Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Bodohkah Bila Aku Mencintaimu?

10 Mei 2017   07:33 Diperbarui: 11 Mei 2017   01:36 2617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lebih baik kamu pergi, Renna. Jangan datang ke sini lagi. Jangan pedulikan aku.”

Sepasang mata bening Renna siap menghamburkan air mata. Albert tega mengusirnya? Tidak, ini bukan sepenuhnya keinginan Albert. Pria berdarah campuran itu sesungguhnya tak bermaksud menyakiti Renna. Mengenal dan memahami Albert luar-dalam membuat Renna mengerti situasinya.

Ketika Renna masih saja berdiri diam di tempatnya, Albert mencengkeram tangan gadis keturunan Sunda-Belanda itu. Menatapnya tajam, lalu berujar.

“Kamu harus melanjutkan hidupmu tanpaku, Renna. Pilihlah pria lain yang jauh lebih sehat dan sempurna dariku. Bukan pria mandul dan masokis sepertiku.”

Renna dapat melihat luka dalam tatapan mata Albert. Mata adalah cerminan hati dan jiwa. Nyata sekali, hati Albert begitu terluka. Sama seperti hatinya sendiri. Keteduhan dan kelembutan sepasang mata itu tertutupi oleh luka.

“Aku bisa menerimamu apa adanya, Albert. Kondisimu bukan masalah untukku...sungguh.” ucap Renna.

“Tidak. Sekarang bisa saja kamu bilang begitu, tapi nanti? Kita tak pernah tahu. Sekarang, pergilah. Aku tidak ingin melihatmu lagi, Renna Maya.”

Itu sebuah kebohongan. Perlahan Renna melangkah ke pintu. Membiarkan air matanya jatuh seiring derap langkahnya. Ketika pintu mengayun menutup, samar didengarnya suara kaca pecah. Ya Allah, apakah Albert melukai dirinya lagi? Sungguh, Renna tak tega meninggalkannya sendirian di rumah sebesar itu. Bagaimana bila Albert muntah darah lagi seperti kemarin? Atau mencoba memotong jarinya sendiri dengan pisau seperti minggu lalu?

Beberapa hari berikutnya, Renna terus saja memikirkan Albert. Teman-temannya terus saja menyalahkannya. Memintanya melupakan Albert.

“Ambil aja sisi positifnya,” kata Aurelia.

“Kamu jadi nggak perlu sering-sering absen dari latihan choir dan kegiatan MC. Kamu juga bisa fokus sama cita-citamu jadi psikolog dan hypnotherapyst.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun