“Iya, Sayang. Ayah pasti datang.”
Perlahan Chelsea merenggangkan pelukannya. “Tapi kerjaan ayah di kantor gimana? Nanti klien-kliennya Ayah yang mau konseling dan psikoterapi pada protes.”
“Ayah sudah siapkan hari pengganti buat mereka, Sayang. Kamu yang lebih penting.”
Chelsea tersenyum bahagia. Mencium kedua pipi Albert, lalu berujar.
“I love you, Ayah.”
“Love you too, Dear.”
Ekspektasi Albert tercapai. Memiliki anak tunggal agar cintanya tidak terbagi. Ia lebih memilih mempunyai anak tunggal dengan satu cinta yang tidak terbagi dibandingkan memiliki banyak anak namun berujung pada kasus pilih kasih. Ia tak ingin Chelsea merasakan apa yang dia rasakan. Dibanding-bandingkan dengan saudaranya sendiri, kurang disukai orang tua, mengalami perlakuan diskriminatif dalam keluarga, dan kekurangan kasih sayang. Menurutnya, cinta pada anak tidak boleh terbagi.
**
Deru mobil terdengar di halaman depan. Tiga menit berselang, bel pintu berbunyi. Albert bergegas bangkit. Melangkah ke ruang depan dan membuka pintu. Meninggalkan Chelsea di kamarnya.
“Daddy?”
Betapa kagetnya ia mendapati pria paruh baya yang masih terlihat tampan dalam balutan jas dan dasi hitam berdiri angkuh di depan pintu. Pria itu tersenyum kaku.