“Oh ya? Dimana rumahnya?” Chika bertanya, mulai bersemangat lagi.
Langsung saja Chika diberi petunjuk kemana ia harus melangkah. Awalnya Chika tak paham. Tapi sesaat kemudian ia mulai mengerti.
“Hatur nuhun,” ucapnya penuh terima kasih. Kini sorot keputusasaan terganti binar bahagia. Chika serasa menemukan harapan.
Chika meneruskan langkahnya. Mempererat pegangannya di tangan kanan Jeany. Merasakan tangan Jeany begitu rapuh. Dengan lembut, ia menanyakan keadaan gadis kecilnya.
“Jeany capek? Masih kuat, kan?”
“Masih, Bunda.”
Lama mencari, Chika tak juga menemukan rumah yang dimaksud. Beberapa kali ia tersesat. Tak seorang pun yang bisa dimintakan bantuannya. Meski demikian, bukan Chika Annasya namanya bila menyerah begitu saja. Ia terus mencari dan mencari. Jeany setia melangkah di sampingnya. Tahu pasti sang Bunda tengah kebingungan dan kehilangan arah.
Kabut yang menyelimuti sejak pagi kini semakin tebal. Awan Cumolonimbus menutup separuh langit. Angin berhembus tajam. Temperatur udara turun drastis.
Titik-titik gerimis terjatuh. Lama-kelamaan bertransformasi menjadi hujan. Hujan turun semakin deras. Cuaca ini tak baik untuk Jeany. Tanpa sadar ia merintih pada Chika.
“Bunda...Jeany kedinginan. Kapan sampainya, Bunda?”
Demi mendengar itu, Chika refleks menghentikan langkah. Menatap cemas wajah Jeany yang berubah pucat. Bibir kanak-kanak itu membiru.