Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetaplah Setia dan Konsisten

25 Agustus 2017   06:59 Diperbarui: 26 Agustus 2017   05:38 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini kali pertama. Lama ia menulis di sebuah media citizen journalism yang memiliki nama besar, artikelnya dihapus. Tuan Calvin tak mengerti apa yang telah terjadi.

Sesaat pria tampan itu menatapi layar laptopnya. Menekan tombol refresh. Berpikir jika ada kesalahan. Tidak, semuanya tetap sama. Artikelnya dihapus.

Kembali ia mencermati tulisan yang tertera di bagian atas. Artikel dihapus karena melanggar syarat dan ketentuan. Apa yang salah? Mungkinkah ia telah melanggarnya?

Tuan Calvin menutup tab web browser. Berusaha menikmati saja kenyataan yang terjadi. Mungkin editor dan tim pengelola media jurnalisme warga itu punya kebijakan lain yang belum dipahaminya. Ia bisa menerimanya. Tuan Calvin bukanlah tipe kontributor yang sensitif dan inkonsisten. Sedikit saja ada kasus langsung kabur. Sebaliknya, ia tipe kontributor yang penyabar, setia, dan konsisten. Konsistensi Tuan Calvin dalam menulis dan berkontribusi layak dikagumi.

Andai saja editor dan tim pengelola media citizen journalism itu tahu. Butuh perjuangan ekstra bagi Tuan Calvin untuk one day one article. Ia sering memaksakan diri tetap menulis dalam kondisi sakit. Hepatocellular Carcinoma yang dideritanya sulit diajak kompromi. Bila mereka tahu fakta itu, mungkin mereka takkan menghapus artikel milik kontributor inspiratif bernama Calvin Wan. Mungkin mereka akan berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Dibacanya artikel itu untuk kedua kali. Berusaha mencari letak kesalahan. Artikel yang berhasil diselesaikannya dalam keadaan sakit. Sebenarnya, Wahyu sudah melarangnya menulis. Sejak pagi, kondisi Tuan Calvin menurun. Tapi ia berkeras terus menulis. Larangan Wahyu tidak menghentikannya.

Penanda notifikasi di smartphonenya berbunyi. Ternyata Nyonya Calisa. Video call seperti biasa.

"Calvin, artikelmu dihapus. Kenapa ya?" Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Nyonya Calisa.

"Iya. Aku tidak tahu kenapa." jawab Tuan Calvin.

"Hmm...baru saja aku mau membacanya. Sudah dihapus. Kamu tidak apa-apa, kan?" Nada suara Nyonya Calisa terdengar khawatir. Jelas ia sangat peduli.

"Tidak apa-apa. Nikmati saja. Mereka yang punya rumah, mereka punya aturan. Aku hanya menempati rumah itu sebagai tempat menuliskan artikel."

Nyonya Calisa memahami perasaan suaminya. Dengan lembut, ia membesarkan hati pria berparas oriental yang telah menghabiskan separuh hidup bersamanya itu.

"Calvin, jangan khawatir ya? Banyak kok kontributor yang mengalaminya. Dua tulisanku pernah dihapus."

"Kenapa?"

"Kasus pertama, karena aku mengutip sebagian dari tulisanku yang sebelumnya. Kejadian kedua, karena aku pernah menghapus tulisan dan di-upload ulang."

Terungkaplah jawabannya. Kini Tuan Calvin tahu alasan artikelnya dihapus. Sama seperti Nyonya Calisa, ia mengutip sebagian besar tulisan lamanya. Itu artinya melanggar terms and conditions.

"Calvin, kamu yakin tidak apa-apa?"

"Iya, Calisa."

"Stay positive, okey? Anggap saja media kesayangan kita itu seperti orang tua, dan para kontributornya seperti anak-anaknya. Terkadang orang tua harus bersikap tegas saat anaknya melanggar peraturan. So, jangan pesimis. Jangan berhenti menulis...ya?"

"Okey. Aku coba menikmati prosesnya."

Nyonya Calisa memahami sifat Tuan Calvin. Ia yakin, pria pendamping hidupnya itu tetap sabar dan konsisten. Namun ia tetap saja tergerak untuk membesarkan hati Tuan Calvin. Menenangkan dan memperhatikannya. Sebab Nyonya Calisa selalu peduli, sampai kapan pun.

"Apa yang kamu bahas dalam tulisanmu hari ini? Coba cerita sama aku."

Terlihat wanita cantik itu mempercepat langkahnya. Masjid Nabawi tinggal beberapa meter lagi. Padatnya aktivitas di tanah suci tidak menghalangi Nyonya Calisa untuk tetap memperhatikan Tuan Calvin dan orang-orang terdekatnya. Sesibuk apa pun, wanita berdarah Indo itu selalu menyempatkan diri mengontak orang-orang terdekatnya. Ia bahkan tak segan untuk mulai menyapa dan bicara lebih dulu. Kebaikan datang jika berani memulai, demikian prinsipnya.

"Tentang peraturan taksi online yang dibatalkan. That's all." jelas Tuan Calvin.

"Aturan tentang tarif taksi online itu?"

"Iya. Ada pihak yang menggugat, lalu akhirnya aturan dibatalkan."

"Oh...I see."

Sebenarnya, Nyonya Calisa punya tujuan lain. Ia meminta Tuan Calvin menceritakan isi tulisannya untuk menyenangkan hati pria itu. Ia ingin tujuan Tuan Calvin dalam menulis tetap tercapai: berbagi informasi pada pembaca. Dinda Calisa adalah salah satu pembaca setia Calvin Wan. Apa yang dilakukannya semata ingin menyenangkan hati Tuan Calvin.

Tanpa terduga, Tuan Calvin mengungkapkan kebosanannya pada Nyonya Calisa. Ia mengakui kualitas tulisannya menurun belakangan ini lantaran rasa jenuh. Nyonya Calisa mengerti perasaannya. Ia memberikan cara menghilangkan kejenuhan dalam menulis.

"Calvin, berhentilah sejenak. Tapi jangan lama-lama. Saat berhenti, pikirkan dari sudut pandang berbeda. Posisikan dirimu sebagai orang lain. Misalnya sebagai pembaca, editor, atau tim pengelola media jurnalisme warga kesayangan kita. Pasti mereka menunggu-nunggu tulisanmu. Setiap hari mereka terbiasa membaca artikelmu, lalu mendadak kamu berhenti menulis. Bagaimana kalau mereka kehilangan? Editor yang biasanya melabeli pilihan atau headline, juga kehilangan artikelmu yang bagus. Mereka pasti takut ditinggalkan kontributor inspiratif dan berbakat seperti Calvin Wan. Bukan narsis ya, Sayang. Hanya berpikir dari sudut pandang berbeda dan memposisikan diri sebagai orang lain. Melihat kemungkinan yang bisa terjadi, kamu takkan jenuh lagi."

Penjelasan Nyonya Calisa dipikirkannya baik-baik. Ia membenarkannya. Nyonya Calisa terus meyakinkan Tuan Calvin.

"My Dear Calvin, tulisan-tulisanmu bagus kok. Banyak pembacanya. Pasti banyak yang selalu menantikan artikelmu." Terselip pujian yang tulus.

"Iya, Calisa."

Kini Nyonya Calisa telah sampai di dalam masjid. Bergabung dengan jamaah lainnya.

"Keep writing...I love you, Calvin." bisiknya penuh cinta.

Hati Tuan Calvin berdesir hangat. Kata cinta terucap sempurna. Cinta datang dari hati yang tulus.

"Love you too, Calisa." Tuan Calvin menyahut, lembut dan dalam.

**      

Wahyu meletakkan nampan berisi segelas air putih dan beberapa tablet obat. Diletakkannya nampan itu ke atas meja.

"Kubawakan obatmu. Kamu belum minum obat, kan?" ujarnya ramah. Sejurus kemudian ia duduk di samping Tuan Calvin.

"Thanks."

Tuan Calvin mengambil gelas berisi air putih. Ia menatap nanar obat-obatan di dalam nampan. Setitik rasa muak dan jijik menodai benaknya. Haruskah ia tergantung pada semua obat itu? Semua obat yang diminumnya tergolong obat keras. Memberi efek samping menyakitkan. Gegara obat-obatan itulah Tuan Calvin divonis mandul. Obat pembunuh sel kanker membunuh harapannya untuk memiliki keturunan.

"Calvin, are you ok?" tanya Wahyu cemas.

"I'm ok." sahut Tuan Calvin, menghindari pandangan Wahyu.

"Bosan minum obat terus ya?" Wahyu menebak, mulai paham isi hati teman baiknya.

"Obat-obatan ini membuatku mandul. Bisa kamu bayangkan? Aku ingin berhenti meminumnya." ungkap Tuan Calvin.

"I know. Kamu harus meminumnya, Calvin. Bagaimana mau sembuh kalau tidak minum obat?"

Ia mendekatkan gelas itu ke bibirnya, meneguk sedikit air di dalamnya. Lalu mulai meminum obat satu demi satu. Setengah jalan meminum tablet kedua, Tuan Calvin kesulitan menelan obatnya. Wahyu setengah bangkit dari posisi duduknya, waswas mengantisipasi berbagai kemungkinan.

Benar saja. Tuan Calvin memuntahkan kembali obatnya. Entah karena apa. Tak biasanya ia begitu.

Wahyu tak tinggal diam. Dibersihkannya bagian karpet yang terkena tumpahan obat. Sementara itu, Tuan Calvin merasa tak enak. Ia telah merepotkan Wahyu.

"Nope...kita ulang lagi." ujar Wahyu sabar.

Meski sudah diulangi, ternyata sama saja. Tuan Calvin kesulitan menelan obatnya. Wahyu menumbuk obat itu. Menambahkan serbuk obat yang telah ditumbuk dengan air.

"Minumlah," Disodorkannya obat yang telah menjadi serbuk itu. Tuan Calvin meminumnya. Kali ini berhasil.

"Alhamdulillah..." Wahyu tersenyum lega.

"Sorry, aku merepotkanmu." Tuan Calvin meminta maaf.

"Tidak apa-apa. Kan aku sudah janji untuk merawatmu selama Calisa umrah."

Wahyu sama sekali tidak mengeluh. Tidak pula merasa jijik dan repot. Semua dilakukannya dengan tulus dan ikhlas.

"Apa yang ingin kamu lakukan hari ini?" Wahyu melontarkan pertanyaan setelah selesai membereskan gelas dan tablet obat.

"Aku mau ajak Clara dan Rein ke panti asuhan. Sekarang Hari Jumat. Waktunya...

"Berbagi." sela Wahyu, hafal dengan rutinitas Tuan Calvin.

"Yups."

"Well, nanti siang aku mau ke rumah sakit. Tes kecocokan hati."

Rupanya Wahyu masih serius dengan niatnya mendonorkan hati. Entah bagaimana Tuan Calvin harus membalas kebaikannya.

"Saranku, kamu jangan menyetir dulu. Kalau mau ke panti asuhan, diantar supir saja." kata Wahyu menyarankan.

Tak ada salahnya dituruti. Wahyu menyarankan hal itu demi kebaikan Tuan Calvin.

**     

Tangan-tangan mungil itu sibuk menata beberapa barang di dalam kotak. Dua kaleng susu, beberapa buku, mainan, dan makanan. Setelah itu membungkusnya dengan rapi. Hal yang sama mereka ulangi pada kotak-kotak berikutnya.

"Ayah, lihat. Bagus ya? Rapi kan?" Clara menunjukkan bingkisan kecil yang dikerjakannya.

"Bagus, Sayang. Teman-teman di panti pasti suka." jawab Tuan Calvin, senang melihat antusiasme putrinya.

Di samping Clara, Reinhart tak kalah bersemangat. Ia menempatkan tiap barang di dalam kotak dengan rapi. Hasilnya tak kalah bagus.

"Punya Rein juga bagus. Terima kasih ya, Sayang." Tuan Calvin memberikan pujian.

Mendidik anak tak hanya dengan cara formal. Sekolah dan ilmu pengetahuan memang menjadi jalan kesuksesan. Namun mengajarkan ilmu kehidupan tak kalah pentingnya.

Perlu praktik langsung untuk mengajarkan ilmu kehidupan pada anak. Tuan Calvin tengah melakukannya. Mula-mula ia meminta Clara dan Reinhart menyusun parsel untuk anak-anak panti asuhan. Selain mendorong kreativitas mereka, kepekaan sosial pun terasah.

Setelah semuanya beres, mereka pergi ke sebuah panti. Bukan panti asuhan yang biasa dikunjungi Tuan Calvin dan Nyonya Calisa. Kali ini mereka mendatangi panti asuhan yang masih sangat kurang dalam hal fasilitas dan dana operasional. Tuan Calvin mendapat informasi tentang panti satu ini dari mantan bawahannya di kantor lama.

Lima puluh menit berkendara, mobil mereka sampai di depan sebuah bangunan kecil dan sederhana di pinggir kota. Itulah panti yang dimaksud. Kecil, sederhana, dan jauh dari gemerlapnya metropolitan. Mereka turun dari mobil. Disambut dua orang pengurus panti.

Halaman panti tak terlalu luas. Hanya ditumbuhi dua batang pohon dan beberapa pot tanaman hias. Tak ada ayunan, perosotan, atau permainan anak lainnya. Pengurus panti menuntun mereka masuk ke dalam.

Pemandangan yang mereka temui sungguh mengharukan. Anak-anak penghuni panti asuhan itu nampak sederhana dan bersahaja. Wajah mereka mencerminkan kerinduan mendalam pada orang tua. Kelihatannya mereka sudah lama tidak menerima kunjungan.

Begitu melihat Tuan Calvin, banyak di antara mereka mendekat. Tangan mereka terulur disertai senyuman ramah. Seorang gadis kecil berumur sekitar tiga tahun bahkan memeluk Tuan Calvin erat sambil berkata,

"Papa...Papa. Alicia kangen Papa."

Hati Tuan Calvin tersentuh. Ia membalas pelukan Alicia. Membelai rambut pendeknya. Dalam hati bertanya-tanya. Siapakah orang tua yang tega menelantarkan anak sekecil ini?

Clara ikut memeluk Alicia. Hatinya ikut tergerak pula. Walau canggung, Reinhart merangkul Alicia. Empati menggugah jiwa. Membangkitkan rasa dan kepekaan.

Begitu Alicia melepas pelukannya dan kembali duduk di sofa, Clara dan Reinhart membuka tas kecil yang mereka bawa. Hanya ada tumpukan uang kertas dalam jumlah banyak. Mereka sengaja menyimpan uang saku pemberian orang tua mereka di dalam tas.

"Ayah, Clara mau kasih uang ini buat Alicia." ucap Clara. Mengangkat tas mungilnya yang menggelembung dijejali uang sakunya selama seminggu terakhir.

"Boleh, Sayang. Kamu baik sekali..." kata Tuan Calvin bangga.

"Rein juga. Rein nggak jadi beli sepatu basket. Uangnya buat Alicia aja." Reinhart menimpali.

Tuan Calvin sangat bangga pada kedua anak itu. Tanpa disuruh, tanpa diminta, mereka mau memberikan uang untuk anak yatim-piatu. Mereka memberi dengan kesadaran sendiri. Kepekaan dan rasa syukur membuat mereka sadar. Di luar sana, ada anak-anak seusia mereka yang kurang beruntung.

