"Calvin, kamu tahu kan? Albert tidak suka menggoda, tapi tetap menyenangkan. Dia lembut, penurut, baik hati, dan tidak suka berdebat. Tidak keras kepala. Menurutku, dia manis. Bisa menjaga perasaan orang dan tak gengsi meminta maaf duluan. Albert bahkan jauh lebih Islami dari orang-orang Islam sebenarnya. Dia mau mempelajari sesuatu yang tidak disukainya, lalu menjadi suka. Buktinya, dia mau menyanyikan lagu yang kusuka dan pada akhirnya dia sendiri menyukai lagu yang aku suka itu."
Lupakah Calisa bahwa ia tak mungkin lagi mengharapkan Albert kembali? Albert terikat kaul kekal, sementara Calisa sendiri baru saja bertunangan dengan Calvin. Calvin hanya bisa mendengarkan dan menanggapi ungkapan hati Calisa dengan setengah hati.
Bukan hanya jiwanya yang sakit. Perasaan tertekan itu pun berpengaruh pada tubuhnya. Sakit di kepalanya kembali terasa. Seperti ada ribuan jarum jahat yang menusuk dari dalam. Makin lama makin menyakitkan. Refleks ia melepaskan tangannya dari Calisa.
"Calisa, aku ke balkon sebentar." ujar Calvin lirih, lalu bergegas pergi.
Lama setelahnya, Calvin tak juga kembali. Calisa mulai resah. Bisik-bisik para tamu semakin menyudutkannya. Ia resah dan cemas. Diputuskannya untuk menyusul Calvin. Ia tak peduli pada bisikan para tamu undangan yang kontra terhadap pertunangan ini. Prioritasnya adalah kesehatan Calvin. Calisa tahu persis bagaimana keadaan tunangannya.
** Â Â Â
Calvin menyandarkan tubuhnya ke pilar. Rasa sakit di kepalanya terasa kian menyiksa. Kanker ini mengganas di saat yang tidak tepat. Mengapa ia harus sedih dan sakit di hari pertunangannya?
Indahnya balkon luas ini, berikut dengan ornamen-ornamen kayu di beberapa sisinya, tak menyurutkan kesedihan di hati Calvin. Ia sedih, sangat sedih dengan realita ini. Ternyata Calisa masih mencintai Albert. Ia pikir, keputusannya tepat untuk melamar Calisa. Asumsinya, Calisa sudah membuka hati untuk menerima cinta yang baru.
Nyatanya belum. Masih tersisa ruang lebih banyak di hati Calisa untuk Albert. Albert yang egois, dingin, tak pernah punya waktu, dan tak bisa membahagiakan Calisa. Dibandingkan Calvin, Albert jelas tak punya apa-apa. Calvin bukan hanya punya waktu. Ia bisa memberikan kebahagiaan dalam bentuk materi dan kasih sayang yang cukup untuk Calisa. Namun Calisa tak menyadarinya.
Setetes darah jatuh ke lantai. Calvin tahu dari mana darah itu berasal. Tergesa-gesa ia melangkah ke luar balkon. Tepat di samping pintu balkon terdapat wastafel mungil. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan keran. Membiarkan air mengalir, satu tangannya yang lain menyeka darah yang mengaliri hidungnya. Sakit di kepalanya tak sebanding dengan sakit di hatinya. Calvin Wan bukanlah Arif Albert. Harusnya Calisa tahu itu.
Wastafel putih itu ternoda darah. Calvin berusaha menyeka bersih darahnya sendiri. Tepat pada saat itu, terdengar derap langkah disusul suara sopran memanggilnya.