"Mau kubantu merawatnya lagi?" Calvin lembut menawarkan. Disambuti anggukan Silvi.
Rasa letih hilang seketika. Di kantor, Calvin adalah petinggi perusahaan. Di catwalk, ia model profesional. Di cafe, ia penyanyi berbakat. Di rumah, Calvin Wan adalah ayah dan suami yang luar biasa.
"Silvi, kamu tak perlu khawatir akan ditinggalkan olehku." ujar Calvin, memegang halus tangan istrinya.
"Itulah yang selalu kutakutkan."
"Tidak perlu, Sayang. Selama aku masih bisa bernafas, aku akan menjadi mata untukmu."
Pertanyaannya adalah, sampai kapankah Calvin punya waktu untuk hidup lebih lama dan menjadi mata untuk Silvi? Mampukah Calvin Wan yang setia, sabar, dan konsisten itu menaklukkan kanker ginjal yang dideritanya?
Saat Silvi melepaskan genggaman tangannya, Calvin merasakan sakit. Sakit yang datang di saat tidak tepat. Mengapa sakit ini datang ketika dirinya bersama Silvi? Ia belum siap menceritakan penyakitnya pada Silvi.
Calvin sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menggunting batang bunga. Keadaan bertambah rumit saat itu. Hidung Calvin berdarah. Beberapa tetes darahnya menodai kelopak-kelopak putih bunga-bunga cantik itu.
"Ya Allah...jangan sekarang." lirih Calvin tanpa sadar. Merasakan darah terus mengalir dari hidungnya.
** Â Â Â Â
Paris van Java, 13 Oktober 2017