Seperti sore ini. Saat teman-teman sekelasnya sudah beristirahat di rumah mereka, gadis itu masih berada di kampus. Mengikuti agenda rapat global PSM. Tak mengapa, demi loyalitas pada sebuah organisasi.
Sesaat langkahnya terhenti di depan pintu auditorium. Terpandang olehnya siluet sedan putih meluncur memasuki halaman gedung. Ia mengenali sedan itu dan pemiliknya. Sesosok pria dewasa berusia sekitar 27 tahun turun dari mobil. Andai saja tanpa dihiasi ekspresi angkuh, wajahnya dapat dikatakan tampan. Terlihat pria itu membukakan pintu untuk seorang gadis cantik bertubuh langsing dan berkulit kuning langsat. Keduanya berjalan bergandengan tangan memasuki gedung. Melewati si gadis begitu saja, seolah ia tidak ada.
Menggigit bibirnya kuat, gadis itu terus menatapi mereka. Rupanya belum berubah. Masih arogan, masih tersimpan niat untuk menyakiti dan melukai hati. Hatinya berdenyut sakit. Luka lama itu seakan terbuka kembali.
Dihelanya napas panjang. Memejamkan mata. Memfokuskan pikiran pada orang-orang yang menyayangi dan mencintainya. Mama, keluarga, Renna, Andini, dan Albert. Mereka semua jauh lebih penting. Mereka semua seratus kali lipat lebih baik dari pelatih vokal dan kekasihnya itu.
“Mama nggak akan pernah ninggalin kamu...”
“Teteh kan punya aku. Aku bisa menenangkan Teteh kapan pun.”
“Kalo ada apa-apa, cerita aja sama Andini.”
“Aku juga sayang kamu. Aku berharap tidak ada lagi yang menyakitimu...ya?”
Ia mengingat ucapan mereka semua. Ingatan itu menjadi stimulus yang merangsang otaknya untuk berpikir positif. Ia mensugestikan dirinya sendiri untuk berdamai dengan masa lalu. Berhasil, ia dapat melupakan perihnya luka lama. Masih banyak orang-orang yang tulus menyayangi dan mencintainya. Ia tak perlu takut. Tak perlu sedih dan putus asa.
“Hei, kamu masih di sini?” Silvi mengagetkannya.
“Masuk yuk, rapatnya udah hampir mulai.” Ajak Aldia.