Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ayah, Dirimu Takkan Terganti

12 Februari 2017   07:43 Diperbarui: 12 Februari 2017   12:28 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di umurnya yang ketujuh, Chelsea tumbuh menjadi gadis kecil yang pintar, lincah, ceria, dan cantik. Ia mempunyai senyum menawan yang sanggup merebut hati siapa saja. Tak seperti kebanyakan anak kecil lainnya, Chelsea bisa mengucapkan huruf “R” dengan baik. Soal ibadah, jangan ditanya lagi. Gadis kecil itu tak pernah menunda shalat. Ia sudah meninggalkan Iqra dan beralih membaca Al-Quran.

Tak hanya cantik dan taat beribadah, Chelsea belakangan ini senang sekali pada dunia modeling dan musik. Mungkin lantaran sering melihat Ayahnya bermain piano dan memperhatikan koleksi dress-dress cantik milik mendiang Bundanya. Hobinya adalah mix and match pakaian dan aksesoris dari berbagai warna serta kombinasi. Berjalan anggun di atas catwalk dan berpose di depan kamera bukan lagi hal baru baginya. Belajar piano klasik dengan Ayahnya ia tekuni.

Di sekolahnya, Chelsea termasuk populer. Teman-temannya mengaguminya, guru-gurunya menyayanginya. Jika sudah begitu, apa lagi yang kurang? Kecuali...

“Keanu, gimana rasanya punya Bunda?” tanya Chelsea seusai pelajaran.

Keanu, sahabat Chelsea, tersenyum. Menatap wajah cantik Chelsea yang dihiasi rasa penasaran.

“Senang. Tiap pagi kita dibuatin sarapan, diantar ke sekolah, dibantuin bikin PR, dan dibacain cerita.” Jawab Keanu.

“Tapi...aku juga rasain itu semua.” Chelsea mengangkat alisnya.

Ya, Chelsea mendapatkan semua yang Keanu dapatkan dari Bunda. Hanya saja, ia mendapatkannya dari Ayah.

Tiap pagi, Ayah membangunkannya. Mengajaknya shalat Shubuh berjamaah. Membuatkan toast, sandwich, baguette, bavarois, pancake, wafel, atau menu lainnya untuk sarapan. Mengantarkannya ke sekolah dengan Nissan X-Trailnya sebelum berangkat ke kantor. Menemaninya belajar dan bermain. Membantunya mengerjakan PR jika ada kesulitan.  Mendengarkan curahan hatinya. Mengajarinya bermain piano. Membacakan cerita untuknya sebelum tidur. Mendukung semua kegiatan fashion show, pemotretan, dan hobinya yang lain.

“Iya, Keanu tahu. Uncle Albert kasih semua itu buat Chelsea.”

Keanu mengerti, sungguh mengerti. Ada satu hal yang tidak dimiliki Chelsea. Satu hal yang dimiliki kebanyakan anak lain seusianya.

“Kalo mau, Bundanya Keanu jadi Bundanya Chelsea juga.” Tawar Keanu berbaik hati.

Chelsea terdiam. Keanu baik sekali. Mau berbagi kasih sayang Bundanya dengan anak lain. Ia tidak posesif, tidak pula ingin memiliki kasih sayang itu sendiri.

**    

“Bagiku kaulah cinta sejati...bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu, kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku...namun, takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku...yang telah terukir abadi, sebagai kenangan yang terindah.”

Pria tampan bermata teduh itu bersenandung kecil mengikuti alunan lagu yang terputar dari audioplayer mobilnya. Menikmati perjalanan pulang lantaran ruas-ruas jalan di Kota Kembang tidak terlalu padat. Ia tak sabar ingin cepat sampai rumah. Selain rindu pada Chelsea, ia pun telah berjanji pada anak itu untuk pergi bersama ke pertemuan keluarga besar.

Tiba di Jalan Ir. H. Djuanda, Dago,  ia teringat sesuatu. Tadi pagi Chelsea minta dibelikan tiramisu. Segera saja ia membelokkan mobilnya ke The Harvest. Membeli kue kesukaan putrinya.

Soal memanjakan anak, pria tampan berjas dan berdasi hitam itu tak pernah keberatan. Ia selalu ingin membuat Chelsea bahagia. Membelikan boneka, makanan favorit, dan baju-baju mahal adalah beberapa caranya menyenangkan hati Chelsea. Liburan semester kemarin, pria itu mengajak Chelsea ke Singapura. Ia memastikan Chelsea tak pernah kekurangan kasih sayang dan materi.

“Albert! Long time no see!”

Seorang pria muda berblazer coklat dan berkulit kuning langsat memukul kuat punggungnya. Perhatiannya pada sekotak tiramisu yang terpajang cantik di atas rak teralihkan.

“Septian kan?” ujarnya ragu-ragu.

“Iya! Payah kamu, Bro! Punya anak satu, tapi udah gampang lupa!” seru lelaki bernama Septian itu.

Albert tersenyum. Merangkul sahabat lamanya itu. “Senang ketemu kamu di sini. Apa kabar?”

“Baik. Aku mau buka cabang resto di Bandung. Gimana kabar Chelsea? Oh ya, kamu yakin nggak mau cari Bunda baru buat Chelsea?”

Ratusan kali Albert menerima pertanyaan itu. Namun ia bertahan pada pendiriannya. Bundanya Chelsea hanya satu, dan dia tak akan terganti. Chelsea pun tidak menginginkan Albert menikah lagi.

“Jadi Single Daddy itu susah lho, Bro. Kamu yakin?” Septian belum menyerah dengan bujukannya.

“Tidak, tidak ada yang susah. Buktinya, selama dua setengah tahun ini aku bisa.” Bantah Albert.

“Dengan keadaanmu seperti itu...?”

Septian membiarkan kalimatnya menggantung. Tak tega melanjutkan. Menatap wajah Albert. Di balik ketampanannya, mulai terlihat pancaran keletihan dan rasa sakit. Semuanya akibat penyakit bernama Carcinoma cerebellum.

**    

Chelsea menatapi refleksi dirinya di cermin. Berputar anggun, berpose, lalu merapikan ujung gaun putih yang dikenakannya. Perfect.

Bel pintu berdering. Itu pasti Ayah, pikirnya. Ia berlari ke ruang depan, membukakan pintu.

“Ayah...” sapa Chelsea ceria. Memeluk Albert hangat. Ia suka wangi Tommy Hilfiger itu, wangi khas Albert.

Sementara itu, Albert  balas memeluk Chelsea. Mencium keningnya.

“Gimana sekolahnya hari ini, Sayang?”

“Seru, Ayah. Tadi Chelsea dapat nilai sepuluh waktu pelajaran Matematika.”

“Pintar...”

Chelsea dan Albert membiasakan diri untuk terbuka. Albert berhasil menjadi ayah yang demokratis. Hanya ada satu rahasia yang masih disimpannya dari Chelsea. Belum ada waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.

Tengah mendengarkan Chelsea bercerita, tiba-tiba Albert merasakan kepalanya begitu sakit. Mengapa penyakit itu datang di saat tidak tepat? Sel kanker di otaknya telah merusak kebersamaannya dengan Chelsea.

“Ayah kenapa? Ayah sakit ya?” tanya Chelsea cemas. Melihat wajah Ayahnya berubah pucat.

Menutupi rasa sakitnya, ia berusaha tersenyum. Lembut mengelus kepala Chelsea, ia berkata. “Ayah baik-baik saja, Sayang.”

Hingga waktunya tiba, Chelsea tak boleh tahu kalau Albert sakit. Putri tunggalnya itu pasti akan shock dan sedih. Chelsea sudah kehilangan Bundanya, jangan sampai ia terjatuh dalam kesedihan untuk kedua kalinya.

**    

staring at you and lost in your eyes

keep my fear away from emptiness

I try to follow your radiant eyes

but butterfly brings me to your arms

It's just like a sunrise that starts a new day

but then I realize that sunset is in on our way

I'm breathing just to live my future

but butterfly has shown me

and i know it's always you

if sunset was gonna take you from me

i'd never wanna see the night

just want to see your eyes

butterfly, tell the sun

to keep the shining lights

whenever nights will come

when we're alone waiting for the one

I cherish you my bright sky, good morning sunshine

I give you all my heart, my soul, my endless realm of love

I'm breathing just to live my future

but butterfly has shown me, i know it's always you

if sunset was gonna take you from me

i'd never wanna see the night, just want to see your eyes

butterfly, tell the sun

to keep the shining lights whenever nights will come

butterfly, tell the sun

to keep the shining lights whenever nights will come (Raisa ft Maruli Tampubolon-Butterfly).

Ini lagu favorit Chelsea. Ia sedang menyanyikan lagu itu bersama sepupu-sepupunya. Albert memainkan piano mengiringi mereka.

“Chelsea kelihatannya senang sekali ya?” komentar Kalisa, salah satu sepupu Albert.

“Iya, Kalisa. Kamu kan tahu Chelsea seperti apa,” balas Albert.

“Kamu tetap pada pilihanmu? Jadi Single Daddy buat Chelsea?” kejar Kalisa penuh penekanan.

Albert sudah siap menjawab pertanyaan ini. “Aku tetap pada pilihanku. Bundanya Chelsea takkan terganti.”

Villa mewah bercat putih di Kawasan Lembang itu semarak oleh seruan anak-anak dan derap langkah berlari. Kali ini Alfaro membuat keributan. Tak sengaja ia menumpahkan jus strawberry ke baju Chelsea. Chelsea kesal, sebab baju yang dia pakai adalah hadiah ulang tahun dari Ayahnya. Alhasil Alfaro harus rela dikejar-kejar Chelsea keliling villa.

“Alfaro, ayo minta maaf. Anak baik, Mama bilang apa?” Kalisa menengahi. Memegang lembut tangan putra bungsunya.

Tersenyum malu-malu, Alfaro melirik Chelsea. Pelan berucap. “Chelsea, maafin aku ya? Aku nggak sengaja...”

Sedetik berikutnya, Chelsea membalas senyum Alfaro. “Chelsea maafin kok. Kata Ayah, kita harus maafin kesalahan orang lain.”

Anak belajar kebaikan dari orang tuanya. Nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan Albert sukses terpatri kuat dalam pikiran Chelsea. Membuatnya menjadi gadis berhati lembut, tulus, pemaaf, penyabar, dan berperasaan halus.

“Chelsea ayahnya siapa?” goda Alfaro. Ingin mengetes sepupunya.

“Arif.” jawab Chelsea mantap.

“Arif siapa?” Kali ini Kalisa yang melempar pertanyaan.

“Arif Albert.”

Mendengar itu, Albert refleks mendekap Chelsea. Menciumi kedua pipinya. Membelai-belai rambutnya. Tak puas-puas menatap wajah menggemaskan Chelsea saat menyebut namanya. Pria kelahiran Malang, 29 Maret itu makin enggan meninggalkan putrinya. Padahal besok ia harus pergi ke Malang untuk urusan pekerjaan dan keluarga. Kalisa, Alfaro, dan semua yang berkumpul di villa ini keluarga Bundanya Chelsea.

“Chelsea, besok ayah ke Malang ya?” Hati-hati sekali Albert menyampaikan hal ini.

“Nggak boleh.” Chelsea menjawab cepat, wajahnya berubah sedih.

“Lho, kenapa?”

“Nanti yang buatin toast dan French fries buat Chelsea siapa? Yang bacain cerita siapa? Yang ajarin Chelsea main piano siapa?” rajuk Chelsea manja.

Kalisa menatap Albert. Tersenyum penuh arti. Dalam hati mengakui betapa hebatnya pria itu. Menjadi ayah tunggal tidaklah mudah. Membesarkan anak perempuan pun sulit. Namun Albert bisa melakukannya sendiri.

“Kamu yakin tetap jadi ayah tunggal, Albert? Apa kamu bahagia?” bisik Kalisa.

“Aku bahagia hidup dengan putri tunggalku, Kalisa.”

“Tapi kamu sakit, Albert.”

“Aku kuat. Demi Chelsea, aku akan bertahan. Kamu ingat apa kata dokter setahun lalu? Kanker itu telah menyebar ke beberapa organ tubuh, tapi apa kenyataannya? Aku masih di sini sampai sekarang. Masih bisa merawat dan membesarkan Chelsea dengan tanganku sendiri.”

Mata Kalisa berkaca-kaca. Ia ingat semua itu. Kala segalanya seolah tak ada harapan lagi, kasih sayang Allah menyertai mereka. Allah sangat menyayangi Albert dan Chelsea. Albert tetap bertahan hidup, semuanya demi Chelsea.

**    

Kamu biasa denganku

Kamu biasa ada aku

Namun hidup ini jangan berhenti

Hanya bila aku pergi

Kenanglah aku di hati

Kenanglah senyum dan tangisku

Baik dan marahku dan segalanya

Simpanlah saja dalam dalam

Simpanlah selamanya

Dalam kenangan (Krisdayanti-Dalam Kenangan ost Surga Yang Tak Dirindukan 2).

**    

Buku cerita itu ditutupnya rapat. Albert selesai membacakan cerita untuk Chelsea. Tak seperti biasanya, Chelsea belum juga tertidur. Wajah cantiknya terlihat sendu.

“Chelsea kenapa?” tanya Albert lembut. Ia tahu, putri semata wayangnya tidak baik-baik saja.

“Chelsea sedih, Ayah. Chelsea...takut kehilangan Ayah.”

Hening sesaat. Albert menghela nafas, menarik tubuh Chelsea ke pelukannya.

“Cerita sama Ayah...kenapa Chelsea tiba-tiba takut kehilangan?”

“Kemarin, Chelsea mimpi ketemu Bunda. Bunda peluk Chelsea, terus bilang kalo sebentar lagi Ayah mau nyusul Bunda. Chelsea nggak mau kehilangan Ayah. Ayah segalanya buat Chelsea. Jangan pergi, Ayah. Jangan tinggalkan Chelsea.”

Chelsea menangis. Belum pernah ia sesedih ini. Hati Albert tersentuh seketika. Ia tidak bisa melihat putri tunggalnya menangis. Chelsea terlalu cantik, terlalu baik. Ia begitu istimewa. Permata hidupnya. Satu-satunya alasan Albert untuk terus bertahan hidup.

Di sisi lain, Albert tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan. Umur manusia di tangan Allah. Sejauh ini, hanya karena Chelsea ia dapat melawan sel-sel kanker itu.

“Chelsea, bagaimana kalau Ayah meninggal? Chelsea sedih?” Albert bertanya.

“Sedih, Ayah. Sedih sekali. Chelsea mau minta sama Allah biar Ayah jangan pergi.” Isak Chelsea.

Chelsea sudah terbiasa bersama Ayahnya. Wajar bila ia belum siap menerima kemungkinan terburuk itu. Sedih, bahagia, sehat, dan sakit ia jalani bersama Albert.

“Chelsea mau punya Ayah baru?” tanya Albert lagi.

“Nggak mau...Ayah Chelsea hanya satu. Ayah tak akan terganti di hati Chelsea.”

Sungguh, Albert percaya bahwa Chelsea sangat mencintainya. Begitu besar cinta Chelsea hingga ia menolak punya Ayah baru. Dengan kata lain, menolak punya orang tua baru bila suatu saat nanti Albert benar-benar pergi menyusul Bundanya Chelsea.

“Sayang, dengarkan Ayah ya? Tiap makhluk yang bernyawa pasti akan meninggal. Bunda, Ayah, termasuk Chelsea juga. Semua ada waktunya. Kapan kita hidup, kapan kita meninggal, semuanya telah diatur oleh Allah. Tapi, kita tidak tahu kapan waktunya. Allah suka dengan hamba-Nya yang ikhlas. Allah akan mempertemukan kembali kita semua di akhirat nanti. Kehidupan di dunia ini hanya sementara, Sayang.”

Hening lagi. Chelsea tekun mendengarkan. Satu-dua kali masih terisak. Albert melanjutkan.

“Kalau nanti Ayah meninggal, Chelsea ikhlas ya? Chelsea harus tetap melanjutkan hidup tanpa Ayah. Chelsea itu anak Ayah yang tegar dan kuat. Mau ya, Sayang?”

Andai boleh memilih, Albert tak ingin mengatakan semua itu. Ia terpaksa membuat Chelsea mengerti. Ia ingin Chelsea siap menerima kepergiannya kelak. Chelsea harus bisa bahagia dan melanjutkan hidup meski tanpa dirinya.

Perlahan Chelsea mengangguk. Menatap lekat ke dalam mata teduh Ayahnya.

“Mau, Ayah. Chelsea mau jadi hamba Allah yang ikhlas. Chelsea siap kalau Ayah pergi. Ayah akan selalu ada di hati Chelsea. Chelsea mau mengenang Ayah dengan ikhlas dan bahagia.”

“Begitu juga Ayah, Sayang. Chelsea selalu ada di hati Ayah. Terima kasih, Sayang.”

Kesedihan berganti kelapangan hati. Rasa takut berganti keikhlasan. Albert bangga pada Chelsea. Meski masih kecil, putri cantiknya memahami pentingnya makna keikhlasan. Memahami bahwa suatu saat nanti apa yang dicintainya harus dia relakan dan lepaskan. Chelsea istimewa, berbeda dengan anak-anak seusianya.

Satu lagi nilai kebaikan tertanam kuat dalam hati Chelsea: nilai keikhlasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun