Tepat pukul dua belas, ia beranjak meninggalkan kelas. Waktunya sudah habis dan ia ada kegiatan lain. Setiba di koridor, seorang pemuda berkemeja marun menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu, nampak dua orang gadis berbaju putih dan hitam.
“Maurin, kamu udah keluar dari PSM, ya?” tanya pemuda itu to the point.
Selama sepersekian detik Maurin terperangah. Sejak kapan ia keluar dari paduan suara? Berita dusta dari mana itu?
“Nggak kok. Aku masih di PSM.” Jawabnya.
“Masa sih? Nggak pernah latihan juga!” kata si gadis berbaju hitam ketus. Senyum sini bermain di bibirnya.
“Tapi...aku memang nggak keluar dari PSM. Aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar.” Maurin membela diri.
“Pencitraan! Masuk UKM ikut-ikutan aja, nggak serius di dalamnya! Kamu tuh beruntung! Bisa lolos audisi PSM yang super ketat itu! Banyak orang pengen masuk PSM dan gagal di audisinya!” bentak gadis berbaju putih. “Termasuk aku! Aku juga pengen masuk PSM! Kamu? Udah masuk, malah...”
“Selesai marah-marahnya? Aku mau lewat.” Maurin menyela tajam. Gadis dengan dress baby blue itu melangkah melewati mereka. Tak ingin mengeluarkan banyak energi untuk melayani provokasi itu.
Pikiran Maurin semakin kacau. Berapa banyak lagi masalah yang mesti dihadapinya? Rasa takut berkepanjangan setelah kematian Eyang Putri, sikap Albert padanya, temannya yang membocorkan rahasia masa lalunya di depan dosen, tuduhan dirinya keluar dari PSM, dan anggapan pencitraan yang dilayangkan padanya. Semua problem ini nyatanya terlalu berat dihadapi sendirian. Tubuhnya lelah, begitu pula jiwanya.
Di atas itu semua, Maurin masih bisa memberikan bantuan konseling dan hypnotherapy bagi orang yang membutuhkannya. Rasa empati pada orang lain yang membantunya bertahan. Namun, sampai kapankah?
Ting