Keduanya beranjak meninggalkan rumah. Supir keluarga telah menunggu. Siap mengantar mereka ke bandara.
**
Husein Sastranegara Airport mereka datangi. Satu jam penerbangan tidak membuat Chika dan Jeany lelah. Mau tak mau Chika merasakan rindu pada kota kelahirannya. Kota yang lekat dengan istilah Paris van Java dan Kota Kembang. Kota penghasil wanita-wanita cantik dan pria-pria tampan kata orang.
Taksi yang mereka tumpangi meluncur menembus pagi berkabut. Mereka menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat. Braga Citywalk, Selasar Sunaryo Art Space, dan Taman Film. Sejauh ini, Jeany terlihat senang dan antusias. Taktik pengalihan perhatian Chika berhasil.
“Jeany senang nggak jalan-jalan ke Bandung?” tanya Chika saat mereka menikmati tenderloin steak di Karnivor Resto.
“Seneng banget. Abisnya, Jeany bosan di rumah terus. Cuma bisa belajar sama guru, baca buku, nonton TV, dan minum obat-obatan aneh. Udah gitu dada Jeany sering sakit. Tapi sekarang Jeany bisa keluar, bisa jalan-jalan...asyik pokoknya.”
Celotehan riang Jeany menusuk tajam hati Chika. Benaknya disergap rasa bersalah. Andai saja anak perempuannya tahu kondisi sebenarnya. Alasan mengapa ia jarang sekali keluar rumah, mengikuti home schooling, dan harus meminum obat-obatan imunosupresif. Chika tak pernah bisa memberi tahu Jeany apa sesungguhnya yang telah terjadi.
**
“Kamu harus urus berkas-berkas itu sendiri. Minta sama pejabat yang berwenang di sini. Kketua RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, atau sekretarisnya. Untung kamu sudah cerai dari anak saya. Menyesal saya pernah punya menantu seperti kamu!”
Wanita 62 tahun itu berdiri angkuh di ambang pintu. Menatap Chika penuh kebencian. Chika tak membalas tatapannya.
“Gara-gara kamu, bisnis anak saya jadi bangkrut! Dia kehilangan masa depannya, dan punya anak penyakitan seperti Jeany!”