannya? Tanpa sadar Clara mempererat pelukannya di tubuh Calvin. Menatap dalam-dalam mata pria tampan itu.
Tatapan Clara menghanyutkan hati Calvin. Rengkuhannya bertambah erat. Mempersempit jarak di antara mereka, Calvin kembali melakukan sesuatu yang menciptakan desir hangat di hati Clara: French Kiss. Ya, Calvin Wan mencium Clara Carolina.
Calvin menekan lembut bibir Clara dengan bibirnya. Mata Clara terpejam, menikmati sensasi hangat nan lembut menyapu bibir indahnya. Bahagianya bisa sedekat ini dengan orang yang dicintai. Merasakan eratnya pelukan, hangatnya ciuman, dan teduhnya tatapan mata.
Mencium Clara membangkitkan bahagia di hati Calvin. Kehangatan itu, kelembutan itu, sensasi yang persis sama saat ia mencium Angel. Seolah Angel kembali hidup dalam sosok Clara. Calvin merindukan Angel, putri angkatnya yang telah meninggal. Kerinduannya justru tertebus dengan hadirnya Clara.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama Calvin dan Clara masih bersama, semuanya akan baik-baik saja. Dunia serasa indah. Dunia bagai milik berdua. Takkan ada yang bisa memisahkan mereka.
Tapi, benarkah begitu? Keliru besar. Lewat celah pintu yang terbuka, sepasang mata biru menatap mereka dengan kilatan api cemburu. Sepasang mata biru itu milik Silvi.
** Â Â Â
Pencemburu, satu sifat bawaan Silvi yang melekat kuat. Namun ia cemburu karena cinta. Bukan cemburu berlebihan dan tak beralasan. Jika Silvi sudah mencintai atau menyayangi seseorang, jangan heran bila ia akan cemburu pada orang-orang yang spesial baginya. Kali ini, dia cemburu melihat pria yang dicintainya mencium wanita lain. Terlebih wanita itu kakaknya sendiri.
Calvin berpelukan dan berciuman dengan Clara. Sakit, sungguh sakit melihatnya. Feelingnya benar. Calvin dan Clara saling mencintai. Pria tampan itu tak pernah membalas cinta Silvi.
Silvi pun tak mengerti mengapa ia bisa mencintai Calvin. Yang diketahuinya, ia mencintai Calvin tanpa perlu alasan. Itu saja. Ironisnya, perasaan Silvi tak berbalas. Calvin hanya mencintai Clara.
Di sebuah novel, ia pernah membaca quotes yang sangat inspiratif. Cinta itu, senang melihat orang yang kita cintai, bahagia. Bahagiakah Silvi melihat Calvin bersama Clara? Jawabannya: tidak. Tak mau munafik, Silvi mengaku dirinya tak bahagia. Lalu, bukankah cinta Calvin-Clara sesungguhnya terlarang? Clara milik Adica. Tak sepantasnya Calvin merebut kebahagiaan adiknya sendiri.
Seperempat jam kemudian, Adica datang. Ia mendapati Silvi duduk di bangku, matanya berkaca-kaca.
"Hei...kamu kenapa, Silvi?" tanya Adica penuh perhatian.
Silvi tak menjawab. Hanya menyeka matanya.
"Matamu sakit?"
Silvi menggelengkan kepalanya. Sekali lagi menyapu sisa air mata.
"Kamu ingin ketemu Calvin tapi masih ada Clara di dalam?"
Lagi-lagi Silvi menggeleng kaku. Adica menghela napas, kebingungan dengan jalan pikiran gadis itu.
"Kamu cemburu?"
Kali ini Silvi mengangguk. Ya, dia memang cemburu. Love will never without jealousy.
"Apa yang mereka lakukan?"
"Calvin mencium Clara."
Detik berikutnya, Adica terhenyak. Sudah ia duga. Cepat atau lambat, hal ini pasti terjadi. Tak bisa lagi dihindari.
"Sabar ya..." kata Adica seraya menepuk pundak Silvi.
"Harusnya aku yang bilang begitu. Tidakkah kamu sakit hati melihat kekasihmu mendua dengan kakakmu sendiri?" tanya Silvi skeptis.
Pertanyaan yang menusuk hati. Adica menggigit bibirnya.
"Sakit...sakit sekali. Menyakitkan saat aku tahu kakakku dan kekasihku diam-diam saling mencintai. Apa saja yang mereka lakukan di belakangku, aku sudah tak peduli. Hanya rasa sakitnya yang masih kupikirkan sampai saat ini."
"I see. Mungkin kamu harus menerima kenyataan."
Kenyataan itu terlalu pedih untuk diterima. Siapa yang mau melihat kekasihnya berselingkuh dengan saudaranya sendiri? Sungguh ironis.
"Silvi, kita adalah korban. Korban dari kejamnya cinta." ujar Adica.
Kepala Silvi tertunduk. Betul apa kata Adica. Mereka berdua adalah korban. Cinta, di satu waktu bisa sangat indah. Di waktu lainnya bisa teramat kejam.
** Â Â Â Â
Katakan tidak pada selingkuh
Katakan tidak pada mendua
Katakan tidak pada semua yang sudah memiliki kekasih
Katakan tidak pada berdusta
Katakan tidak tebar pesona
Katakan tidak pada lainnya
Cukup aku satu (Afgan-Katakan Tidak).
** Â Â Â
"Maaf aku terlambat. Tadi aku menenangkan temanku yang baru memergoki kekasihnya selingkuh."
Adica sengaja menggunakan penekanan khusus pada kata 'selingkuh'. Sorot matanya begitu tajam saat menatapi wajah Calvin. Hal itu membuat Calvin, Clara, dan Silvi waswas. Mungkinkah Adica sudah tahu?
"Selingkuh? Jahat sekali...pasti temanmu sedih." Clara memaksakan nada suaranya setenang mungkin saat mengatakannya.
"Oh jelas, dia sangat terpukul. Katanya, dia takkan memaafkan kekasih dan selingkuhannya. Mereka jadi pengkhianat di matanya." tukas Adica sarkastik.
Ekspresi bersalah melintas di wajah Clara dan Calvin. Justru itulah yang menguak segalanya. Adica dan Silvi lebih mudah mendeteksinya. Ada gelagat tak biasa, ada ketidakberesan di sana.
"So, apa yang kamu lakukan untuk menghibur temanmu?" Calvin bertanya.
"Kukatakan saja, bahwa suatu saat nanti dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik. Orang baik akan mendapatkan pasangan yang baik. Perselingkuhan yang dilakukan kekasihnya hanyalah cobaan sebelum dia mendapatkan yang terbaik."
Silvi menundukkan wajah. Amat memahami situasi ini. Galaunya Calvin dan Clara, fakta perselingkuhan terselubung, dan kenyataan menyakitkan tentang Adica dan dirinya sendiri. Selingkuh itu kelihatannya saja indah, tapi menyakitkan sekali.
Ingin rasanya Silvi bertukar jiwa dengan Clara. Agar ia tahu bagaimana rasanya dicintai Calvin. Silvi tak ingin lagi menjadi Silvi, melainkan ia ingin menjadi wanita lain. Ingin bertukar posisi dengan Clara.
"Kalau kekasihku yang berselingkuh, sudah kuputuskan dia. Tidak akan kumaafkan dia dan selingkuhannya." lanjut Adica.
Tertangkap getar kemarahan dalam suaranya. Tatapannya pun memancarkan emosi yang lebih dalam. Tatapannya berubah tajam saat mengarah pada Calvin. Refleks Calvin menundukkan wajahnya. Betapa tidak enaknya menjadi pria tampan. Selalu tertuduh, selalu dicurigai, dianggap ancaman bagi pria-pria lainnya. Padahal, siapa yang minta terlahir tampan? Ketampanan adalah anugerah, Calvin percaya itu.
Ketampanan Calvin membuat hidupnya tak tenang. Banyak pria iri padanya. Tak sedikit yang takut kekasih mereka akan jatuh cinta pada Calvin. Waktu kuliah, Calvin sering di-bully teman-teman pria karena ia terlalu tampan. Jangan senang dulu saat terlahir tampan dan cantik. Hidup takkan tenang.
Calvin yang tampan sebenarnya lebih cocok bersama Silvi yang cantik. Mereka memiliki banyak kesamaan. Silvi memahami Calvin, sebaliknya Calvin memahami Silvi. Mengapa harus Clara? Dan mengapa bukan Silvi? Celakanya, Calvin sering menghibur Silvi. Ia meyakinkan Silvi akan mendapatkan pengganti yang lebih istimewa.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H