Mohon tunggu...
Lalu PatriawanAlwih
Lalu PatriawanAlwih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Postgraduate Universitas Mercubuana

Lalu patriawan Alwih - NIM : 55522110029 - Jurusan Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Mata Kuliah Pemeriksaan Pajak - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo.M.Si.AK.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Model Dialektika Hegelian, dan Hanacaraka Pada Auditing Perpajakan

15 Juni 2024   06:05 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:28 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hegel memberikan contoh: "yang mutlak adalah yang berada murni (pure being)" yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun, yang berada murni tanpa kualitas apapun adalah "yang tiada (nothing)," ini merupakan negasi dari tesis. Oleh sebab itu, kita terarah pada antitesis "yang mutlak adalah yang tiada." Penyatuan antara tesis dan antitesis tersebut menjadi sintesis yaitu "yang menjadi (becoming)," maka "yang mutlak adalah yang menjadi," dan sintesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.

Dialektika Hegel adalah alternatif dari logika tradisional yang mengasumsikan bahwa proposisi harus terdiri dari subjek dan predikat. Menurut Hegel, logika seperti ini tidak memadai. Contohnya, dalam logika tradisional terdapat proposisi "Heru adalah seorang paman," dimana "paman" sebagai predikat dinyatakan benar dengan sendirinya. Heru tidak perlu menyadari eksistensinya sebagai paman. Namun, Hegel menggantinya dengan dialektika untuk menuju kebenaran mutlak. Menurutnya, paman tidaklah benar dengan sendirinya karena eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitesis, tidak mungkin ada kebenaran parsial atau individual. Kesimpulannya adalah kebenaran terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan, akan mencapai kebenaran absolut yang mencakup keseluruhan.

Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang datang kemudian mengandung semua tahap sebelumnya. Seperti larutan, tidak satupun darinya yang digantikan sepenuhnya, tetapi diberi tempat sebagai elemen pokok di dalam keseluruhan.

Dalam konteks auditing perpajakan, dialektika Hegelian dapat diterapkan dalam proses klarifikasi temuan dan pembahasan hasil audit. Auditor mungkin memiliki tesis atau kesimpulan awal berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Wajib pajak kemudian dapat mengajukan antitesis atau sanggahan atas temuan tersebut. Melalui diskusi dan klarifikasi lebih lanjut, diharapkan akan muncul sintesis berupa kesepakatan atau kebenaran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Mengaitkan dialektika Hegelian dengan auditing perpajakan dapat memberikan perspektif baru tentang proses dan dinamika dalam auditing. Berikut adalah cara memahami penerapan konsep dialektika Hegelian dalam konteks auditing perpajakan:

1. Tesis: Sistem Perpajakan dan Kepatuhan Pajak

  • Pada tahap ini, tesis bisa diibaratkan sebagai sistem perpajakan yang ada beserta peraturan dan regulasi yang mengatur perpajakan. Ini mencakup kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dan standar kepatuhan yang diharapkan.

2. Antitesis: Ketidakpatuhan dan Penyimpangan Pajak

  • Antitesisnya adalah ketidakpatuhan dan penyimpangan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Ini mencakup tindakan seperti penghindaran pajak, penggelapan pajak, atau kesalahan dalam laporan pajak. Ketidakpatuhan ini bertentangan dengan sistem perpajakan yang ada dan menciptakan konflik atau masalah yang perlu diatasi.

3. Sintesis: Auditing dan Reformasi Perpajakan

  • Sintesis adalah proses auditing perpajakan yang dilakukan oleh otoritas pajak. Dalam auditing, auditor mengidentifikasi kesalahan atau penyimpangan, mengevaluasi bukti-bukti, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Hasil dari auditing ini dapat berupa penyesuaian kewajiban pajak, penalti, atau bahkan reformasi dalam sistem perpajakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan di masa depan.

Dalam proses dialektika ini:

  • Menunda Konflik: Auditing perpajakan menunda konflik antara sistem perpajakan dan ketidakpatuhan dengan mengidentifikasi dan meninjau kembali laporan pajak.
  • Menyimpan Elemen Kebenaran: Dalam proses ini, elemen kebenaran dari kedua pihak—sistem perpajakan yang diatur dengan baik dan realitas ketidakpatuhan—diakui. Auditing tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga memperhitungkan kebenaran dari kedua sisi.
  • Mengungguli dan Meninggikan Konflik: Melalui proses auditing, konflik diatasi dan ditingkatkan menuju pemahaman dan sistem yang lebih baik. Ini bisa mencakup perubahan regulasi, perbaikan sistem pelaporan, atau peningkatan edukasi bagi wajib pajak untuk mencapai kepatuhan yang lebih baik.

Sebagai contoh konkrit:

  • Tesis: Undang-undang perpajakan mengharuskan pelaporan pendapatan secara akurat.
  • Antitesis: Beberapa wajib pajak melaporkan pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya untuk mengurangi beban pajak.
  • Sintesis: Auditing mengungkapkan ketidakakuratan ini, menghasilkan penyesuaian dan denda bagi wajib pajak yang tidak patuh, serta mungkin mendorong perubahan dalam prosedur pelaporan untuk mencegah penggelapan pajak di masa depan.

Dalam hal ini, auditing perpajakan bukan hanya proses menemukan kesalahan, tetapi juga bagian dari evolusi sistem perpajakan menuju kebenaran yang lebih tinggi, di mana semua elemen bekerja lebih efisien dan adil. Seperti dalam dialektika Hegelian, setiap tahap perbaikan dalam auditing perpajakan mengandung pembelajaran dari tahap sebelumnya dan berkontribusi pada peningkatan keseluruhan sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun