"Albert...?" panggil Calisa perlahan, tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Maaf aku terlambat. Kamu cantik sekali, Karima."
Hati Calisa bergetar hebat. Begitu pula tangannya yang masih digenggam erat oleh Calvin. Calvin merasakan getaran itu. Getaran cintakah? Cinta pada dirinya atau pada Frater tampan di hadapan mereka ini?
"Selamat ya, Karima." ucap Albert, tersenyum lembut.
"Terima kasih. Aku senang kamu mau datang, Albert."
Inilah yang ditakutkan Calvin. Inilah yang membuatnya resah dan sedih tadi pagi. Sudah tepatkah keputusannya? Benarkah Calisa sudah bisa menerima dan mencintainya? Jawabannya terbuka di depan mata: Calisa masih mencintai Albert.
Setelah Albert berlalu dari hadapan mereka, Calisa tak ragu mengutarakan kebahagiaannya. Ia ceritakan semuanya pada Calvin. Seakan Calvin masihlah kakaknya, bukan tunangannya.
"Oh Calvin, aku senang Albert datang. Bahkan dia masih memanggilku dengan nama belakangku, Karima. Persis seperti dulu ketika pertama kali aku mengenalnya. Perlu kamu tahu ya, Calvin Sayang. Albert mengenalku bukan karena buku-bukuku atau prestasiku, tapi dia mengenali pribadiku. Aku bahkan tidak bercerita siapa aku sebenarnya. Dia tahu sendiri."
"I see..." balas Calvin, sesuatu runtuh perlahan di hatinya. Inikah tujuan akhirnya? Pertunangan ini hanya akan berakhir menyakitkan.
"Albert mengagumiku bukan karena prestasi, tapi karena hati dan kepribadianku. Prestasi bisa saja terlupakan, tapi hati dan kepribadian tidak. Sama halnya seperti popularitas. Berbeda denganmu yang pertama kali menyukaiku karena kagum pada prestasiku. Sorry to say...Albert tetaplah belahan jiwaku. Karena dia tidak melihat diriku sebagai Calisa yang terkenal, tapi melihatku sebagai diriku sendiri."
Ucapan Calisa sungguh menusuk perasaan. Tak tahukah Calisa betapa sakitnya hati Calvin? Sakit sekali rasanya dibanding-bandingkan dengan orang lain di masa lalu.