Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kapan Pun, Aku Selalu Ada

19 Februari 2017   08:35 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:02 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan ringan di depan lift berhasil mengalihkan kejenuhan mereka. Gadis bergaun merah itu berdiri di antara teman-temannya. Lebih banyak mendengarkan. Sesekali tersenyum menanggapi. Sampai akhirnya Cacha melemparkan pujian.

“Hei, dress kamu bagus deh. Baru ya? Beli dimana, Princess?”

Princess, ia suka panggilan itu. Gaun-gaun cantik yang dikenakannya membuat beberapa teman melekatkan panggilan itu padanya. Jika ada Princess, pasti ada Prince. So, dimana Prince itu?

“Cacha ikut-ikutan aja. Pasti pengen punya baju kayak gitu.” Sergah Meisha. Sejurus kemudian ia berpaling menatap gadis bermata biru itu.

“Maurin, kamu masih suka ke rumah singgah khusus anak-anak pengidap kanker itu?”

“Kenapa memangnya?” Si gadis balik bertanya.

“Aku pengen ke sana. Kamu mau ikut?”

“Mau banget! Aku kangen anak-anak itu. Mereka pasti butuh support dan kasih sayang dari kita.”

Gadis itu menyukai anak kecil. Ia senang bermain, mengajar, dan mendengarkan cerita mereka. Ia pun menyukai tingkah lucu mereka.

Anak kecil, khususnya anak-anak pengidap kanker dan anak yatim-piatu menjadi tempatnya berbagi. Berbagi kebahagiaan dalam bentuk rezeki. Memberikan sesuatu yang mereka butuhkan. Mencintai, menyayangi, dan mengasihi mereka setulusnya.

Pintu lift terbuka. Mereka bergegas masuk. Si gadis menghela nafas lega. Paling tidak ia ditemani beberapa orang di dalam lift. Jujur, ia tak suka naik lift sendirian. Terlalu banyak hal tak kasat mata berenergi negatif yang dilihatnya.

**    

And who do you think you are?

Running round leaving scars

Collecting your jar of hearts

And tearing love apart

You're gonna catch a cold

From the eyes inside your soul

So don't come back for me

Who do you think you are? (Christina Perry-Jar of Hearts).

**    

Mengikuti paduan suara mahasiswa tak sekedar latihan vokal atau bernyanyi di event-event internal maupun eksternal. Sejumlah agenda seperti konser tahunan dan rapat global para pengurus pun harus diikuti.

Seperti sore ini. Saat teman-teman sekelasnya sudah beristirahat di rumah mereka, gadis itu masih berada di kampus. Mengikuti agenda rapat global PSM. Tak mengapa, demi loyalitas pada sebuah organisasi.

Sesaat langkahnya terhenti di depan pintu auditorium. Terpandang olehnya siluet sedan putih meluncur memasuki halaman gedung. Ia mengenali sedan itu dan pemiliknya. Sesosok pria dewasa berusia sekitar 27 tahun turun dari mobil. Andai saja tanpa dihiasi ekspresi angkuh, wajahnya dapat dikatakan tampan. Terlihat pria itu membukakan pintu untuk seorang gadis cantik bertubuh langsing dan berkulit kuning langsat. Keduanya berjalan bergandengan tangan memasuki gedung. Melewati si gadis begitu saja, seolah ia tidak ada.

Menggigit bibirnya kuat, gadis itu terus menatapi mereka. Rupanya belum berubah. Masih arogan, masih tersimpan niat untuk menyakiti dan melukai hati. Hatinya berdenyut sakit. Luka lama itu seakan terbuka kembali.

Dihelanya napas panjang. Memejamkan mata. Memfokuskan pikiran pada orang-orang yang menyayangi dan mencintainya. Mama, keluarga, Renna, Andini, dan Albert. Mereka semua jauh lebih penting. Mereka semua seratus kali lipat lebih baik dari pelatih vokal dan kekasihnya itu.

“Mama nggak akan pernah ninggalin kamu...”

“Teteh kan punya aku. Aku bisa menenangkan Teteh kapan pun.”

“Kalo ada apa-apa, cerita aja sama Andini.”

“Aku juga sayang kamu. Aku berharap tidak ada lagi yang menyakitimu...ya?”

Ia mengingat ucapan mereka semua. Ingatan itu menjadi stimulus yang merangsang otaknya untuk berpikir positif. Ia mensugestikan dirinya sendiri untuk berdamai dengan masa lalu. Berhasil, ia dapat melupakan perihnya luka lama. Masih banyak orang-orang yang tulus menyayangi dan mencintainya. Ia tak perlu takut. Tak perlu sedih dan putus asa.

“Hei, kamu masih di sini?” Silvi mengagetkannya.

“Masuk yuk, rapatnya udah hampir mulai.” Ajak Aldia.

Kedua gadis itu menggandeng tangannya. Memasuki auditorium, semua anggota PSM telah berkumpul. Mereka bertiga mengisi bangku di barisan terdepan. Mengeluarkan kertas dan alat tulis.

Rapat dimulai. Sering sekali si pelatih vokal pemilik sedan putih berbicara. Mendoktrinasi anak-anak bimbingannya dengan pemahaman tentang komersialisasi dalam mengadakan konser tahunan. PSM akan mengadakan konser tahunan bertajuk Disney. Rencananya mereka juga akan berkolaborasi dengan beberapa guess star. Si pelatih vokal berwajah arogan membuat anak-anak berpikiran bahwa konser tahunan bisa menjadi ajang bisnis. Ajang mencari profit sebesar-besarnya. Tujuan awal konser bukan begitu, melainkan untuk menambah pengalaman dan memperkenalkan paduan suara universitas mereka.

“Kok gitu, ya?” bisik Silvi keheranan.

“Terus fungsi sosialnya mana?”

“Ah, kamu kayak nggak tahu pelatih vokal kita aja. Dia kan orangnya komersial, nggak suka hal-hal yang berkaitan sama kegiatan sosial.” Tukas Aldia.

“Jelaslah. Pelatih kita kan udah jadi pengusaha sekarang. Dia tahu cara memanfaatkan peluang bisnis.”

Tanpa diduga, si gadis bertubuh langsing dan berkulit kuning langsat menimpali obrolan Silvi dan Aldia. Tiga pasang mata tertuju padanya. Si gadis bermata biru yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia, menatapi kekasih baru sang pelatih. Ia masih ingat nama gadis itu.

“Aduh Novia, pantas kamu belain Kak Farhan! Dia kan pacar kamu!” bentak Silvi.

Novia tersenyum berpuas diri. “Iya dong...pacar aku yang paling perfect. Aku beruntung, bisa dapetin dia. Dari pada anak yang pakai dress merah. Jangankan dicintai, diperhatikan saja tidak.”

Si gadis bermata biru tak terpengaruh. Justru dia membalas senyuman angkuh Novia. Tak kalah sinisnya. Namun tetap manis dan anggun. Bermain cantik, itulah istilahnya.

“Allah akan memberiku pendamping hidup yang jauh lebih baik,” ujarnya diplomatis.

“Oh ya? Kabarnya, kamu lagi dekat sama Frater Katolik? Kasihan ya kamu...” timpal Novia meremehkan.

Susah payah gadis yang punya bakat manja itu menyembunyikan keterkejutannya. Dari mana Novia tahu? Ia tidak bercerita pada siapa pun kecuali pada sahabat-sahabat terdekatnya. Ia juga tak pernah menuliskan sesuatu di media sosial yang berkaitan dengan itu. Dekat dengan Albert membuatnya belajar satu hal: privasi. Jika ia ingin menumpahkan perasaannya, menulis di blog dengan menghilangkan tanda-tanda tertentu bisa menjadi solusi. Akan tetapi, tak satu pun temannya yang tahu tentang blog-nya.

“Terus kenapa kalau aku dekat dengan Frater?” balas si gadis, stay cool.

“Dari dulu, love story kamu selalu jelek ya? Memangnya kamu bahagia saat kamu menyayangi orang seperti itu? Sudah tidak akan menikah, dia juga tidak bisa memberi apa-apa buat kamu. Malah kamu yang memberi sesuatu buat dia, kan?”

