“Chelsea, ayo latihan lagi! Waktu istirahatnya udah abis! Kamu ngapain sih di sini?”
Keanu, Kevin, Azura, dan Lerissa menghampiriku. Berdiri di kanan-kiriku.
“Oh iya iya...” sahutku salah tingkah, tahu jika sejak tadi aku tidak fokus.
“Chelsea kenapa?” tanya Azura lembut.
“Ada masalah? Cerita sama aku.” Keanu berkata penuh simpati.
Aku terdiam sesaat. Bingung harus mulai dari mana. Eits, aku lupa memperkenalkan diri ya? Namaku Chelsea Sabarina Albert. Lucu kan namaku? Mungkin saat itu, Ayah-Bundaku mengharapkan aku tumbuh menjadi gadis cantik yang penyabar. Albert adalah nama ayahku. Aku senang memakai namanya di belakang namaku.
Sekarang aku duduk di kelas 7 Al Irsyad Satya Islamic School. Aku senang bersekolah di sini. Teman-temannya baik, guru-gurunya pun ramah. Kesempatan bersekolah di sekolah Islam elite seperti ini kumanfaatkan sebaik mungkin dengan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, aku tergabung di OSIS. Aku terpilih sebagai Sekretaris OSIS. Kata Ayah, berorganisasi sangat banyak manfaatnya. Bisa menambah teman, link, belajar bersosialisasi, berkomunikasi, dan mengembangkan soft skill. Makanya Ayah menyarankanku untuk masuk organisasi dan ikut banyak ekstrakurikuler. Kuakui, semua perkataan Ayah benar.
Bicara tentang Ayah memang tak ada habisnya. Ayah adalah pria paling sempurna di mataku. Tampan, baik hati, sukses, charming, sabar, dan lembut hati. Meski sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit sebagai dokter Anestesiologi, Ayah selalu bisa membagi waktu antara karier dan keluarga. Hebatnya, Ayah tak pernah melewatkan kesempatan untuk hadir saat aku fashion show, mengikuti perlombaan, maupun momen prestatif lainnya. Sesibuk apa pun Ayah, selalu ada waktunya untukku.
Banyak temanku mengagumi Ayah. Mereka bahkan ingin bertukar posisi denganku. Jika sudah begitu, aku hanya tersenyum dan bersyukur. Ayah adalah cinta pertamaku. Waktu kecil, aku pernah membayangkan suatu saat nanti akan menikah dengan Ayah dan menggantikan posisi Bunda. Namun itu tak mungkin. Pikirku, nanti Bunda menangis di surga sana. Ayah hanya milikku dan Bunda.
Sayangnya, semuanya mulai berubah. Ayah mengenal seorang wanita bernama Tante Chika tiga tahun lalu. Sama seperti Ayah, Tante Chika juga single parent. Dia punya satu anak perempuan seusiaku. Namanya Jeany. Ternyata Ayah menyukai Tante Chika. Bahkan Ayah pernah meminta izin padaku untuk menikahi Tante Chika. Tidak, sampai kapan pun Tante Chika tidak akan menjadi Bundaku. Bundaku hanya satu, beliau takkan terganti.
“Hmm...jadi gitu ya? Ayah kamu masih pengen nikah sama tante-tante centil itu?” komentar Lerissa pedas. Lerissa pernah mengikuti les modeling di sekolah model milik Tante Chika. Sejak mendengar ceritaku, ia jadi kurang suka pada Tante Chika.
“Iya, Sa. Sedih kan? Aku nggak mau Ayah nikah sama Tante Chika,” kataku sedih.
Keanu dan Kevin bergantian menepuk bahuku. Aduh, sentuhan tangan itu. Tepukan lembut Keanu di bahuku terasa menenangkan.
“Sabar ya? Coba kamu pikirin lagi. Liat masalahnya bukan dari sudut pandang kamu aja, tapi dari sudut pandang ayah kamu juga.” Saran Keanu bijak.
“Chelsea, kayaknya ayah kamu butuh pendamping hidup. Bisa aja Om Albert kesepian.” Timpal Kevin.
“Kesepian gimana? Kan udah ada aku. Ayah kalo curhat juga ke aku,” bantahku.
“Beda, Chelsea. Om Albert butuh teman curhat yang seumuran sama dia. Butuh pendamping hidup lagi. Paham?” jelas Azura sabar.
Aku merenungi perkataan teman-temanku. Ya Allah, haruskah aku mengizinkan Ayah menikah lagi? Berat sekali rasanya. Namun, aku akan sangat egois bila tidak mengizinkan Ayah menikahi Tante Chika.
“Hei, kalian mau latihan nggak? Ayo, dua minggu lagi konser lho!” seru vocal koach kami dari ruang latihan.
Kami berlima tersentak kaget. Berlari ke ruang latihan. Aku, Keanu, Azura, Lerissa, dan Kevin membentuk vocal group. Namanya Sound of Sky. Alhamdulillah, kami sering menjuarai kompetisi vocal group tingkat nasional dan internasional. Kami juga sering mengadakan konser dan diundang mengisi acara-acara besar. On air dan off air di sejumlah televisi serta radio pernah kami lakukan.
