“Oh ya? Kabarnya, kamu lagi dekat sama Frater Katolik? Kasihan ya kamu...” timpal Novia meremehkan.
Susah payah gadis yang punya bakat manja itu menyembunyikan keterkejutannya. Dari mana Novia tahu? Ia tidak bercerita pada siapa pun kecuali pada sahabat-sahabat terdekatnya. Ia juga tak pernah menuliskan sesuatu di media sosial yang berkaitan dengan itu. Dekat dengan Albert membuatnya belajar satu hal: privasi. Jika ia ingin menumpahkan perasaannya, menulis di blog dengan menghilangkan tanda-tanda tertentu bisa menjadi solusi. Akan tetapi, tak satu pun temannya yang tahu tentang blog-nya.
“Terus kenapa kalau aku dekat dengan Frater?” balas si gadis, stay cool.
“Dari dulu, love story kamu selalu jelek ya? Memangnya kamu bahagia saat kamu menyayangi orang seperti itu? Sudah tidak akan menikah, dia juga tidak bisa memberi apa-apa buat kamu. Malah kamu yang memberi sesuatu buat dia, kan?”
“Kata siapa? Dia memberi sesuatu buatku. Sesuatu yang diberikan tidak harus berupa materi. Asal kamu tahu saja, aku senang bisa memberi sesuatu untuknya. Dia jauh, jauh lebih baik dari pelatih vokal kesayanganmu itu. Dia sederhana, tapi dia sangat tulus dan pengertian. Lebih baik aku memilih pria sederhana tapi tulus dibandingkan pria kaya tapi jahat dan hanya bisa menyakiti perasaan orang lain.”
Seraya berkata begitu, ia mengingat semua kebaikan Albert. Begitulah yang dilakukannya tiap kali merindukan pria tampan bermata teduh itu. Jika merindukan seseorang, ingatlah semua kebaikannya. Albert tak meninggalkannya meski tahu kelemahannya. Dari sedikit orang yang benar-benar dekat, Albert salah satu orang terdekat tempatnya memperlihatkan kemanjaan. Gadis bermata biru dan berdagu lancip itu nyaman saat berbicara dengan Albert. Gadis itu pun mengingat lagu yang pernah dinyanyikan Albert untuknya, senyum menawannya, wajah rupawannya, pelukannya, genggaman tangannya, kata-kata lembutnya, cara pria itu menjaganya, memanjakannya, dan menenangkannya. Berhasil, semua kenangan membahagiakan itu mampu membuatnya bertahan di sini.
Tepat pada saat itu, si pelatih vokal turun dari podium. Menghampiri Novia. Merangkul pinggangnya mesra. Menyapa anggota PSM yang lain satu per satu. Nama si gadis bermata biru itu tak disebut. Melihat ke arahnya pun tidak.
Gadis bermata biru itu tak peduli. Dia pikir siapa dirinya? Hanya bagian dari masa lalu yang tidak berharga. Hanya bisa melukai hati orang lain. Hanya bisa mematahkan hati orang lain dan berbuat jahat. Pergi dan jangan kembali, bisik hatinya. Hatinya telah menjadi milik yang lain.
**
Kau yang terbaik Yang pernah Aku dapatkan
Yang terbaik Yang selalu ku dengar