“Sayang...sebentar ya? Sebentar lagi kita sampai. Jeany yang kuat ya?” Chika berbisik menguatkan.
Jeany mengangguk lemah. Ia ingin tetap kuat. Ia tidak boleh menyerah. Bukankah Bunda dan Oma selalu ingin dirinya kuat?
**
Dalam suka ku percaya
Kau kan bisa
Menemani dengan cinta
Dalam duka ku bertanya
Bagaimana dalam hatimu bicara
Cerita yang kita punya
Takkan ada jika kau tak percaya
Di saat hampa hadir
Dan saat hampa hatimu
Ku kan ada, ku di sana
Menemanimu selalu
Di saat hilang jalanmu
Dan saat hilang nafasmu
Ku kan ada, ku di sana
Menemanimu selalu (Letto-Dalam Duka).
Di titik klimaks kesedihan dan keputusasaannya, Chika mulai meneteskan air mata. Air mata yang turun bersama air hujan. Dalam hati, Chika memohon. Belum pernah ia memohon pada Allah sebegitu intensnya.
“Ya Allah, aku percaya pada setiap janji-Mu. Bukankah aku selalu mempermudah urusan para mahasiswa yang kubimbing skripsinya? Bukankah aku tak pernah mengecewakan teman-teman reporter? Bukankah aku ikut membantu mencari tallent-tallent baru di agencyku? Aku percaya Ya Rabb, selalu ada kemudahan di balik kesulitan. Aku pun percaya, orang yang mempermudah urusan orang lain akan dimudahkan pula urusannya. Berilah aku petunjukmu, ya Allah. Pada siapa harus kupercayakan beban dan dukaku? Pada siapa aku dan Jeany harus menyandarkan kerapuhan itu?”
Doa Chika seolah terjawab seketika. Tepat pada saat itu, mereka melewati sebuah rumah bergaya Victoria dengan taman dan carport yang cukup luas. BMW 320i Sport berwarna silver meluncur memasuki rumah. Pengemudinya masih sempat melihat siluet Chika dan Jeany. Ia tak lain seorang pria tampan bermata teduh. Pria berjas putih dengan logo sebuah rumah sakit itu tergesa-gesa turun dari mobil. Ia masih mengalungkan stetoskop di lehernya.
Pada saat yang sama, Chika melihat kehadiran pria itu. Ia tak bisa berpikir panjang lagi. Kondisi Jeany yang paling mengkhawatirkannya. Sebelum Chika membawa Jeany memasuki gerbang rumah itu, sang pria bermata teduh telah lebih dulu menghampiri mereka.