**
Kata mereka
Diriku selalu dimanja
Kata mereka
Diriku selalu ditimang
Nada-nada yang indah
Selalu terurai dari bibirnya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Telah menangkap tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Kata mereka
Diriku selalu dimanja
Kata mereka
Diriku selalu ditimang
Oh Bunda
Ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada
Di dalam hatiku (Melly Goeslaw-Bunda).
Kumainkan piano sambil bernyanyi. Kutatapi pigura foto Ayah dan Bunda yang terpasang di dinding. Mataku berkaca-kaca. Aku rindu Bunda. Meski kebersamaanku dengan Bunda sangat singkat, sosoknya akan selalu kukenang. Bunda menempati relung terdalam di hatiku. Jika aku masih punya Bunda, aku takkan sesedih ini. Jika aku masih punya Bunda, aku dan Ayah takkan kesepian. Jika aku masih punya Bunda, Ayah takkan menyukai Tante Chika dan ingin menikahinya.
“Kenapa Bunda tinggalin Chelsea dan Ayah? Chelsea kangen Bunda,” lirihku. Bibirku bergetar menahan haru dan kesedihan.
Azan Maghrib berkumandang. Aku bangkit dari sofa, berniat mengambil wudhu. Beberapa meter dari pintu kamar, langkahku terhenti. Aku terperangah. Ada bercak darah di gaunku. Ya Allah, apa ini?
Bercak darah itu semakin banyak. Aku panik. Aku berpikir dan terus berpikir. Apa yang telah terjadi dengan diriku? Semenit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit, aku tersadar. Ini normal untuk perempuan. Orang menamakannya menstruasi. Semua perempuan yang telah akil balig mengalaminya. Sore ini, kali pertama aku mengalami menstruasi.
Aku sedih dan bahagia. Sedih karena aku tak punya sosok perempuan di rumah untuk mengadu dan sharing tentang menstruasi. Jika aku masih punya Bunda, pasti Bunda akan mengajariku cara menggunakan pembalut dan semacamnya. Bahagia karena ternyata kini aku sudah akil balig. Baiklah, satu-satunya tempatku mengadu dan berbagi kisah hanyalah Ayah. Tak masalah, Ayah pasti paham.
Detik berikutnya, kulihat BMW milik Ayah meluncur masuk ke halaman. Cepat-cepat aku melangkah keluar kamar. Membukakan pintu depan.
“Ayah...” sapaku ceria. Seperti biasa memeluknya erat.
Ayah tersenyum. Balas memelukku. Mengecup hangat keningku. Membelai rambut panjangku. Aku suka wangi Hugo Boss Element itu. Wangi khas Ayah. Wangi parfum favorit Ayah.
“Sayang, gimana sekolahnya hari ini?”
Itu pertanyaan rutin Ayah. Ayah selalu ingin tahu tentang duniaku dan sekolahku. Ayah selalu peduli dan perhatian.
“Seru, Ayah. Tadi Chelsea dapat nilai sembilan pas ulangan Matematika. Trus latihan Sound of Sky.”
“Anak pintar,” Ayah sekali lagi mengecup keningku.
“Tapi Ayah...” Kalimatku menggantung. Ragu.
“Tapi apa, Sayang? Kamu ada masalah?”
Kuhela napas panjang. Aku berbisik,
“Chelsea menstruasi...”
Sesaat Ayah terlihat kaget. Dua detik kemudian, seulas senyum merekah di wajahnya. Ia merengkuhku untuk kedua kalinya.
“Anak Ayah sudah besar. Kamu pasti bingung ya? Ini yang pertama buat kamu. Biar Ayah minta tolong Tante Chika ya?”
“Nggak mau!” tolakku keras. Ayah terkejut mendengarnya.
“Chelsea nggak mau ketemu sama Tante Chika! Chelsea bisa atur sendiri kok!”
Aku sadar, kata-kataku sudah terlalu kasar. Namun aku tak peduli. Aku benci Tante Chika. Wanita itu sudah merebut Ayah dariku.
“Tante Chika udah rebut Ayah! Ayah jadi lupain Bunda! Chelsea benci Tante Chika!”
Tangisku pecah. Kupererat pelukanku pada Ayah. Ayah mendaratkan tangan hangatnya di rambutku. Membelainya penuh kasih.
“Chelsea, Ayah minta maaf. Ayah nggak pernah lupain Bunda. Bunda selalu ada di hati Ayah. Kamu dan Bunda adalah dua hal terpenting dalam hidup Ayah.” Ujar Ayah lembut.
“Terus, kenapa Ayah mau nikah sama Tante Chika?” balasku sambil terisak.
“Sayang, Ayah sudah memutuskan. Ayah nggak akan nikah sama Tante Chika kalo kamu nggak setuju. Kamu segalanya buat Ayah.”
Perkataan Ayah membuatku tertegun. Hatiku tersentuh. Ayah memang perfect. Ia selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Lagi-lagi Ayah berkorban demi aku. Ayah tetap bertahan pada pilihannya untuk tidak menikah lagi. Mungkin akan sangat menyakitkan, tapi ini keputusan terbaik. Bunda akan tenang dan bahagia di surga sana. Begitu pula aku. Bahagia dengan keputusan Ayah.
Alhasil, Ayah yang menemani dan membantuku melewati masa-masa peralihan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H