Alicia nampak begitu senang menerima uang pemberian Clara dan Reinhart. Baginya, Clara dan Reinhart seperti kakaknya sendiri. Sekejap saja ketiga anak itu sudah bermain dan mengobrol dengan akrabnya. Seakan tak ada jarak dan sekat status sosial di antara mereka.

Pelajaran dan didikan Tuan Calvin berhasil. Kunjungan ke panti asuhan membangkitkan jiwa sosial Clara dan Reinhart. Kelak mereka tak hanya cerdas secara intelektual. Kecerdasan emosional pun berkembang pesat.

Sedikit demi sedikit, dua pengurus panti mulai bercerita. Ternyata panti asuhan ini milik sepasang suami-istri non-Muslim. Meski demikian, anak-anak yang dirawat di sini berasal dari berbagai suku dan agama. Mereka bisa berbaur dan bersosialisasi dengan baik. Perbedaan etnis dan agama bukanlah masalah.

Sebagian anak di panti asuhan ini dititipkan orang tuanya. Tak mampu membiayai anak, para orang tua menitipkan anaknya di sini. Ada orang tua yang mengambil kembali anaknya setelah mereka mampu merawat anak itu. Ada pula yang meninggalkan anaknya begitu saja tanpa pernah dikunjungi.

Tentang Alicia, lain lagi kisahnya. Alicia sudah tinggal di panti asuhan sejak ia masih bayi. Ibunya melahirkan Alicia di panti asuhan dan meninggal beberapa jam kemudian. Tak ada satu pun anggota keluarga yang pernah datang mengunjungi Alicia. Praktis Alicia tak pernah melihat siapa orang tuanya.

Satu setengah jam mereka berada di panti asuhan. Mereka menyerahkan bingkisan dan uang pada pengurus panti. Berharap bantuan kecil yang mereka berikan bisa berguna. Sewaktu akan pergi, Alicia kembali memeluk Tuan Calvin, Clara, dan Reinhart. Sepertinya ia tak rela berpisah dengan mereka.

"Papa...Papa kapan ke sini lagi?" tanya Alicia. Menyentuh sekali mendengar nada penuh harap dalam suaranya.

"Secepatnya, Sayang." kata Tuan Calvin. Memberikan pelukan terakhirnya untuk Alicia.

Pengurus panti mengantar mereka ke halaman depan. Tuan Calvin masih memikirkan Alicia. Alicia, satu dari jutaan anak terlantar. Potret pembiaran dari orang tua. Satu lagi potret yang sangat ironis. Ada yang merindukan anak, melakukan apa pun agar bisa memiliki anak. Ada pula yang telah dikaruniai anak, lalu membuangnya. Anak disia-siakan. Tumbuh tanpa kasih sayang dan penjagaan orang tua.

Bertahun-tahun lamanya Tuan Calvin belajar menerima kenyataan. Kenyataan bahwa dirinya mandul. Secara medis, ia tak mungkin meneruskan keturunan. Sebuah pukulan berat baginya.

Berbagai tindakan medis sudah dilakukan untuk mendapatkan anak. Waktu, biaya, dan energi terkuras demi hadirnya seorang anak. Semuanya nihil. Tuan Calvin tak bisa sembuh. Ia selalu sedih dan marah tiap kali membaca, mendengar, dan menyaksikan oraang tua yang membuang atau menyia-nyiakan anaknya. Mereka tak pernah tahu betapa susahnya memiliki anak. Mereka tidak mensyukuri pemberian Tuhan. Anak adalah amanah. Tidak semua orang dipercaya untuk memiliki anak. Tuan Calvin tak pernah rela bila ada orang tua yang tega menyia-nyiakan anaknya dengan alasan apa pun.

**      

Surat resmi berlogo rumah sakit itu nyaris terjatuh. Deretan kata itu kembali dibacanya dengan hati-hati. Berharap tidak ada makna yang keliru.

Benarkah ini semua? Apakah surat ini menjadi awal harapan baru? Wahyu berdiri di depannya, tersenyum.

"Aku bisa mendonorkan hati untukmu. Akan kulakukan, Calvin. Secepatnya kamu akan menerima hati dariku." Wahyu berujar meyakinkan.

"That's great..." Tuan Calvin hanya bisa mengatakan itu. Menggenggam hasil tes kecocokan hati erat. Benarkah dirinya akan sembuh? Akan terbebas selamanya dari sel kanker mematikan itu?

"Kamu pasti sembuh. So, tetap jaga kesehatan. Jangan putus asa lagi. Soal artikel yang terhapus itu..." Wahyu berhenti sejenak sebelum melanjutkan.

"Kalau aku jadi editornya, aku tidak akan menghapusnya. Aku akan mengistimewakanmu. Karena kamu setia dan konsisten. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa. Buktikan kalau penyakit kanker tidak menghalangimu untuk one day one article."

Ada semangat baru, ada harapan baru. Tuan Calvin berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap setia. Tetap setia berkontribusi di media citizen journalism kesayangan mereka semua, setia berbuat kebaikan, dan setia mencintai orang-orang terdekatnya.

"Wahyu, thanks a lot." kata Tuan Calvin tulus.

"You're wellcome."

**     

Kesepuluh jarinya bergerak di atas tuts piano. Clara ada di pangkuannya. Tersenyum manis. Reinhart dan Wahyu di kanan-kirinya. Wajah Nyonya Calisa merona bahagia. Terlihat jelas dari layar smartphone di depannya. Kabar terbaru sungguh membahagiakan.

Tuhan bolehkah ku meminta

Satu kali lagi bersamanya

Izinkan aku memegang tangannya

Meski hanya sesaat saja

Apa semua itu masih mungkin

Saat ia bersama yang lain

Namun tetap kusimpan cintaku untuknya

Tetap setia ku menghitung hari

Tetap setia ku kan menanti

Hingga saatnya kan tiba

Dia kan kembali bersama

Tetap setia ku menghitung hari

Tetap setia ku kan menanti

Hingga saatnya kan tiba

Hingga dia kembali bersama

Tetap setia ku menghitung hari

Tetap setia ku kan menanti

Hingga saatnya kan tiba

Dia kan kembali bersama

Tetap setia ku menghitung hari

Tetap setia ku menanti

Hingga saatnya kan tiba

Dia kan kembali bersama

Tetap setia ku menghitung hari

Tetap setia ku menanti

Hingga saatnya kan tiba

Dia kan kembali bersama... selamanya (Calvin Jeremy-Tetap Setia).

"Oh Calvin...I miss you so much." Nyonya Calisa bahagia sekali mendengar lagu yang dinyanyikan Tuan Calvin.

"Tetap setia dan konsisten ya?"

Tetap setia dan konsisten. Tuan Calvin akan selalu melakukannya.

**     

Kesetiaan dan konsistensi diperlukan dalam berbagai proses. Segala sesuatu berproses. Tanpa kesetiaan dan konsistensinya, sulit bagi kita untuk melewati prosesnya. Menikmati proses adalah bagian dari hidup. Tanpa proses, kita takkan merasakan manisnya keberhasilan. Sabar, setia, dan konsisten. Itulah kunci untuk menikmati proses.

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Ada potongan jiwa Tuan Calvin dalam artikel itu. Ada bagian yang sangat khas dalam dirinya: konsistensi. Sangat sedikit orang yang benar-benar sabar dan konsisten dalam menikmati proses. Calvin Wan adalah satu dari sedikit orang yang mampu bersabar dan konsisten.

**      

Calvin Jeremy - Tetap Setia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun