Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Haruskah Takut Pada Cinta? (5)

16 September 2017   07:40 Diperbarui: 16 September 2017   17:21 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu berikutnya, Calvin menepati janji. Ia datang kembali ke rumah Mamanya. Ikut membantu sang Mama mengajar dan membacakan soal latihan untuk beberapa muridnya.

Nyonya Santi senang karena anak tunggalnya itu tak keberatan untuk membantunya lagi. Di depan teras, ia menyambut hangat kedatangan Calvin. Lagi-lagi Calvin datang sendirian.

"Sayang...kamu sendirian lagi? Kenapa nggak ajak Julia?" tanya Nyonya Santi.

"Julia pergi ke toko bunganya, Ma." Calvin menjelaskan, mengikuti langkah Nyonya Santi memasuki rumah.

"Oh baiklah. Saran Mama, sering-seringlah melewatkan waktu bersama istrimu. Ajak dia pergi bersama, atau kamu bisa temani dia saat ke toko bunga."

Calvin terhenyak mendengarkan saran Nyonya Santi. Benar juga, selama ini ia jarang mengajak Julia pergi bersamanya. Ia lebih suka pergi sendirian. Di rumah pun mereka hanya bertemu saat jam makan tiba. Selebihnya, Calvin lebih banyak menyendiri.

"Bagaimana kamu mau sembuh kalau tidak pernah melewatkan waktu dengan istrimu?" lanjut Nyonya Santi, tersenyum lembut.

"Iya, Ma. Akan aku coba memberi lebih banyak waktu untuk Julia."

Nyonya Santi menatap lekat-lekat wajah Calvin. Terpancar kelembutan dan pengertian dalam tatapannya.

"Mama percaya, kamu pasti bisa. Kamu pasti sembuh."

Bunyi bel pintu memecah saat-saat kebersamaan mereka. Calvin beranjak membukakan pintu. Hanny dan Kezia sudah datang.

"Hai, Kak Calvin!" sapa kedua anak 11 tahun itu bersamaan.

"Hai Sayang...lama kita nggak ketemu ya? Sini masuk."

Tanpa canggung lagi, Calvin meraih tangan Hanny dan Kezia. Dua anak itu sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Mereka melangkah ke ruang perpustakaan. Di sanalah biasanya Nyonya Santi mengajari mereka.

"Kakak kemana aja? Kok udah lama nggak bantu Hanny sama Kezia lagi?" tanya Hanny ingin tahu.

"Kakak baru sempat ke sini sekarang, Hanny." Hanya itu yang bisa dikatakan Calvin. Ia tak ingin menjelaskan alasan sebenarnya, tak ingin pula bersikap tidak jujur pada Hanny dan Kezia.

"Sibuk ya?" tebak Kezia. Rupanya mereka sudah punya spekulasi sendiri.

Calvin terselamatkan dari kewajiban menjawab oleh kedatangan Nyonya Santi. Segera saja wanita cantik itu menanyai Hanny dan Kezia. Keadaan mereka hari ini, pelajaran di sekolah, dan ada-tidaknya PR.

Mereka pun mulai belajar. Hanny dan Kezia anak yang cerdas. Sekali penjelasan materi saja, mereka langsung paham. Tak sulit untuk mengajari mereka. Calvin kagum pada dua murid Mamanya yang difabel itu. Di balik kekurangan mereka, tersimpan banyak kelebihan.

Selesai pemberian materi, mulailah Hanny dan Kezia mengerjakan soal latihan. Calvin membacakan soal untuk mereka. Ia begitu sabar melakukannya. Bahkan ia tak segan mengulang beberapa kali sampai mereka benar-benar mengerti dan siap menjawabnya. Bukan Calvin Wan namanya jika tidak sabar menghadapi anak-anak. Sebenarnya, ia punya bakat mengajar seperti Nyonya Santi. Hanny dan Kezia kelihatannya senang belajar bersama Calvin.

Selama membacakan soal, Calvin memperhatikan cara Hanny dan Kezia menulis. Mereka tidak menulis dengan huruf biasa, melainkan dengan huruf Braille. Mereka menulis dengan cukup cepat. Dalam hati, Calvin penasaran. Ia berniat minta diajari huruf Braille pada mereka selesai les nanti.

Benar saja. Usai waktu les, Calvin menahan mereka sebentar. Meminta mereka mengajarinya huruf Braille. Hanny dan Kezia melakukannya dengan senang hati.

"Kak Calvin mau belajar Braille? Oh boleh...boleh banget." kata mereka antusias.

"Sini, Hanny tulis alfabet dan simbol-simbolnya ya."

Calvin memberinya selembar kertas kosong. Hanny mulai menulis alfabet lengkap dengan angka dan simbolnya. Sementara Kezia mengajari Calvin cara memasangkan reglet pada kertas dan cara menggunakan pen. Keduanya begitu bersemangat melakukannya. Calvin belajar dengan cepat. Tak butuh waktu lama baginya untuk menghafal keenam titik dan simbol-simbol dalam huruf Braille.

"Yes...Kak Calvin pintar! Coba Kakak tulis sesuatu di sini!" tantang Kezia.

Merasa tertantang, Calvin nekat menulis meski baru pertama kali belajar. Ia berharap apa yang ditulisnya bisa terbaca. Hanny dan Kezia menunggu-nunggu, yakin sekali Calvin bisa menuliskan sesuatu untuk mereka di percobaan pertamanya. Nyonya Santi tersenyum kecil memperhatikan mereka bertiga. Senang anaknya bisa sedekat itu dengan dua murid favoritnya.

Pertama kali mencoba, ternyata gagal. Tulisannya tak terbaca. Bukannya kecewa atau kesal, mereka bertiga justru tertawa. Amat menikmati saat-saat itu. Kali kedua sama saja. Barulah pada kali ketiga, Calvin berhasil. Ia mencoba menuliskan namanya sendiri, dan Hanny serta Kezia dapat membacanya.

Kebersamaan mereka harus berakhir ketika Hanny dan Kezia dijemput supir mereka. Calvin dan Nyonya Santi mengantar mereka sampai ke halaman depan. Sebelum naik ke mobil, Hanny memberikan kertas berisi pedoman simbol alfabet huruf Braille pada Calvin.

"Kakak simpan ya? Nanti Hanny tantang lagi biar bisa nulis dan baca." ujarnya.

"Terima kasih, Sayang. Nanti Kakak belajar lagi. Tenang saja..." Calvin senang sekali menerimanya.

Selepas kepergian Hanny dan Kezia, Nyonya Santi mengungkapkan kekagumannya pada Calvin. Ia katakan kalau tidak semua anak guru atau anak kepala sekolah bisa dekat dan akrab dengan murid-murid orang tuanya. Tak sedikit anak guru yang bersikap sombong dan merasa dirinya pintar. Bahkan enggan berbaur dengan murid lainnya. Namun Calvin tidaklah seperti itu. Ia rendah hati dan akrab dengan siapa saja.

"Buat apa menyombongkan diri dan merasa eksklusif, Ma?" Calvin menimpali pujian Mamanya. Mengenyakkan tubuh di sofa, lalu mempelajari lagi simbol-simbol huruf Braille pemberian Hanny.

"Bagus. Coba saja semua anak guru dan anak kepala sekolah berpikiran sepertimu." tukas Nyonya Santi.

"Justru aku salut sama Mama. Mama mau mengajar siapa saja. Murid dengan berbagai kondisi dan latar belakang diterima dengan baik. Diperlakukan tanpa pilih kasih. Apa Mama tetap akan menerima Hanny dan Kezia seandainya mereka bukan dari keluarga mampu?" Calvin melontarkan pertanyaan yang terlintas di pikirannya.

"Tentu saja. Tak ada alasan bagi Mama untuk menolak mereka. Siapa pun berhak memperoleh pendidikan. Siapa pun boleh menuntut ilmu. Tak peduli siapa dan dari mana mereka." jawab Nyonya Santi.

"Nah, itulah yang membuatku kagum pada Mamaku."

Nyonya Santi tertawa kecil. "Mama tidak ada apa-apanya, Sayang. Masih banyak pendidik yang jauh lebih baik dari Mama."

"Mama adalah satu dari sekian banyak contoh pengajar yang baik. Semoga Mama segera diangkat jadi kepala sekolah."

Menjadi kepala sekolah bukanlah ambisi Nyonya Santi. Bisa mengajar dan memberikan ilmu saja sudah lebih dari cukup. Jabatan hanyalah bonus.

**     

Tengah sibuk memeriksa laporan hasil penjualan, Julia mendapat tamu istimewa di toko bunganya sore ini. Tak lain Cindy. Ia datang bersama tunangannya.

"Cindy, long time no see!" Julia berseru antusias. Memeluk erat sahabat imutnya itu.

"Julia...miss you." Cindy balas memeluk Julia.

Revan, tunangan Cindy, hanya tersenyum menyaksikan kedua sahabat itu melepas rindu. Sejurus kemudian Julia menyapa Revan. Menanyakan pekerjaan dan keluarganya. Ternyata Cindy dan Revan ingin memesan karangan bunga untuk pernikahan teman mereka. Julia melayani mereka. Meski sudah punya banyak karyawan, Julia tak segan melayani pembeli di toko bunganya. Menjadi bos bukan berarti merasa eksklusif dan tak mau melayani orang lain, begitu prinsipnya.

"Oh ya, gimana kabar Calvin?" tanya Revan setelah mereka selesai dengan urusan karangan bunga.

"Calvin? Kondisinya mulai membaik. Dia menulis artikel tiap hari untuk mempercepat kesembuhan. Seperti saran tunanganmu yang cantik ini..." jelas Julia seraya mengedipkan matanya pada Cindy.

"Syukurlah. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya." kata Revan.

"Makanya, jangan sibuk sama kerjaan terus. Sekali-sekali ajak Calvin ketemuan. Kalo bbisa, buat dia jadi sahabat kamu. Calvin kan nggak punya sahabat lagi sejak Jonathan meninggal." Ccindy menyikut gemas lengan Revan.

"Iya, Sayang. Nanti aku coba." Revan merangkul mesra pinggang Cindy.

Revan, Cindy, Julia, dan Calvin telah lama berteman akrab. Mulanya dari persahabatan Julia dan Cindy. Lalu ketika keduanya memiliki special someone, jadilah Revan berteman baik dengan Calvin. Julia tak puas-puas memperhatikan Revan dan Cindy. Mereka berdua begitu dekat dan mesra. Revan tak canggung menunjukkan pada semua orang bahwa dia sangat mencintai Cindy. Melontarkan panggilan sayang, rangkulan mesra, ciuman di kening, usapan di rambut, sebuket mawar putih, dan pintu mobil yang dibukakan dengan gallant. Kira-kira begitulah gambaran keromantisan yang diperlihatkan Revan. Cindy terlihat sangat bahagia. Seakan dialah wanita paling beruntung di dunia.

Mendapati fakta ini, Julia ikut senang. Cindy layak bersanding dengan Revan. Mau tak mau ia rindu juga diperlakukan begitu. Rasanya sudah lama sekali Calvin tak memperlakukannya seperti seorang putri. Persisnya sejak Calvin sakit.

Makna lain dalam sorot mata Julia rupanya tertangkap jelas oleh Cindy. Ia mengerti perasaan sahabatnya. Lembut ditepuknya punggung Julia. Diyakinkannya sahabat cantiknya itu jika kondisi ini hanya sementara. Calvin akan sembuh. Semuanya akan kembali seperti semula. Julia pun meyakini itu. Ia percaya, masih ada harapan untuk Calvin.

**     

Kesabaran Julia tak sia-sia. Kejadian seminggu berikutnya sungguh luar biasa. Calvin mengajaknya makan malam di cafe milik mereka.

Ini sebuah kemajuan pesat. Julia menerima ajakan Calvin dengan bahagia. Segera saja ia mempersiapkan semuanya. Mulai dari memilih baju sampai make up. Bertekad tampil sempurna untuk Calvin.

Malam ini, Julia terlihat sangat cantik dalam balutan little black dress berpotongan halter neck. Polesan make up di wajah dan tas Kate Spade berwarna senada menyempurnakan penampilannya.

Kini ia berdiri berhadapan dengan Calvin. Tanpa sadar ia menikmati ketampanan Calvin dari dekat. Mengapa suaminya itu selalu terlihat tampan dalam berbagai situasi? Julia sangat bangga bisa memperoleh pasangan hidup yang rupawan.

Sementara itu, Calvin merasakan desiran halus di hatinya. Desir halus, misterius, namun nyaman yang menggetarkan perasaannya. Melihat betapa cantiknya Julia, ia tersadar. Seharusnya ia tak boleh menyia-nyiakan wanita secantik dan sebaik ini.

"Julia..." ujarnya lembut. Terlihat sekali Calvin nervous. Seolah ini kencan pertamanya.

"Kamu...cantik."

Julia tersenyum. "Thanks, Calvin."

Sebuah progres lagi. Calvin telah memiliki keberanian untuk memujinya cantik. Lama sekali Calvin tak melakukannya.

Dengan gallant, Calvin membukakan pintu mobilnya untuk Julia. Inilah yang diharapkannya. Akankah situasi segera kembali seperti dulu?

Perjalanan menuju cafe cukup lancar. Tak banyak kata di antara mereka, namun Calvin dan Julia menikmati kedekatan itu satu sama lain. Kapankah sejak terakhir kali mereka makan malam romantis? Dulu sewaktu segalanya masih baik-baik saja, paling tidak sebulan dua kali Calvin mengajak Julia candle light dinner. Beberapa kali dalam setahun mereka mengagendakan traveling berdua. Entah itu ke Singapura, Malaysia, China, keliling Eropa, atau sekadar ke Pulau Dewata. Perjalanan umrah pun mereka lakukan sekali dalam setahun, hanya berdua. Hidup bersama Calvin membuat Julia bahagia. Kasih sayang tercukupi, materi apa lagi.

Terlarut dalam kenangan, tak terasa mereka telah sampai. Calvin masih terlihat salah tingkah sewaktu menggandeng tangan Julia. Tak masalah, bukankah ini bagian dari proses?

Makan malam romantis, sesuatu yang tak pernah lagi dirasakan Julia sejak prahara dalam pernikahannya. Malam ini ia kembali menjalani kebiasaan yang telah lama ditinggalkan. Julia sungguh-sungguh menikmati kebersamaannya dengan Calvin. Rindunya terobati. Calvin Wan yang dikenalnya seakan telah kembali.

Sementara Calvin berusaha membahagiakan Julia. Ia ingin memperbaiki segalanya. Manisnya creamy cheesecake toped with strawberry yang mereka nikmati sebagai dessert tak mengalahkan manisnya kebahagiaan atas cinta yang mulai utuh kembali. Bolehkah mereka berharap bila kebahagiaan ini tak akan berakhir?

Sesuatu yang tak terduga terjadi. Beberapa menit setelah selesai makan malam, Calvin menggenggam erat tangan Julia. Menatapnya dengan lembut.

"Apa yang paling kamu rindukan dariku?" tanyanya.

Julia tergeragap. Aliran listrik ribuan volt serasa mengaliri tubuhnya saat Calvin memegang tangannya. Sensasi kehangatan menjalar tanpa permisi.

"Hal yang paling kurindukan darimu...lagu-lagu yang kamu nyanyikan untukku."

Mendadak genggaman tangan Calvin terlepas. Julia menahan napas, dikiranya ia telah mengatakan sesuatu yang salah. Calvin melangkah meninggalkan meja yang mereka tempati.

"Calvin, kamu mau kemana?" tanya Julia panik.

Ternyata Calvin melangkah menghampiri stage kecil di tengah-tengah cafe. Menempatkan dirinya di depan grand piano hitam. Hati Julia dipenuhi kebahagiaan. Tak salah lagi, inilah yang dirindukannya.

Piano dimainkan. Calvin menyanyikan lagu untuk Julia.

Kuharap ku yang terakhir dalam hidupmu

Yang selalu bahagiakanmu

Hari demi hari berganti

Waktu terus berlalu

Yang menjadi saksi kau dan aku

Kuharap kau jawaban dari penantianku

Setelah sekian ku menunggu

Kuingin kau yang menjadi teman di hidupku

Yang terbaik dalam kisah cintaku

Berdua kita kan menjalin cerita bersama selamanya

Berdua kau dan aku takkan terpisahkan, takkan terpisahkan

Berdua kita kan menjalin cerita bersama selamanya

Tapi kau jangan pergi

Tetaplah kau di sini (Calvin Jeremy-Berdua).

Seakan ada harapan dalam lagu itu. Julia dan Calvin berharap, mereka akan selalu berdua. Menjalin kisah bersama tanpa terpisahkan. Akankah kisah mereka terus berlanjut?

**     

Di perjalanan pulang, tak ada alasan lagi untuk merasa canggung dan salah tingkah. Calvin dan Julia justru makin bahagia. Dunia serasa milik berdua.

"Calvin, terima kasih ya. Kamu mau mengajakku dinner lagi, bahkan mau menyanyi untukku." Julia berujar lembut.

"Tak perlu berterima kasih, Julia. Aku juga merindukan saat-saat seperti ini." balas Calvin, tersenyum tulus.

"Kamu merindukannya?"

"Ya."

Belum sempat Julia menanggapi, ponsel Calvin berbunyi. Telepon dari Nyonya Santi.

"Calvin..." Suara Nyonya Santi di seberang sana bercampur isak tangis.

"Kenapa, Ma?" tanya Calvin. Mau tak mau ia merasa cemas.

"Papamu meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."

Ponsel pintar itu terjatuh. Calvin nyaris menabrak mobil di depannya. Tidak mungkin, sungguh ini tidak mungkin terjadi.

**    

https://www.youtube.com/watch?v=rbEu599ooV0

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun