“Lebih baik kamu pergi, Renna. Jangan datang ke sini lagi. Jangan pedulikan aku.”
Sepasang mata bening Renna siap menghamburkan air mata. Albert tega mengusirnya? Tidak, ini bukan sepenuhnya keinginan Albert. Pria berdarah campuran itu sesungguhnya tak bermaksud menyakiti Renna. Mengenal dan memahami Albert luar-dalam membuat Renna mengerti situasinya.
Ketika Renna masih saja berdiri diam di tempatnya, Albert mencengkeram tangan gadis keturunan Sunda-Belanda itu. Menatapnya tajam, lalu berujar.
“Kamu harus melanjutkan hidupmu tanpaku, Renna. Pilihlah pria lain yang jauh lebih sehat dan sempurna dariku. Bukan pria mandul dan masokis sepertiku.”
Renna dapat melihat luka dalam tatapan mata Albert. Mata adalah cerminan hati dan jiwa. Nyata sekali, hati Albert begitu terluka. Sama seperti hatinya sendiri. Keteduhan dan kelembutan sepasang mata itu tertutupi oleh luka.
“Aku bisa menerimamu apa adanya, Albert. Kondisimu bukan masalah untukku...sungguh.” ucap Renna.
“Tidak. Sekarang bisa saja kamu bilang begitu, tapi nanti? Kita tak pernah tahu. Sekarang, pergilah. Aku tidak ingin melihatmu lagi, Renna Maya.”
Itu sebuah kebohongan. Perlahan Renna melangkah ke pintu. Membiarkan air matanya jatuh seiring derap langkahnya. Ketika pintu mengayun menutup, samar didengarnya suara kaca pecah. Ya Allah, apakah Albert melukai dirinya lagi? Sungguh, Renna tak tega meninggalkannya sendirian di rumah sebesar itu. Bagaimana bila Albert muntah darah lagi seperti kemarin? Atau mencoba memotong jarinya sendiri dengan pisau seperti minggu lalu?
Beberapa hari berikutnya, Renna terus saja memikirkan Albert. Teman-temannya terus saja menyalahkannya. Memintanya melupakan Albert.
“Ambil aja sisi positifnya,” kata Aurelia.
“Kamu jadi nggak perlu sering-sering absen dari latihan choir dan kegiatan MC. Kamu juga bisa fokus sama cita-citamu jadi psikolog dan hypnotherapyst.”