Pagi yang dingin berhujan. Gumpalan awan menutup separuh langit. Suram, sesuram hatinya.
Seharusnya hatinya tak perlu diliputi kesuraman seperti ini. Bukankah hari ini adalah hari bahagianya? Sejatinya, hari pertunangan menjadi momen bahagia bagi mereka yang menjalaninya.
Meski demikian, konvensi tak tertulis ini luput ia rasakan. Bukan sekeping bahagia yang hadir. Melainkan keraguan dan kesakitan.
Keraguan mungkin wajar. Tapi bagaimana dengan kesakitan? Apa yang sesungguhnya terjadi para pria tampan berdarah Tionghoa ini?
"Calvin...kenapa masih di sini? Ayo turun Nak, ini hari bahagiamu."
Seorang pria setengah baya yang masih terlihat gagah dan memancarkan sisa-sisa ketampanan di masa lalu mendekat. Menghampiri putra tunggalnya yang masih berada di posisinya semula. Sofa hitam berbentuk dadu di tengah balkon menjadi saksi bisu kegundahan hati Calvin.
"Sebentar lagi, Pa." jawab Calvin tanpa mengalihkan pandang dari layar laptopnya.
"Hei, what's the matter with you? Anak Papa kok sedih di hari pertunangannya?" Sang Papa, tak lain Tuan Halim si pengusaha sukses itu, duduk di samping putranya. Menatap mata Calvin. Berusaha menyelami isi hati terdalamnya.
Pertanyaan sulit. Bagaimana Calvin harus menjawab? Ada banyak hal yang dipikirkannya. Hatinya dibebani berjuta tanya. Sudah tepatkah keputusannya? Mantapkah hatinya membawa Calisa ke jenjang yang lebih serius? Mengubah adik menjadi tunangan? Tidak sulitkah itu semua?
"Kepalamu masih sakit?" tanya Tuan Halim lagi, kali ini lebih lembut.
"Sedikit. Tapi tidak separah kemarin." Calvin menjawab sekenanya. Enggan berbagi rasa sakit pada orang lain. Ia masih bisa mengatasinya sendiri.