Mohon tunggu...
Lalu PatriawanAlwih
Lalu PatriawanAlwih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Postgraduate Universitas Mercubuana

Lalu patriawan Alwih - NIM : 55522110029 - Jurusan Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Mata Kuliah Pemeriksaan Pajak - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo.M.Si.AK.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Model Dialektika Hegelian, dan Hanacaraka Pada Auditing Perpajakan

15 Juni 2024   06:05 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

suarakreatif.com
suarakreatif.com

Aksara Jawa Ha-na-ca-ra-ka

Penggunaan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari sering digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke-19. Aksara Jawa diakui secara resmi dalam Unicode versi 5.2 sejak tahun 2009. Namun, karena kompleksitasnya, aksara Jawa hanya bisa ditampilkan dalam program yang menggunakan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source. Hal ini membuat penggunaannya tidak semudah huruf Latin, yang menjadi salah satu alasan mengapa aksara Jawa kurang populer selain di kalangan para pelestari.

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Tulisan ini memiliki kemiripan dengan aksara Bali. Hanacaraka mencerminkan sosok Ajisaka yang kuat dan tenang. Kelahiran aksara Hanacaraka dapat dilihat dari dua perspektif: pertama, berdasarkan pandangan tradisional dari cerita lisan, dan kedua, berdasarkan pemikiran ilmiah.

Hanacaraka memiliki makna filosofis yang mendalam. Secara filosofis, Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti 'utusan', yang merujuk pada napas kehidupan yang bertugas menyatukan jiwa dengan tubuh manusia, menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia. Da-Ta-Sa-Wa-La mengandung makna bahwa manusia, setelah diciptakan, tidak boleh menolak panggilan Tuhan. Manusia harus menerima dan menjalankan kehendak Tuhan. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya menunjukkan kesatuan antara yang memberikan hidup (Ilahi) dan yang diberi hidup (makhluk). Setiap tindakan manusia mencerminkan batinnya. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala perintah dan larangan Tuhan. Manusia harus pasrah pada takdir meskipun diberi hak untuk berusaha mengubahnya.

Dalam praktik sehari-hari, aksara Jawa sering digantikan dengan huruf Latin. Tulisan Jawa merupakan evolusi dari aksara Kawi, yang merupakan salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada abad ke-17, tulisan ini berkembang menjadi bentuk modern yang dikenal sebagai Carakan atau Hanacaraka, terdiri dari lima aksara pertama. Aksara ini populer di kalangan kraton Surakarta dan Yogyakarta. Penggunaan aksara Jawa menurun sejak diperkenalkannya ortografi Jawa berbasis huruf Latin pada tahun 1926, dan saat ini, huruf Latin lebih umum digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Beberapa majalah dan koran, seperti Jaka Lodhang, masih mencetak dalam aksara Jawa. Di beberapa daerah, aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah dasar dan menengah.

Secara keseluruhan, aksara Hanacaraka memiliki nilai filosofis bagi masyarakat Jawa, antara lain: menjaga amanat yang diberikan, berani berkorban, dan tidak bersikap sewenang-wenang jika memiliki kedudukan.

dinaskebudayaan.jakarta.go.id
dinaskebudayaan.jakarta.go.id

Dialektika Hegelian

Dialektika adalah metode yang digunakan Hegel untuk memahami realitas sebagai evolusi ide menuju kesempurnaan. Menurutnya, materi hanyalah manifestasi dari perjalanan ide ini, sehingga mempelajari materi dianggap sia-sia. Melalui dialektika, kita dapat memahami ide sebagai realitas. Dialektika dapat dijelaskan sebagai "teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan." Terdapat tiga elemen atau konsep dalam memahami dialektika: pertama adalah tesis, yang kedua sebagai kebalikan dari tesis disebut antitesis. Dari pertarungan antara kedua elemen ini muncul elemen ketiga yang mendamaikan keduanya, yang disebut sintesis. Dengan demikian, dialektika dapat disebut sebagai proses berpikir totalitas, dimana setiap elemen saling menegasikan (menyangkal dan disangkal), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).

Untuk memahami proses triadik (tesis, antitesis, dan sintesis), Hegel menggunakan kata dalam bahasa Jerman, yaitu aufheben. Kata ini memiliki tiga makna: "menyangkal," "menyimpan," dan "mengangkat." Jadi, dialektika bagi Hegel bukanlah sekedar penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan salah satu, tetapi lebih dari itu. Tesis dan antitesis memiliki kebenaran masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi. T.J. Lavine menjelaskan proses ini sebagai berikut:

  • Menunda konflik antara tesis dan antitesis.
  • Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.
  • Mengungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun