Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Bodohkah Bila Aku Mencintaimu?

10 Mei 2017   07:33 Diperbarui: 11 Mei 2017   01:36 2617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Detak jarum jam begitu lambat. Malam merambat mendekati pagi hari. Di keheningan malam itu, Renna masih terjaga. Bergelut dengan dua pilihan.

Lekat ditatapnya wajah pendamping hidupnya. Saat sedang tidur pun, Albert tetap tampan. Meski tersisa gurat keletihan di wajahnya. Selebihnya, ia adalah sosok pria yang rupawan dalam keadaan apa pun.

Digerakkan syaraf sadarnya, Renna mengulurkan tangan. Membenahi selimut Albert. Membelai lembut rambutnya. Mencium keningnya. Mungkin karena terlalu lelah, Albert tak terbangun mendapat sentuhan Renna.

“Aku mencintaimu...sangat mencintaimu.” bisik Renna.

“Lebih baik aku menjadi orang biasa tapi tidak kesepian dan dicintai oleh orang yang kucintai. Jadi orang biasa itu jauh lebih baik. Tak perlu lagi aku menjadi psikolog, hypnotherapyst, atau profesi apa pun yang membuat namaku terkenal. Asalkan aku bisa terus bersamamu. Terus mencintai dan dicintai olehmu.”

Renna tersedu. Membenamkan wajah di balik bantalnya. Terjebak dalam pilihan sulit. Bodohkah bila ia rela melepas kariernya demi cinta? Akan tetapi, ia ingin berada di sisi Albert. Merawatnya, mendampinginya, dan membantunya sampai ia sembuh. Entah kapan Albert akan sembuh. Mungkin saja ia takkan bisa sembuh lagi. Renna siap dengan risiko terburuk. Jika Albert tidak ditakdirkan untuk sembuh, ia hanya ingin mendampingi Albert melewati sisa hidupnya. Ia ingin memastikan Albert tidak merasakan sakit sendirian. Itu saja.

Kotak ingatan Renna terbuka. Kenangan semasa awal kariernya sebagai psikolog dan hypnotherapyst muncul. Begitu pula kenangannya saat ia masih menjadi mahasiswi Psikologi yang populer karena kecantikan, prestasi, dan keaktifannya.

**     

Satu hal yang bodoh

Bila ku memikirkanmu

Bila ku mencintaimu

Alangkah bodohnya aku

Satu hal yang bodoh

Bila ku merindukanmu

Dan bila kembali padamu

Betapa naifnya aku (Rossa-Satu Hal yang Bodoh).

**    

“Aku tidak akan menikah.” kata Albert tegas.

Keheningan yang berlalu setelahnya teramat menyakitkan. Dua hati terluka di saat bersamaan. Hati Albert terluka lantaran keputusannya sendiri. Hati Renna terluka akibat menerima keputusan yang lebih mirip vonis itu.

“Kondisiku tidak mengizinkanku untuk menikah, Renna.” lanjut Albert lagi, lebih lembut.

“Tak masalah bagiku.” Renna berusaha meyakinkan Albert.

Ruang tamu berbentuk oval dengan hiasan lampu kristal Swarrowski dan pigura-pigura foto itu dilingkupi nuansa kesedihan. Albert bergeser satu langkah. Membuka pintu lebar-lebar.

“Lebih baik kamu pergi, Renna. Jangan datang ke sini lagi. Jangan pedulikan aku.”

Sepasang mata bening Renna siap menghamburkan air mata. Albert tega mengusirnya? Tidak, ini bukan sepenuhnya keinginan Albert. Pria berdarah campuran itu sesungguhnya tak bermaksud menyakiti Renna. Mengenal dan memahami Albert luar-dalam membuat Renna mengerti situasinya.

Ketika Renna masih saja berdiri diam di tempatnya, Albert mencengkeram tangan gadis keturunan Sunda-Belanda itu. Menatapnya tajam, lalu berujar.

“Kamu harus melanjutkan hidupmu tanpaku, Renna. Pilihlah pria lain yang jauh lebih sehat dan sempurna dariku. Bukan pria mandul dan masokis sepertiku.”

Renna dapat melihat luka dalam tatapan mata Albert. Mata adalah cerminan hati dan jiwa. Nyata sekali, hati Albert begitu terluka. Sama seperti hatinya sendiri. Keteduhan dan kelembutan sepasang mata itu tertutupi oleh luka.

“Aku bisa menerimamu apa adanya, Albert. Kondisimu bukan masalah untukku...sungguh.” ucap Renna.

“Tidak. Sekarang bisa saja kamu bilang begitu, tapi nanti? Kita tak pernah tahu. Sekarang, pergilah. Aku tidak ingin melihatmu lagi, Renna Maya.”

Itu sebuah kebohongan. Perlahan Renna melangkah ke pintu. Membiarkan air matanya jatuh seiring derap langkahnya. Ketika pintu mengayun menutup, samar didengarnya suara kaca pecah. Ya Allah, apakah Albert melukai dirinya lagi? Sungguh, Renna tak tega meninggalkannya sendirian di rumah sebesar itu. Bagaimana bila Albert muntah darah lagi seperti kemarin? Atau mencoba memotong jarinya sendiri dengan pisau seperti minggu lalu?

Beberapa hari berikutnya, Renna terus saja memikirkan Albert. Teman-temannya terus saja menyalahkannya. Memintanya melupakan Albert.

“Ambil aja sisi positifnya,” kata Aurelia.

“Kamu jadi nggak perlu sering-sering absen dari latihan choir dan kegiatan MC. Kamu juga bisa fokus sama cita-citamu jadi psikolog dan hypnotherapyst.”

Renna tak merespon. Bukan itu yang ia inginkan. Rasa kehilangan menyertai kesedihannya. Ia tak bisa berhenti mencemaskan, memikirkan, dan merindukan Albert.

“Kamu harus realistis, Renna. Buat apa kamu mengharapkan cinta laki-laki seperti dia?” bujuk Meisha.

“Aku tidak mengharapkan apa-apa,” sahut Renna.

“Sebuah kebodohan jika kamu mencintainya, Renna. Bagaimana kalau kamu membencinya? Cukup ingat saja kekurangan-kekurangan dia, kamu pasti akan membencinya.”

“Keterlaluan kamu, Meisha! Aku tidak akan melakukan itu!” hardik Renna marah. Melompat bangkit dari kursinya, lalu berlari meninggalkan ruang latihan.

Meisha dan Aurelia bertatapan. Tak mengerti dengan sikap Renna.

“Ya ampun...Albert pakai trik apa sih sampai Renna segitu cintanya sama dia?”

“Tapi dia memang ganteng sih. Pintar, kaya, terkenal lagi.”

“Yee...kalo penyakitan dan nggak bisa punya anak ya sama aja.”

Di luar ruangan, Renna menenangkan diri. Bodohkah ia mencintai Albert? Sia-siakah cintanya selama ini? Mengapa hati Albert tak juga terbuka?

Gadis cantik itu tenggelam dalam pikirannya. Haruskah ia membenci Albert? Nuraninya menyangkal, hatinya menolak keras. Ia tidak ingin membenci Albert. Meski ia punya beribu alasan untuk membencinya.

Di sudut terdalam hatinya, Renna meyakini bahwa mencintai Albert bukanlah suatu kebodohan. Mencintai Albert bukanlah suatu kesia-siaan. Tak ada kebodohan dan kesia-siaan untuk mencintai seseorang. Dan Renna lebih mempercayai kata hatinya sendiri dibanding kata-kata orang lain.

**     

Sebelum meninggal, Tuan Adolf sempat melebarkan spektrum bisnisnya pada sektor bisnis kuliner. Realisasinya dengan membuka sebuah cafe. Baru beberapa bulan cafe itu dijalankan, pria berdarah Jerman itu meninggal dalam kecelakaan pesawat. Pada siapa lagi Tuan Adolf mewariskan semua bisnis yang telah dirintisnya selain pada Albert, putra tunggalnya? Keluarga besar pun menyerahkan semua bisnis keluarga untuk dikelola Albert.

Sejak itulah jalan hidup Albert berubah. Dari psikolog menjadi pebisnis. Namun ia tetap mempertahankan side job-nya sebagai MC dan penyiar radio. Dua pekerjaan sampingan itu tak bisa ia tinggalkan. Keluarga besar pun mengerti passion Albert.

Sambil menjalankan bisnis keluarga, Albert masih bisa menerima tawaran job MC serta menjadi host program Sharing About Love and Life. Akan tetapi, tawaran yang diterimanya siang ini berbeda.

“Albert, kamu mau jadi wedding singer nggak?” tawar Alysa, sahabatnya yang memiliki sebuah wedding organizer.

Albert refleks mengerutkan dahinya. “Wedding singer? Aku belum pernah melakukannya.”

“Ayolah Albert, please...aku yakin kamu pasti bisa. Suaramu bagus. Kamu juga pandai main piano. Mau ya?”

“Kapan pernikahannya?”

“Sabtu ini.”

Entah apa yang merasuki kepala Alysa saat menawarinya pekerjaan wedding singer. Tak biasanya ia mendapat pekerjaan semacam itu. Diberi hati yang lembut dan baik membuat Albert tak kuasa menolak.

“Yes! Thanks, Albert. Aku jamin kamu akan senang. Ini pernikahan Karin.”

Karin? Detik berikutnya, Albert tersentak kaget. Karin adalah kakak Renna.

**     

I can show you the world

Shining, shimmering, splendid

Tell me, princess, now when did

You last let your heart decide?

I can open your eyes

Take you wonder by wonder

Over, sideways and under

On a magic carpet ride

A whole new world

A new fantastic point of view

No one to tell us no or where to go

Or say we’re only dreaming

A whole new world

A dazzling place I never knew

But when I’m way up here

It’s crystal clear

That now I’m in a whole

New world with you...(A Whole New World).

Tak mudah menyanyikan lagu-lagu cinta nan romantis sementara hati kita terluka akibat kekecewaan cinta. Setidaknya, itulah yang dialami Albert. Beban di hatinya sedikit berkurang karena ia ditemani Alysa. Alysa yang manis dan bersuara bagus itu bernyanyi bersamanya.

Para tamu undangan dibuat terkesima. Bukannya fokus pada pengantin pria dan wanita, mereka justru memperhatikan wedding singer-nya. Terutama si pria tampan di balik piano. Tatapan mereka tanpa kedip saat menatapi pria itu.

“Tampan sekali ya...bisa-bisa si pengantin wanita melompat dari pelaminan dan kabur bersama si penyanyi.” kata para tamu. Maksudnya tentu bercanda. Namun kenyataannya, Albert jauh lebih tampan dibanding pengantin pria.

Sementara Albert tak peduli meski ia menjadi pusat perhatian. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling ballroom. Mencari seseorang yang sangat dirindukannya. Dimanakah gadisnya yang jelita itu? Albert rindu, benar-benar rindu. Sesal memberati pikirannya karena telah mengusir si gadis tempo hari.

“Mencari Renna? Itu di sana...dia jadi bridesmaid.” tunjuk Alysa.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Hati Albert terasa hangat. Ya, Renna ada di dekatnya. Menjadi bridesmaid atau pendamping pengantin wanita. Renna nampak semakin cantik dalam balutan dress soft pink-nya. Wajahnya mulus dengan sapuan make up natural. Tanpa make up pun, Renna sudah cantik.

Albert terpaku. Sedih dan rindu. Ia ingin menghampiri Renna. Memeluknya, meminta maaf, namun ia tak berdaya. Renna harus mengerti. Albert tidak akan membiarkan gadis yang dicintainya menikah dengan pria yang berpenyakit dan tidak bisa meneruskan keturunan seperti dirinya. Renna harus bahagia dengan pria lain.

Hadir ke acara pernikahan seperti serangan kejiwaan bagi Albert. Ironi memagut perasaannya. Pernikahan adalah sesuatu yang takkan pernah ia lakukan. Dia tidak akan mengikat wanita mana pun dalam pernikahan.

Tak sedikit tamu yang datang bersama keluarganya. Mereka membawa anak-anak yang masih kecil ke perhelatan mewah ini. Anak? Satu hal lagi yang tidak bisa dimiliki Albert. Riwayat kesehatannya yang jauh dari kata baik tidak memungkinkannya memiliki anak. Melihat sejumlah pria memeluk, menggendong, dan menyuapi anak-anak mereka, hati Albert teriris. Selamanya ia tak bisa menjadi seorang ayah. Tak bisa menjadi orang tua untuk anak kandungnya sendiri. Kenyataan pahit ini mesti dihadapinya. Berakhir sudah garis keturunan Tuan Adolf. Mustahil Albert melanjutkannya.

Terkadang, hidup memang ironis. Seorang pria penyayang, lembut hati, penyabar, dan berpotensi menjadi ayah yang baik justru divonis mandul. Sedangkan pria-pria berwatak keras, kasar, emosional,  arogan, dan jauh dari sifat penyayang diberi banyak anak. Tiap orang sudah mempunyai rezekinya masing-masing.

Andai Albert tahu, Renna pun tak berdaya. Kuat keinginannya untuk berlari naik ke atas panggung dan mendekap belahan jiwanya. Ia adalah brisemaid. Mana mungkin ia melakukan tindakan sebodoh itu? Bisa-bisa ia membuat malu keluarga besarnya. Ia teramat merindukan Albert. Dan kini Albert berada sangat dekat dengannya. Hal paling menyakitkan, jika kita merindukan dan melihat dia namun kita tak bisa menggapainya.

Hati Albert dan Renna hancur. Mereka saling mencintai. Kondisi yang memaksa mereka berpisah. Bagaimanakah skenario Illahi selanjutnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun