Kuhela napas panjang. Aku berbisik,
“Chelsea menstruasi...”
Sesaat Ayah terlihat kaget. Dua detik kemudian, seulas senyum merekah di wajahnya. Ia merengkuhku untuk kedua kalinya.
“Anak Ayah sudah besar. Kamu pasti bingung ya? Ini yang pertama buat kamu. Biar Ayah minta tolong Tante Chika ya?”
“Nggak mau!” tolakku keras. Ayah terkejut mendengarnya.
“Chelsea nggak mau ketemu sama Tante Chika! Chelsea bisa atur sendiri kok!”
Aku sadar, kata-kataku sudah terlalu kasar. Namun aku tak peduli. Aku benci Tante Chika. Wanita itu sudah merebut Ayah dariku.
“Tante Chika udah rebut Ayah! Ayah jadi lupain Bunda! Chelsea benci Tante Chika!”
Tangisku pecah. Kupererat pelukanku pada Ayah. Ayah mendaratkan tangan hangatnya di rambutku. Membelainya penuh kasih.
“Chelsea, Ayah minta maaf. Ayah nggak pernah lupain Bunda. Bunda selalu ada di hati Ayah. Kamu dan Bunda adalah dua hal terpenting dalam hidup Ayah.” Ujar Ayah lembut.
“Terus, kenapa Ayah mau nikah sama Tante Chika?” balasku sambil terisak.