Renna tak merespon. Bukan itu yang ia inginkan. Rasa kehilangan menyertai kesedihannya. Ia tak bisa berhenti mencemaskan, memikirkan, dan merindukan Albert.
“Kamu harus realistis, Renna. Buat apa kamu mengharapkan cinta laki-laki seperti dia?” bujuk Meisha.
“Aku tidak mengharapkan apa-apa,” sahut Renna.
“Sebuah kebodohan jika kamu mencintainya, Renna. Bagaimana kalau kamu membencinya? Cukup ingat saja kekurangan-kekurangan dia, kamu pasti akan membencinya.”
“Keterlaluan kamu, Meisha! Aku tidak akan melakukan itu!” hardik Renna marah. Melompat bangkit dari kursinya, lalu berlari meninggalkan ruang latihan.
Meisha dan Aurelia bertatapan. Tak mengerti dengan sikap Renna.
“Ya ampun...Albert pakai trik apa sih sampai Renna segitu cintanya sama dia?”
“Tapi dia memang ganteng sih. Pintar, kaya, terkenal lagi.”
“Yee...kalo penyakitan dan nggak bisa punya anak ya sama aja.”
Di luar ruangan, Renna menenangkan diri. Bodohkah ia mencintai Albert? Sia-siakah cintanya selama ini? Mengapa hati Albert tak juga terbuka?
Gadis cantik itu tenggelam dalam pikirannya. Haruskah ia membenci Albert? Nuraninya menyangkal, hatinya menolak keras. Ia tidak ingin membenci Albert. Meski ia punya beribu alasan untuk membencinya.