Saat aku di sisimu
Hatimu terasa jauh
Semua rasanya hampa
Walau katamu banyak rindu
Perasaanku tak bisa dustai
Tak seperti dulu lagi
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh-sungguh cinta aku
Walau hati ini tak sanggup lupakan dirimu
Kusadari aku yang harus pergi
Aku masih punya hati
Kau pasti tahu itu
Bila ku salah
Mengapa ku diam
Mengapa kau tak bicara
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh-sungguh cinta aku
Walau hati ini tak sungguh lupakan dirimu
Kusadari aku yang harus pergi
Cinta ini masih tersimpan
Meski semua kini hanya
Hanyalah fatamorgana
Aku tak mau terus begini
Bila kau tak lagi sungguh-sungguh cinta aku
Walau hati ini tak sanggup lupakan dirimu
Kusadari aku yang harus pergi
Sungguh-sungguh cinta aku
Walau hati ini tak sanggup lupakan dirimu
Kusadari aku yang harus pergi (Kahitna-Aku Punya Hati).
Alunan lagu terdengar di ruang kelas itu. Kuliah dibatalkan, mahasiswa enggan beranjak. Masih ingin berlama-lama di dalam kelas sambil menyanyi dan cover lagu. Anak yang tak hafal lirik tak kehilangan akal. Ikut bernyanyi dengan teknik lip synch yang meyakinkan.
Maurin di antara mereka. Menekan perasaannya dalam-dalam. Mengapa harus lagu melankolis itu? Mengapa teman-temannya harus memilih lagu itu?
“Maurin, kamu kenapa?” tanya Annisa. Wajah cantiknya dihiasi kebingungan.
“Nggak apa-apa,” jawab Maurin datar. Tepat di depannya, dua orang mahasiswa laki-laki dan perempuan berpelukan. Tanpa ragu menunjukkan kemesraan di depan publik.
Melihat itu, Maurin refleks memalingkan pandang. Ia tak tahan. Didera problem berkepanjangan, ditambah lagi harus melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. Sungguh, gadis bermata kelabu itu lelah jiwa-raga. Tak satu pun yang mengerti dirinya, mengerti perasaannya. Mereka semua menganggapnya selalu kuat dan tegar. Kenyataannya, ia sama seperti mereka. Bisa merasakan sedih, kecewa, dan amarah.
“Maurin,”
Tiba-tiba Ghina mendekatinya. Gadis berhijab biru muda itu tersenyum, mengusap lengannya.
“Ya? Kenapa, Ghina?” tanya Maurin, balas tersenyum bersahabat.
“Kamu ada waktu kapan? Mau curhat sama hypnotherapy dong...”
Sesaat Maurin berpikir-pikir. Mengingat waktu kosong yang dimilikinya.
“Hmmm...gimana kalo besok siang aja? Sebelum aku latihan PSM. Okey?” ujarnya.
“Aduh, aku nggak bisa. Besok aku ada rapat Himpunan.” Ghina refleks menepuk dahinya.
“Oh gitu. Ya udah, nanti aku kabarin lagi kalo aku free. Insya Allah sebelum akhir semester, masalah kamu teratasi.” Janji Maurin.
“Sip. Thanks Maurin.”
Ghina bergegas pergi. Lagi-lagi Maurin sendiri. Rata-rata teman sekelasnya begitu. Datang mendekatinya saat mereka membutuhkan bantuan. Entah diminta mengajari materi perkuliahan, mengerjakan tugas, mendengarkan cerita permasalahan hidup mereka, dan minta dibantu menyelesaikan masalah. Setelah itu Maurin akan kembali sendiri. Di sini, ia tidak punya seseorang yang benar-benar selalu ada untuknya. Orang yang memahami dirinya luar-dalam.
Tepat pukul dua belas, ia beranjak meninggalkan kelas. Waktunya sudah habis dan ia ada kegiatan lain. Setiba di koridor, seorang pemuda berkemeja marun menghalangi jalannya. Di belakang pemuda itu, nampak dua orang gadis berbaju putih dan hitam.
“Maurin, kamu udah keluar dari PSM, ya?” tanya pemuda itu to the point.
Selama sepersekian detik Maurin terperangah. Sejak kapan ia keluar dari paduan suara? Berita dusta dari mana itu?
“Nggak kok. Aku masih di PSM.” Jawabnya.
“Masa sih? Nggak pernah latihan juga!” kata si gadis berbaju hitam ketus. Senyum sini bermain di bibirnya.
“Tapi...aku memang nggak keluar dari PSM. Aku sibuk di luar, bukan berarti aku keluar.” Maurin membela diri.
“Pencitraan! Masuk UKM ikut-ikutan aja, nggak serius di dalamnya! Kamu tuh beruntung! Bisa lolos audisi PSM yang super ketat itu! Banyak orang pengen masuk PSM dan gagal di audisinya!” bentak gadis berbaju putih. “Termasuk aku! Aku juga pengen masuk PSM! Kamu? Udah masuk, malah...”
“Selesai marah-marahnya? Aku mau lewat.” Maurin menyela tajam. Gadis dengan dress baby blue itu melangkah melewati mereka. Tak ingin mengeluarkan banyak energi untuk melayani provokasi itu.
Pikiran Maurin semakin kacau. Berapa banyak lagi masalah yang mesti dihadapinya? Rasa takut berkepanjangan setelah kematian Eyang Putri, sikap Albert padanya, temannya yang membocorkan rahasia masa lalunya di depan dosen, tuduhan dirinya keluar dari PSM, dan anggapan pencitraan yang dilayangkan padanya. Semua problem ini nyatanya terlalu berat dihadapi sendirian. Tubuhnya lelah, begitu pula jiwanya.
Di atas itu semua, Maurin masih bisa memberikan bantuan konseling dan hypnotherapy bagi orang yang membutuhkannya. Rasa empati pada orang lain yang membantunya bertahan. Namun, sampai kapankah?
Ting
Pintu lift terbuka. Kesekian kalinya, ia harus naik lift sendirian. Sesungguhnya Maurin benci naik lift sendirian. Di dalam lift, banyak sekali energi negatif dan kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata. Bayangan mereka begitu menyeramkan dan menakutkan. Ditekannya tombol berlabel angka 1. Tujuannya adalah lantai satu.
Tanpa terduga, lift bergerak turun ke basement. Ya Allah, siapa yang menekan tombol berlabel basement itu? Basement sudah lama kosong dan tak terpakai. Tidak ada orang yang pernah memasukinya.
Pintu lift terbuka. Memperlihatkan pemandangan di dalam basement yang gelap dan berantakan. Kursi-kursi dan meja yang sudah rusak diletakkan dalam posisi terbalik. Sejumlah kotak berserakan di lantai. Bukan hanya itu, banyak sekali energi negatif dan makhluk tak kasat mata di dalam ruangan gelap itu. Posisi mereka ada di antara kursi dan meja.
Cepat-cepat Maurin menekan tombol untuk menutup pintu lift. Dalam hati melafalkan ayat Kursi. Tidak di rumah, tidak di kampus. Selalu ia temukan energi negatif dan sosok-sosok menyeramkan itu. Terlebih sejak kejadian satu bulan lalu. Rasa sedih, lelah, dan frustasi di hatinya kini bercampur dengan rasa takut.
**
“Siapa yang menzhalimimu, Maurin?” tanya pria itu lembut.
“Albert dan orang-orang tak bertanggung jawab di kampus.” Maurin menjawab singkat.
“Apa yang mereka lakukan padamu?”
“Albert tidak menjelaskan apa pun. Dia datang lagi padaku tanpa rasa bersalah. Seluruh perhatiannya boleh saja tercurah untuk tesis, tapi dia mengabaikan orang yang benar-benar care padanya. Setelah nanti tesisnya selesai, apa lagi? Diakon? Tahbisan? Dia sudah menzhalimiku, Mas Roman.”
Roman terpaku menatap gadis itu. Menghela nafas berat, ia bertanya lagi.
“Lalu? Apa yang dilakukan teman-teman kuliahmu? Teruskan...”
Mendengarkan cerita Maurin yang tengah frustasi dan patah hati, Roman tersadar. Ia pun ikut merasakan sedih. Sedih dan cemburu. Tak tahukah Maurin, bila Albert dan Maurin sendiri telah menzhalimi hati seorang Oswaldus Romanus? Ironis.
“Tetap kuat pada prinsip, Maurin...”
Roman menenangkan dan memotivasi Maurin. Memintanya tetap kuat dalam prinsip dan menjalani tugas serta tanggung jawab dengan baik. Sedikit demi sedikit, beban di hati Maurin berkurang. Ia sangat berterima kasih atas motivasi dan ketenangan yang diperolehnya. Maurin selalu berharap mantan biarawan Fransiscan itu sehat dan baik-baik saja. Seperti yang ia harapkan pada Albert.
Albert? Lagi-lagi ia teringat pemuda itu. Pemuda tampan yang sangat disayanginya. Tepat pada saat itu, Roman mengalihkan perhatiannya.
“Maurin, jujur aku mulai penasaran dengan sosok Albert. Siapa dia sebenarnya?”
Gadis berambut panjang itu mengangkat alisnya. “Mas Roman penasaran dengan Albert?”
“Iya. Dia membuatku cemburu.”
“Cemburu? Mas Roman cemburu sama Albert? Kenapa?”
Hening sesaat. Roman menundukkan pandang, tak sanggup melihat ke dalam sepasang mata sang gadis. Maurin mulai menangkap aura yang tidak biasa dari pria yang sedikit-banyak mengingatkannya pada Albert itu.
“Andai aku jadi Albert...” Roman bergumam lirih. Sungguh, baru kali ini Roman ingin menjadi orang lain.
“Mas Roman ingin jadi Albert?”
“Iya. Kalau aku jadi Albert, aku dicintai kamu, Maurin.”
Detik itu juga, Maurin shock. Itu bukan lagi kode, itu adalah pernyataan. Ia sedih sekaligus tak percaya. Rasa bersalah menjajah hatinya. Maurin akui, dirinya telah melihat adanya bagian Albert dalam diri Roman. Cara pandangnya, mindset-nya, sifat sabar dan lemah-lembutnya, semuanya nyaris sama. Ia sering melihat Roman sebagai Albert.
“Aku percaya dan menyayangimu, Oswaldus Romanus.”
Hanya itu yang bisa dikatakan Maurin. Ia memang percaya dan menyayangi Roman. Terlebih Roman selalu ada ketika ia benar-benar kesepian dan kehilangan. Bahkan Roman selalu ada tiap kali ia merindukan Albert. Maurin kian dirasuki raasa bersalah. Ia sudah menzhalimi Roman, menzhalimi Albert, dan menzhalimi dirinya sendiri. Padahal jauh di kota apel sana, Albert telah menerima ajakan orang lain untuk makan malam bersama, di cafe tempat kenangannya dengan Maurin. Tragis.
Sementara itu, hati Roman diselimuti ketenangan. Paling tidak Maurin percaya dan menyayanginya.
**
Aku kehilangan dirimu
Sungguh kehilanganmu
Kini aku berharap
Waktu membawamu dan kekasihmu
Merasa jenuh dengan waktu
Dan berpisah
Lalu kau datang padaku
Saat ku masih hanya untukmu (Afgan-Masih Untukmu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H