“Kata siapa? Dia memberi sesuatu buatku. Sesuatu yang diberikan tidak harus berupa materi. Asal kamu tahu saja, aku senang bisa memberi sesuatu untuknya. Dia jauh, jauh lebih baik dari pelatih vokal kesayanganmu itu. Dia sederhana, tapi dia sangat tulus dan pengertian. Lebih baik aku memilih pria sederhana tapi tulus dibandingkan pria kaya tapi  jahat dan hanya bisa menyakiti perasaan orang lain.”

Seraya berkata begitu, ia mengingat semua kebaikan Albert. Begitulah yang dilakukannya tiap kali merindukan pria tampan bermata teduh itu. Jika merindukan seseorang, ingatlah semua kebaikannya. Albert tak meninggalkannya meski tahu kelemahannya. Dari sedikit orang yang benar-benar dekat, Albert salah satu orang terdekat tempatnya memperlihatkan kemanjaan. Gadis bermata biru dan berdagu lancip itu nyaman saat berbicara dengan Albert. Gadis itu pun mengingat lagu yang pernah dinyanyikan Albert untuknya, senyum menawannya, wajah rupawannya, pelukannya, genggaman tangannya, kata-kata lembutnya, cara pria itu menjaganya, memanjakannya, dan menenangkannya. Berhasil, semua kenangan membahagiakan itu mampu membuatnya bertahan di sini.

Tepat pada saat itu, si pelatih vokal turun dari podium. Menghampiri Novia. Merangkul pinggangnya mesra. Menyapa anggota PSM yang lain satu per satu. Nama si gadis bermata biru itu tak disebut. Melihat ke arahnya pun tidak.

Gadis bermata biru itu tak peduli. Dia pikir siapa dirinya? Hanya bagian dari masa lalu yang tidak berharga. Hanya bisa melukai hati orang lain. Hanya bisa mematahkan hati orang lain dan berbuat jahat. Pergi dan jangan kembali, bisik hatinya. Hatinya telah menjadi milik yang lain.

**    

Kau yang terbaik Yang pernah Aku dapatkan

Yang terbaik Yang selalu ku dengar

Aku tahu Kini takkan mudah

Tuk bisa terus bersamamu

Karena malam ini

Saat yang terindah Bagi hidupku

Oh Tuhan jangan hilangkan dia

Dari hidupku selamanya

Sungguh ku tak ingin

Hatiku jadi milik yang lainnya

Ku bersumpah Kau sosok yang tak mungkin

Ku temukan Lagi (Rossa-Jangan Hilangkan Dia).

**   

Sejak berbaikan lagi, entah mengapa gadis itu ingin Albert menemaninya. Sudah lama ia tidak meminta sesuatu pada pria itu.

“Happy Valentine’s Day, Albert.”

Sungguh, ada perasaan berbeda saat ia mengucapkan kalimat itu untuk Albert. Hangat menjalari hati dan jiwanya.

“Selamat Hari Valentine,” balas Albert.

“Kukira kamu tidak merayakannya. Soalnya ada sejumlah umat Muslim yang terganggu dengan perayaan Valentine.”

  Gadis itu tersenyum kecil. Merapikan gaun biru langitnya.

“Aku tidak terganggu, dan aku bukan tipe umat seperti itu.” Jawabnya tenang.

“Aku tidak merayakannya,” ujar Albert tiba-tiba.

“Bagiku, setiap hari adalah Valentine. Setiap hari penuh kasih sayang.”

Pria satu ini memang berbeda. Bukan hanya wajahnya yang rupawan, hatinya pun seindah wajahnya. Pria yang lahir di kota apel beriklim sejuk penghasil gadis cantik dan pemuda tampan itu tak pernah ia temukan lagi. Hati gadis bermata biru dan pria bermata teduh itu telah terkoneksi dengan adanya energi hati. Energi hati itu membuat ikatan batin mereka menjadi kuat.

“Betul, Albert. Kamu satu pemikiran denganku. Setiap hari adalah hari kasih sayang. Valentine hanyalah satu dari sekian banyak simbol kasih sayang di dunia.” Jelas gadis itu bahagia.

Sesaat hening. Sekilas ia memperhatikan sang biarawan yang dicintainya. Merasakan sesuatu. Lalu ia berkata. “Albert, terima kasih telah menjadi bagian hidupku. Aku bisa berdamai dengan masa lalu.”

Diceritakannya momen rapat global PSM dan sikap si pelatih vokal yang pernah melukainya. Albert sabar mendengarkan. Ia tahu perasaan gadis itu. Dirinya adalah satu dari sedikit sumber kebahagiaan yang dimiliki gadis penyuka white lily itu. Bersamanya, gadis itu nyaman dan bahagia.

“Sudahkah kamu berdamai dengan masa lalu? Cerita sama aku...” Si gadis mengakhiri ceritanya dengan pertanyaan.

“Berdamai dengan masa lalu? Aku melihat itu dari kacamata kebaikan. Kulihat semuanya dari sisi positif. Pernah ada yang berkata sesuatu yang tidak mengenakkan hati. Rasanya sakit sekali. Aku merasa marah, kuungkapkan saja. Tapi akhirnya aku merasa bersalah dan aku minta maaf.”

Bagaimana caranya pria sesabar dan selembut itu marah? Si gadis tak bisa membayangkan seorang Arif Albert marah-marah dan menumpahkannya pada orang tak bersalah.

“Itu paket dari siapa?”

Pertanyaan Albert menyadarkannya. Gadis itu tersentak, buru-buru membuka kotak terbungkus kertas coklat di depannya.

“Ini dari keluargaku. Mereka baru balik dari Lampung. Oh ya, apa kamu suka membeli oleh-oleh untuk keluargamu? Bukannya kamu sering ke luar kota saat retret tahunan dan Tahun Orientasi Pastoral?”

“Kadang aku membeli oleh-oleh untuk mereka. Kadang juga tidak. Karena tidak ada uang. Bisa pulang ke rumah saja sudah beruntung.”

Albert tertawa kecil saat menceritakannya. Gadis bermata biru itu lekat memperhatikannya. Polos sekali, batinnya. Polos dan sederhana, juga apa adanya. Justru itulah yang disukainya dari Albert.

“Pernah dari Bandung aku membeli baju. Bukan untuk orang tuaku, tapi untuk adik-adik kecil di kanan-kiri rumahku. Mereka senang. Tapi aku tidak membawakan baju untuk orang tuaku. Sedih...”

Lagi-lagi Albert memperlihatkan kejujuran dan sikap innocent-nya. Gadis cantik mana pun akan dibuat terkesan dan tersentuh. Pesona Albert justru terletak pada kesederhanaan dan ketulusannya.

Satu lagi poin menarik yang ditangkap gadis itu. Albert penyayang anak-anak. Ia berbakat menjadi ayah yang baik. Ia tahu cara menyenangkan hati dan membahagiakan anak-anak.

Di balik senyum dan wajah innocent-nya, sebenarnya pria itu sakit. Ada sesuatu di tubuh dan pikirannya yang belum tersembuhkan dengan total. Namun gadis itu percaya, kelak penyakit yang ia maksud akan sembuh. Andai saja pria itu tidak keras kepala dan menerima bantuan terapinya lagi, proses penyembuhannya akan lebih cepat.

“Albert, sekali lagi aku ingin berterima kasih padamu.” Ucap gadis itu lembut.

“Terima kasih telah menjadi bagian hidupku...Ma Rousse Prince.”

Gadis itu tertegun. Begitu pula Albert. Sudah lama ia tak menggunakan panggilan khusus itu.

“Kalau kamu butuh aku, katakan saja. Kapan pun, aku selalu ada buat kamu.”

Sungguh ia tak ragu. Jika Albert yang meminta, waktunya akan ia berikan untuk pria itu. Ia ingin selalu ada, kapan pun pria itu membutuhkannya. Ia ingin menguatkan pria itu di saat sakit seperti dulu. Saat dua penyakit yang menggerogoti tubuh dan jiwanya mengganggu, gadis itu ingin selalu ada untuknya.

Bisakah gadis itu selalu ada untuk pria yang dicintainya? Bisakah semuanya kembali seperti dulu?

**   

Meski takkan mudah

Namun kau takkan sendiri

Ku ada di sini

Untukmu aku akan bertahan

Dalam gelap takkan kutinggalkan

Engkaulah teman sejati kasihku

Di setiap hariku

Untuk hatimu ku kan bertahan

Sebentuk hati yang kunantikan

Hanya kau dan aku yang tahu

Arti cinta yang telah kita punya (Afgan-Untukmu Aku Bertahan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun