"Hai, Kak Calvin!" sapa kedua anak 11 tahun itu bersamaan.
"Hai Sayang...lama kita nggak ketemu ya? Sini masuk."
Tanpa canggung lagi, Calvin meraih tangan Hanny dan Kezia. Dua anak itu sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Mereka melangkah ke ruang perpustakaan. Di sanalah biasanya Nyonya Santi mengajari mereka.
"Kakak kemana aja? Kok udah lama nggak bantu Hanny sama Kezia lagi?" tanya Hanny ingin tahu.
"Kakak baru sempat ke sini sekarang, Hanny." Hanya itu yang bisa dikatakan Calvin. Ia tak ingin menjelaskan alasan sebenarnya, tak ingin pula bersikap tidak jujur pada Hanny dan Kezia.
"Sibuk ya?" tebak Kezia. Rupanya mereka sudah punya spekulasi sendiri.
Calvin terselamatkan dari kewajiban menjawab oleh kedatangan Nyonya Santi. Segera saja wanita cantik itu menanyai Hanny dan Kezia. Keadaan mereka hari ini, pelajaran di sekolah, dan ada-tidaknya PR.
Mereka pun mulai belajar. Hanny dan Kezia anak yang cerdas. Sekali penjelasan materi saja, mereka langsung paham. Tak sulit untuk mengajari mereka. Calvin kagum pada dua murid Mamanya yang difabel itu. Di balik kekurangan mereka, tersimpan banyak kelebihan.
Selesai pemberian materi, mulailah Hanny dan Kezia mengerjakan soal latihan. Calvin membacakan soal untuk mereka. Ia begitu sabar melakukannya. Bahkan ia tak segan mengulang beberapa kali sampai mereka benar-benar mengerti dan siap menjawabnya. Bukan Calvin Wan namanya jika tidak sabar menghadapi anak-anak. Sebenarnya, ia punya bakat mengajar seperti Nyonya Santi. Hanny dan Kezia kelihatannya senang belajar bersama Calvin.
Selama membacakan soal, Calvin memperhatikan cara Hanny dan Kezia menulis. Mereka tidak menulis dengan huruf biasa, melainkan dengan huruf Braille. Mereka menulis dengan cukup cepat. Dalam hati, Calvin penasaran. Ia berniat minta diajari huruf Braille pada mereka selesai les nanti.
Benar saja. Usai waktu les, Calvin menahan mereka sebentar. Meminta mereka mengajarinya huruf Braille. Hanny dan Kezia melakukannya dengan senang hati.