“Maukah kamu ikut aku ke Surakarta? Maukah kamu bantu aku mengelola bisnis yang kurintis dari awal?”
Kerutan kecil muncul di kening Sarah. Sejurus kemudian, Anton berlutut. Mengulurkan sebentuk cincin. “Sarah Paramita, will you marry me? Maukah kamu menjadi jawaban dari doaku? Menjadi samudera tempat hatiku bermuara?”
Demi mendengar itu, Sarah tertegun. Nyatakah ini semua? Sepupunya sendiri melamarnya? Sepupu yang pernah mewarnai masa kecilnya dengan surat-suratnya, meminta Sarah menjadi istrinya?
“Anton Surya,” ujar Sarah lembut.
“Aku beruntung sekali dilamar olehmu. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu yakin ingin menikah denganku?”
“Aku yakin, Sarah.”
Sarah tersenyum lembut. “Terima kasih. Kehormatan istimewa bagiku. Siapa wanita yang tidak senang dilamar pria sebaik dirimu?”
Si gadis bermata biru bersorak dalam hati. Tepat seperti inilah ekspektasinya. Sarah beruntung sekali diajak menikah dengan cara yang romantis. Ingin sekali ia mendapat perlakuan yang sama, dari belahan jiwanya. Ironis sekali, sang belahan jiwa lebih memilih menjalankan hidup bakti sebagai pelayan Tuhan. Ia lebih tertarik hidup membiara dibandingkan berbisnis dan berelasi dengan si gadis Virgo Bule dan Boneka Barbie.
“Aku juga mencintaimu, Anton.” Sarah berucap penuh ketulusan.
Sepasang mata pria 29 tahun itu bercahaya. Ia menangkap sinyal-sinyal positif. Detik demi detik berlalu mendebarkan. Sarah tak juga mengambil cincin yang diulurkannya.
“Aku mencintaimu sebagai saudara.”