Tanggung jawab. Dua kata itu merobek hati Emilianus. Merobohkan tembok tinggi keegoisannya. Mendobrak pintu kepicikannya. Emilianus ternganga, menatap Albert tak percaya. Ia telah lari dari tanggung jawab.
“Bukankah hidup membiara selama bertahun-tahun telah mengajarimu arti tanggung jawab? Ternyata kamu belum bisa mengaplikasikannya. Ajaran itu sebatas kamu praktikkan saat hidup berkomunitas dan menjalani tiga kaul kebiaraan. Tapi kamu lari dari tanggung jawab saat kamu sudah memiliki anak.”
Sepasang mata sayu milik Emilianus membelalak. Sementara itu, kelembutan dan keteduhan di mata Albert tertutupi oleh dalamnya kekecewaan. Sungguh, ia kecewa pada sikap Emilianus.
“Anak adalah titipan Tuhan, Emilianus.” ucap Albert lirih. “Kamu beruntung dititipi Tuhan seorang anak. Anak kandungmu sendiri, darah dagingmu. Tidak semua orang bisa memiliki anak.”
Wajah Albert berubah sendu. Pria berdarah campuran itu merasakan efek kepedihan dari kata-katanya sendiri. Anak kandung adalah sesuatu yang mustahil dimilikinya. Albert mungkin bisa memiliki segalanya, kecuali satu: keturunan. Ironi menghantam tepat di sudut terdalam hatinya. Emilianus, sosok pria egois, keras, kasar, dan tidak memiliki masa depan yang jelas, dikaruniai seorang anak. Sedangkan Albert dengan kebaikan hati dan kemapanan finansialnya justru tidak bisa memiliki anak. Mengapa hidup ini begitu ironis?
“Seharusnya kamu bersyukur, Emilianus. Kamu punya anak yang baik dan pintar seperti David. Dia darah dagingmu sendiri. Darahmu mengalir dalam darahnya. Lihat aku, lihat Renna.” Kedua tangan Albert bergetar saat menunjuk dirinya sendiri dan wanita pendamping hidupnya. Pandangan matanya bergulir ke arah Renna. Saat itulah Renna melihat luka lama kembali terbuka. Bayangan masa lalu yang begitu kelam terlintas di wajah Albert.
“Dalam rahim Renna, tak pernah ada anakku. Garis keturunan kami telah terhenti. Segala pengobatan telah dicoba, sampai akhirnya aku lelah dan berhenti berobat. Enam tahun aku dan Renna hidup tanpa anak. Kami bahkan tak tahu kemana harus menghabiskan uang kami. Kami lelah jiwa-raga. Demi beramal dan mencurahkan rasa cinta pada anak-anak, kami alokasikan setengah harta kekayaan kami untuk membiayai pengobatan anak pengidap kanker. Kami juga menjadi donatur tetap untuk beberapa yayasan dan panti asuhan. Sering kulihat Renna menangis secara sembunyi-sembunyi tiap kali melihat teman-temannya mempunyai anak. Karena apa? Karena dia tidak akan pernah merasakan apa yang dirasakan teman-temannya.”
Mendengar itu, air mata Renna terjatuh. Dipeluknya David, disembunyikannya air matanya. Ia tak ingin menambah beban dan rasa bersalah di hati Albert.
Albert menghela nafas, lalu melanjutkan. “Tiap Lebaran dan acara keluarga, kami selalu mengajak anak yang berbeda-beda untuk pergi bersama kami. Padahal kami tahu pasti, jika sepanjang hidup kami takkan pernah punya keturunan. Keluarga besar menyebut kami hanya berpura-pura dan senang pencitraan. Semua itu kami lakukan semata ingin menghibur diri kami sendiri. Rumah kami serasa terlalu besar tanpa kehadiran seorang anak. Di tahun kelima, Renna sering membeli mainan anak-anak dan memenuhi rumah kami dengan semua mainan itu. Berharap datangnya keajaiban. Sementara penyakitku semakin parah. Rasa takutku pada kematian terus membesar. Penyebab infertilitas yang kualami bukan hanya karena Celiac, melainkan juga akibat kemoterapi. Waktu kecil aku pernah sakit kanker darah dan harus menjalani kemoterapi. Seseorang yang pernah menjalani kemoterapi berisiko tinggi untuk mandul. Obat-obatan kemoterapi sangat keras. Efek sampingnya berat. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Kamu tidak perlu merasakan itu sebelum memiliki anak, Emilianus. Setelah memilikinya, kamu justru menyia-nyiakannya.”
Kekecewaan berpadu dengan kesedihan. Albert tak mengerti dengan jalan pikiran Emilianus. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyia-nyiakan anaknya sendiri? Mengapa seorang ayah mengorbankan kebahagiaan anaknya demi memuaskan kebutuhan dirinya sendiri?
“Jawab pertanyaanku. Apa pekerjaanmu yang sebenarnya?” tanya Albert tegas.