Pria tampan itu mengelus rambutku. Lembut meraih tubuhku ke pelukannya. Dalam hati aku menyesal. Ya Allah, sebenarnya Albert juga sedang sakit. Bahkan jauh lebih parah. Dalam catatan yang kukirimkan pada pembimbingku, kondisi Albert yang paling parah dan dia satu-satunya klien yang kasusnya belum tuntas sampai hari ini. Bukankah seharusnya aku yang membantunya?
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Itu semua bukan tanpa alasan. Pria bermata teduh kelahiran 29 Maret 28 tahun silam itu yang paling mengerti diriku luar-dalam. Di depannya, bisa kutunjukkan sisi lain diriku yang tak pernah kuperlihatkan pada orang lain.
“Aku tidak mau merusak hubungan siapa pun. Aku memang wanita kesepian dan eccedentesiast, tapi aku bukan wanita perusak hubungan orang lain. Lelah rasanya disakiti terus. Kepercayaanku ternyata disalahgunakan. Aku berharap apa yang terjadi padaku, tidak terjadi pada orang lain. Cukup aku yang mengalaminya.” Eccedentesiast, istilah psikologis pada orang yang menyembunyikan rasa sakit, kesedihan, kekecewaan, dan kesepian di balik senyum.
Di depan Albert, aku bisa menampakkan kerapuhan dan rasa sakit. Kuminta agar dia tidak memberi tahu Mami tentang kejadian itu. Aku tahu, beberapa kali Albert dan Mami berkirim e-mail. Mami tidak boleh tahu masalah ini. Entah apa jadinya jika Mami sampai tahu.
“Aku sayang Albert. Albert sayang aku juga, kan?”
“Iya, Maurin. Aku juga sayang kamu.” Albert akhirnya bicara, tulus dan dalam.
Hangat menyelimuti hatiku. Albert tidak pernah mengatakan ‘tidak’ padaku. Ia pria yang paling baik kepadaku selama ini. Pria pertama di luar keluargaku yang pernah mengulurkan tangannya untuk memelukku. Kuharap ia akan menjadi pria pertama dan terakhir di keluargaku yang memberiku dekapan hangatnya, dan yang kuberikan pelukanku. Pria yang tidak hanya melihat kelebihanku, namun melihat pula kekurangan dan kelemahanku. Mencintai tanpa syarat, itulah legitimasi seorang Arif Albert.
“Aku harap tidak ada lagi yang menyakitimu...ya?” Albert kembali berkata, nada suaranya semakin lembut.
“Albertus Arif...” bisikku. Kelembutan dan ketulusan hatinya sangat kurasakan.
“I love you. Dicintai pria setampan dan sebaik dirimu adalah kebahagiaan tersendiri bagi wanita kesepian dan eccedentesiast sepertiku. Aku tahu, kamu tulus dan lembut hati. Jika tidak tulus dan lembut hati, sudah sejak lama kamu meninggalkanku setelah tahu seperti apa diriku yang sebenarnya. Sosok sepertimu yang kubutuhkan.”
Diakah malaikat cintaku? Bisakah suatu saat nanti dia yang akan menjadi malaikat cintaku dan mendampingi hidupku? Jika Allah menetapkan dia sebagai pendamping hidupku, hal pertama yang akan kulakukan adalah bersyukur. Aku takkan menyesal bila dia yang kelak menjadi pendamping hidupku.