Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama Calvin dan Clara masih bersama, semuanya akan baik-baik saja. Dunia serasa indah. Dunia bagai milik berdua. Takkan ada yang bisa memisahkan mereka.
Tapi, benarkah begitu? Keliru besar. Lewat celah pintu yang terbuka, sepasang mata biru menatap mereka dengan kilatan api cemburu. Sepasang mata biru itu milik Silvi.
** Â Â Â
Pencemburu, satu sifat bawaan Silvi yang melekat kuat. Namun ia cemburu karena cinta. Bukan cemburu berlebihan dan tak beralasan. Jika Silvi sudah mencintai atau menyayangi seseorang, jangan heran bila ia akan cemburu pada orang-orang yang spesial baginya. Kali ini, dia cemburu melihat pria yang dicintainya mencium wanita lain. Terlebih wanita itu kakaknya sendiri.
Calvin berpelukan dan berciuman dengan Clara. Sakit, sungguh sakit melihatnya. Feelingnya benar. Calvin dan Clara saling mencintai. Pria tampan itu tak pernah membalas cinta Silvi.
Silvi pun tak mengerti mengapa ia bisa mencintai Calvin. Yang diketahuinya, ia mencintai Calvin tanpa perlu alasan. Itu saja. Ironisnya, perasaan Silvi tak berbalas. Calvin hanya mencintai Clara.
Di sebuah novel, ia pernah membaca quotes yang sangat inspiratif. Cinta itu, senang melihat orang yang kita cintai, bahagia. Bahagiakah Silvi melihat Calvin bersama Clara? Jawabannya: tidak. Tak mau munafik, Silvi mengaku dirinya tak bahagia. Lalu, bukankah cinta Calvin-Clara sesungguhnya terlarang? Clara milik Adica. Tak sepantasnya Calvin merebut kebahagiaan adiknya sendiri.
Seperempat jam kemudian, Adica datang. Ia mendapati Silvi duduk di bangku, matanya berkaca-kaca.
"Hei...kamu kenapa, Silvi?" tanya Adica penuh perhatian.
Silvi tak menjawab. Hanya menyeka matanya.
"Matamu sakit?"