Bercak darah itu semakin banyak. Aku panik. Aku berpikir dan terus berpikir. Apa yang telah terjadi dengan diriku? Semenit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit, aku tersadar. Ini normal untuk perempuan. Orang menamakannya menstruasi. Semua perempuan yang telah akil balig mengalaminya. Sore ini, kali pertama aku mengalami menstruasi.
Aku sedih dan bahagia. Sedih karena aku tak punya sosok perempuan di rumah untuk mengadu dan sharing tentang menstruasi. Jika aku masih punya Bunda, pasti Bunda akan mengajariku cara menggunakan pembalut dan semacamnya. Bahagia karena ternyata kini aku sudah akil balig. Baiklah, satu-satunya tempatku mengadu dan berbagi kisah hanyalah Ayah. Tak masalah, Ayah pasti paham.
Detik berikutnya, kulihat BMW milik Ayah meluncur masuk ke halaman. Cepat-cepat aku melangkah keluar kamar. Membukakan pintu depan.
“Ayah...” sapaku ceria. Seperti biasa memeluknya erat.
Ayah tersenyum. Balas memelukku. Mengecup hangat keningku. Membelai rambut panjangku. Aku suka wangi Hugo Boss Element itu. Wangi khas Ayah. Wangi parfum favorit Ayah.
“Sayang, gimana sekolahnya hari ini?”
Itu pertanyaan rutin Ayah. Ayah selalu ingin tahu tentang duniaku dan sekolahku. Ayah selalu peduli dan perhatian.
“Seru, Ayah. Tadi Chelsea dapat nilai sembilan pas ulangan Matematika. Trus latihan Sound of Sky.”
“Anak pintar,” Ayah sekali lagi mengecup keningku.
“Tapi Ayah...” Kalimatku menggantung. Ragu.
“Tapi apa, Sayang? Kamu ada masalah?”