Mohon tunggu...
Lalu PatriawanAlwih
Lalu PatriawanAlwih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Postgraduate Universitas Mercubuana

Lalu patriawan Alwih - NIM : 55522110029 - Jurusan Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Mata Kuliah Pemeriksaan Pajak - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo.M.Si.AK.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Model Dialektika Hegelian, dan Hanacaraka Pada Auditing Perpajakan

15 Juni 2024   06:05 Diperbarui: 15 Juni 2024   06:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf idealis dari Jerman, lahir di Stuttgart, Wurttemberg. Hegel memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap banyak penulis dari berbagai latar belakang. Di antara para pengagumnya termasuk F. H. Bradley, Sartre, Hans Kung, Bruno Bauer, Max Stirner, Karl Marx, sementara para penentangnya mencakup Kierkegaard, Schopenhauer, Nietzsche, Heidegger, dan Schelling. Hegel dikenal sebagai yang pertama memperkenalkan ide bahwa sejarah dan hal-hal konkret memiliki peran penting dalam filsafat, memungkinkan pemikiran untuk keluar dari permasalahan-permasalahan abadi dalam philosophia perennis. Selain itu, dia juga menekankan pentingnya peran 'yang lain' dalam proses mencapai kesadaran diri.

Lahir di Stuttgart pada 27 Agustus 1770, Hegel adalah anak yang rajin membaca berbagai jenis literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-tulisan lainnya. Minat bacanya yang tinggi sejak kecil didorong oleh ibunya yang sangat progresif dan aktif dalam mengasuh perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel adalah keluarga kelas menengah yang mapan, dengan ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri di administrasi pemerintahan Wurttemberg. Hegel pernah mengalami masa sakit-sakitan dan hampir meninggal karena cacar sebelum mencapai usia enam tahun. Dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kakak perempuannya, Christiane, yang bertahan sepanjang hidupnya.

Hegel dikenal sebagai filsuf yang mengembangkan metode dialektika dalam filsafat. Menurut Hegel, dialektika melibatkan dua hal yang bertentangan yang kemudian didamaikan, seringkali dikenal dengan konsep tesis (pengiyakan), antitesis (penolakan), dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Tesis harus berupa konsep yang empiris dan indrawi, serta mengandung pengertian yang berasal dari kata-kata sehari-hari, spontan, dan tidak reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis, dan konseptual. Pengingkaran adalah konsep yang berlawanan dengan tesis, menghasilkan pengertian kedua yang kosong, formal, tidak pasti, dan tak terbatas. Menurut Hegel, dalam konsep kedua ini tersimpan pengertian dari konsep pertama. Kontradiksi adalah motor dialektika yang menuju kebenaran, di mana kontradiksi harus mampu menciptakan konsep yang saling mengevaluasi. Kesatuan kontradiksi berfungsi melengkapi dua konsep yang berlawanan sehingga tercipta konsep baru yang lebih ideal.

Karya utama Hegel termasuk "Phenomenology of Spirit" (1807). Salah satu tantangan yang dihadapi penerjemah Inggris dari buku "Phanomenologie des Geistes" adalah apakah harus menerjemahkan "Geist" sebagai "Roh" atau "Pikiran", karena kedua istilah tersebut sangat berbeda dalam bahasa Inggris. Karya penting lainnya adalah "Science of Logic" (1812-1816), "Encyclopedia of the Philosophical Sciences" (1817-1830), dan "Elements of the Philosophy of Right" (1821).

Karya-karya Hegel memperlihatkan ketajaman dan keseimbangan pemikiran yang luar biasa. Menurut Hegel, tugas utama filsafat adalah memahami kenyataan sebagaimana adanya. Dia yakin bahwa kebenaran secara keseluruhan atau sebagian dapat diungkapkan melalui penalaran yang logis dan dapat dipahami.

Pemikiran Hegel sangat terkait dengan dialektika antara tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam bukunya "Philosophy of Right", Hegel menempatkan negara dan masyarakat sipil dalam kerangka dialektika tersebut, di mana keluarga berperan sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis, dan negara sebagai sintesis.

Dialektika ini dimulai dari pemikiran Hegel bahwa keluarga adalah tahap awal dari kehendak obyektif. Dalam keluarga, kehendak obyektif tercapai karena cinta yang menyatukan kehendak individu-individu. Akibatnya, kepemilikan barang atau harta benda yang awalnya milik individu menjadi milik bersama. Namun, keluarga juga mengandung antitesis, yaitu ketika individu-individu (anak-anak) tumbuh dewasa dan meninggalkan keluarga, mereka menjadi bagian dari kelompok individu yang lebih luas yang disebut masyarakat sipil (Civil Society). Dalam masyarakat sipil, individu-individu mencari nafkah sendiri dan mengejar tujuan hidup masing-masing. Negara sebagai institusi tertinggi menyatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat subyektif.

Meskipun logika pemikiran Hegel tampak linier, namun sebenarnya Hegel tidak bermaksud demikian. Dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis, dan sintesis, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan negara.

Bagi Hegel, masyarakat sipil digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis, yaitu masyarakat yang telah diwarnai oleh kebebasan dan terbebas dari belenggu feodalisme. Dalam gambaran Hegel, Civil Society adalah bentuk masyarakat di mana orang-orang di dalamnya dapat memilih kehidupan yang mereka inginkan dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal, karena negara dan Civil Society terpisah. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat oleh hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio, dan membangun hubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Hukum menjadi pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan antar anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil dianggap sebagai tindakan yang tidak rasional.

suarakreatif.com
suarakreatif.com

Aksara Jawa Ha-na-ca-ra-ka

Penggunaan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari sering digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali diperkenalkan oleh Belanda pada abad ke-19. Aksara Jawa diakui secara resmi dalam Unicode versi 5.2 sejak tahun 2009. Namun, karena kompleksitasnya, aksara Jawa hanya bisa ditampilkan dalam program yang menggunakan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source. Hal ini membuat penggunaannya tidak semudah huruf Latin, yang menjadi salah satu alasan mengapa aksara Jawa kurang populer selain di kalangan para pelestari.

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Tulisan ini memiliki kemiripan dengan aksara Bali. Hanacaraka mencerminkan sosok Ajisaka yang kuat dan tenang. Kelahiran aksara Hanacaraka dapat dilihat dari dua perspektif: pertama, berdasarkan pandangan tradisional dari cerita lisan, dan kedua, berdasarkan pemikiran ilmiah.

Hanacaraka memiliki makna filosofis yang mendalam. Secara filosofis, Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti 'utusan', yang merujuk pada napas kehidupan yang bertugas menyatukan jiwa dengan tubuh manusia, menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia. Da-Ta-Sa-Wa-La mengandung makna bahwa manusia, setelah diciptakan, tidak boleh menolak panggilan Tuhan. Manusia harus menerima dan menjalankan kehendak Tuhan. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya menunjukkan kesatuan antara yang memberikan hidup (Ilahi) dan yang diberi hidup (makhluk). Setiap tindakan manusia mencerminkan batinnya. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala perintah dan larangan Tuhan. Manusia harus pasrah pada takdir meskipun diberi hak untuk berusaha mengubahnya.

Dalam praktik sehari-hari, aksara Jawa sering digantikan dengan huruf Latin. Tulisan Jawa merupakan evolusi dari aksara Kawi, yang merupakan salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada abad ke-17, tulisan ini berkembang menjadi bentuk modern yang dikenal sebagai Carakan atau Hanacaraka, terdiri dari lima aksara pertama. Aksara ini populer di kalangan kraton Surakarta dan Yogyakarta. Penggunaan aksara Jawa menurun sejak diperkenalkannya ortografi Jawa berbasis huruf Latin pada tahun 1926, dan saat ini, huruf Latin lebih umum digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Beberapa majalah dan koran, seperti Jaka Lodhang, masih mencetak dalam aksara Jawa. Di beberapa daerah, aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah dasar dan menengah.

Secara keseluruhan, aksara Hanacaraka memiliki nilai filosofis bagi masyarakat Jawa, antara lain: menjaga amanat yang diberikan, berani berkorban, dan tidak bersikap sewenang-wenang jika memiliki kedudukan.

dinaskebudayaan.jakarta.go.id
dinaskebudayaan.jakarta.go.id

Dialektika Hegelian

Dialektika adalah metode yang digunakan Hegel untuk memahami realitas sebagai evolusi ide menuju kesempurnaan. Menurutnya, materi hanyalah manifestasi dari perjalanan ide ini, sehingga mempelajari materi dianggap sia-sia. Melalui dialektika, kita dapat memahami ide sebagai realitas. Dialektika dapat dijelaskan sebagai "teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan." Terdapat tiga elemen atau konsep dalam memahami dialektika: pertama adalah tesis, yang kedua sebagai kebalikan dari tesis disebut antitesis. Dari pertarungan antara kedua elemen ini muncul elemen ketiga yang mendamaikan keduanya, yang disebut sintesis. Dengan demikian, dialektika dapat disebut sebagai proses berpikir totalitas, dimana setiap elemen saling menegasikan (menyangkal dan disangkal), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).

Untuk memahami proses triadik (tesis, antitesis, dan sintesis), Hegel menggunakan kata dalam bahasa Jerman, yaitu aufheben. Kata ini memiliki tiga makna: "menyangkal," "menyimpan," dan "mengangkat." Jadi, dialektika bagi Hegel bukanlah sekedar penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan salah satu, tetapi lebih dari itu. Tesis dan antitesis memiliki kebenaran masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi. T.J. Lavine menjelaskan proses ini sebagai berikut:

  • Menunda konflik antara tesis dan antitesis.
  • Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.
  • Mengungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.

Hegel memberikan contoh: "yang mutlak adalah yang berada murni (pure being)" yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun, yang berada murni tanpa kualitas apapun adalah "yang tiada (nothing)," ini merupakan negasi dari tesis. Oleh sebab itu, kita terarah pada antitesis "yang mutlak adalah yang tiada." Penyatuan antara tesis dan antitesis tersebut menjadi sintesis yaitu "yang menjadi (becoming)," maka "yang mutlak adalah yang menjadi," dan sintesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.

Dialektika Hegel adalah alternatif dari logika tradisional yang mengasumsikan bahwa proposisi harus terdiri dari subjek dan predikat. Menurut Hegel, logika seperti ini tidak memadai. Contohnya, dalam logika tradisional terdapat proposisi "Heru adalah seorang paman," dimana "paman" sebagai predikat dinyatakan benar dengan sendirinya. Heru tidak perlu menyadari eksistensinya sebagai paman. Namun, Hegel menggantinya dengan dialektika untuk menuju kebenaran mutlak. Menurutnya, paman tidaklah benar dengan sendirinya karena eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitesis, tidak mungkin ada kebenaran parsial atau individual. Kesimpulannya adalah kebenaran terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan, akan mencapai kebenaran absolut yang mencakup keseluruhan.

Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang datang kemudian mengandung semua tahap sebelumnya. Seperti larutan, tidak satupun darinya yang digantikan sepenuhnya, tetapi diberi tempat sebagai elemen pokok di dalam keseluruhan.

Dalam konteks auditing perpajakan, dialektika Hegelian dapat diterapkan dalam proses klarifikasi temuan dan pembahasan hasil audit. Auditor mungkin memiliki tesis atau kesimpulan awal berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Wajib pajak kemudian dapat mengajukan antitesis atau sanggahan atas temuan tersebut. Melalui diskusi dan klarifikasi lebih lanjut, diharapkan akan muncul sintesis berupa kesepakatan atau kebenaran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Mengaitkan dialektika Hegelian dengan auditing perpajakan dapat memberikan perspektif baru tentang proses dan dinamika dalam auditing. Berikut adalah cara memahami penerapan konsep dialektika Hegelian dalam konteks auditing perpajakan:

1. Tesis: Sistem Perpajakan dan Kepatuhan Pajak

  • Pada tahap ini, tesis bisa diibaratkan sebagai sistem perpajakan yang ada beserta peraturan dan regulasi yang mengatur perpajakan. Ini mencakup kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dan standar kepatuhan yang diharapkan.

2. Antitesis: Ketidakpatuhan dan Penyimpangan Pajak

  • Antitesisnya adalah ketidakpatuhan dan penyimpangan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Ini mencakup tindakan seperti penghindaran pajak, penggelapan pajak, atau kesalahan dalam laporan pajak. Ketidakpatuhan ini bertentangan dengan sistem perpajakan yang ada dan menciptakan konflik atau masalah yang perlu diatasi.

3. Sintesis: Auditing dan Reformasi Perpajakan

  • Sintesis adalah proses auditing perpajakan yang dilakukan oleh otoritas pajak. Dalam auditing, auditor mengidentifikasi kesalahan atau penyimpangan, mengevaluasi bukti-bukti, dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan. Hasil dari auditing ini dapat berupa penyesuaian kewajiban pajak, penalti, atau bahkan reformasi dalam sistem perpajakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan di masa depan.

Dalam proses dialektika ini:

  • Menunda Konflik: Auditing perpajakan menunda konflik antara sistem perpajakan dan ketidakpatuhan dengan mengidentifikasi dan meninjau kembali laporan pajak.
  • Menyimpan Elemen Kebenaran: Dalam proses ini, elemen kebenaran dari kedua pihak—sistem perpajakan yang diatur dengan baik dan realitas ketidakpatuhan—diakui. Auditing tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga memperhitungkan kebenaran dari kedua sisi.
  • Mengungguli dan Meninggikan Konflik: Melalui proses auditing, konflik diatasi dan ditingkatkan menuju pemahaman dan sistem yang lebih baik. Ini bisa mencakup perubahan regulasi, perbaikan sistem pelaporan, atau peningkatan edukasi bagi wajib pajak untuk mencapai kepatuhan yang lebih baik.

Sebagai contoh konkrit:

  • Tesis: Undang-undang perpajakan mengharuskan pelaporan pendapatan secara akurat.
  • Antitesis: Beberapa wajib pajak melaporkan pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya untuk mengurangi beban pajak.
  • Sintesis: Auditing mengungkapkan ketidakakuratan ini, menghasilkan penyesuaian dan denda bagi wajib pajak yang tidak patuh, serta mungkin mendorong perubahan dalam prosedur pelaporan untuk mencegah penggelapan pajak di masa depan.

Dalam hal ini, auditing perpajakan bukan hanya proses menemukan kesalahan, tetapi juga bagian dari evolusi sistem perpajakan menuju kebenaran yang lebih tinggi, di mana semua elemen bekerja lebih efisien dan adil. Seperti dalam dialektika Hegelian, setiap tahap perbaikan dalam auditing perpajakan mengandung pembelajaran dari tahap sebelumnya dan berkontribusi pada peningkatan keseluruhan sistem.

Contoh Kasus Dialektika Hegelian dalam Auditing Perpajakan

Kasus:

Sebuah perusahaan manufaktur, PT. XYZ, diaudit oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan pelaporan pajaknya. Dalam proses audit, tim auditor menemukan beberapa temuan yang mengindikasikan adanya potensi kekurangan pajak penghasilan (PPh) badan.

Tesis:

Berdasarkan temuan audit, tim auditor menyimpulkan bahwa PT. XYZ telah melakukan praktik transfer pricing yang tidak wajar, sehingga berpotensi mengurangi penghasilan kena pajak (PKP) dan PPh badan yang harus dibayarkan.

Antitesis:

PT. XYZ menyangkal tuduhan auditor dan menyatakan bahwa transfer pricing yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan dan praktik bisnis yang berlaku. Mereka juga menyerahkan bukti-bukti yang mendukung argumen mereka.

Sintesis:

Melalui diskusi dan klarifikasi yang intensif antara tim auditor dan manajemen PT. XYZ, tercapai kesepakatan bahwa memang terdapat beberapa kekurangan PPh badan yang harus dibayar oleh PT. XYZ. Namun, jumlah kekurangan pajaknya tidak sebesar yang diperkirakan oleh tim auditor pada awalnya. Kesepakatan ini dicapai dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak dan dengan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi dan perpajakan yang berlaku.

Analisis:

Dalam kasus ini, dialektika Hegelian membantu dalam mencapai penyelesaian yang adil dan transparan atas temuan audit. Proses tesis-antitesis-sintesis memungkinkan kedua belah pihak untuk menyampaikan argumen mereka secara objektif dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Berdasarkan contoh kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa Dialektika Hegelian dapat menjadi alat yang bermanfaat dalam proses auditing perpajakan untuk mencapai penyelesaian yang adil dan transparan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dialektika Hegelian, auditor dan wajib pajak dapat bekerja sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan mencapai kesepakatan yang didasarkan pada bukti dan argumen yang kuat.

Dokumen Pribadi Penulis
Dokumen Pribadi Penulis

Dialektika Ha-Na-Ca-Ra-Ka

Dialektika Hanacaraka merujuk pada konsep filosofis dan struktural yang terkandung dalam aksara Jawa, yang dikenal juga sebagai Hanacaraka atau Carakan. Konsep ini mengandung cerita, nilai, dan filosofi yang mendalam tentang kehidupan manusia dan hubungan mereka dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Dialektika Hanacaraka bisa dipahami melalui urutan huruf-hurufnya yang memiliki makna simbolis dan filosofis yang mendalam. Berikut adalah penjelasan mengenai dialektika Hanacaraka:

  • Ha-Na-Ca-Ra-Ka: Menyiratkan makna "utusan" atau "pengemban tugas", yang menggambarkan napas kehidupan yang menyatukan jiwa dengan raga. Ini mengindikasikan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia.
  • Da-Ta-Sa-Wa-La: Mengandung arti bahwa manusia, setelah diciptakan, harus menerima panggilan Tuhan tanpa menolak (sawala). Manusia harus siap menjalankan dan menerima kehendak Tuhan sepanjang hidupnya.
  • Pa-Dha-Ja-Ya-Nya: Menunjukkan kesatuan antara yang memberi hidup (Tuhan) dan yang diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya adalah bahwa tindakan manusia selalu sesuai dengan apa yang ada dalam batinnya.
  • Ma-Ga-Ba-Tha-Nga: Berarti menerima segala perintah dan larangan Tuhan dengan sikap pasrah dan tunduk pada takdir, meskipun manusia diberi hak untuk berusaha memperbaiki hidupnya.

Dialektika Hanacaraka juga mencakup filosofi mendalam yang berhubungan dengan kebijaksanaan hidup dan nilai-nilai moral, yang bisa dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

  • Ha: "Hana hurip wening suci" (Kehidupan adalah kehendak Yang Maha Suci)
  • Na: "Nur candra, gaib candra, warsitaning candra" (Harapan manusia selalu pada sinar Ilahi)
  • Ca: "Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi" (Arah dan tujuan kepada Yang Maha Tunggal)
  • Ra: "Rasaingsun handulusih" (Rasa cinta sejati muncul dari kasih nurani)
  • Ka: "Karsaningsun memayu hayuning bawana" (Hasrat untuk kesejahteraan alam)
  • Da: "Dumadining dzat kang tanpa winangenan" (Menerima hidup apa adanya)
  • Ta: "Tatas, tutus, titis, titi, lan wibawa" (Totalitas dan ketelitian dalam memandang hidup)
  • Sa: "Sifat ingsun handulu sifatullah" (Menunjukkan kasih sayang seperti Tuhan)
  • Wa: "Wujud hana tan kena kinira" (Ilmu manusia terbatas namun implikasinya tak terbatas)
  • La: "Lir handaya paseban jati" (Mengalirkan hidup sesuai tuntunan Ilahi)
  • Pa: "Papan kang tanpa kiblat" (Hakekat Tuhan ada di segala arah)
  • Dha: "Dhuwur wekasane endek wiwitane" (Untuk mencapai puncak, harus dimulai dari dasar)
  • Ja: "Jumbuhing kawula lan Gusti" (Berusaha memahami kehendak Tuhan)
  • Ya: "Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi" (Yakin atas kodrat Ilahi)
  • Nya: "Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diwuruki" (Memahami kodrat kehidupan)
  • Ma: "Madep mantep manembah mring Ilahi" (Yakin dalam menyembah Ilahi)
  • Ga: "Guru sejati sing muruki" (Belajar pada nurani)
  • Ba: "Bayu sejati kang andalani" (Menyelaraskan diri dengan alam)
  • Tha: "Tukul saka niat" (Segala sesuatu dimulai dari niat)
  • Nga: "Ngracut busananing manungso" (Melepaskan egoisme pribadi)

Secara keseluruhan, dialektika Hanacaraka tidak hanya mengandung nilai-nilai historis dan kultural, tetapi juga filosofis dan spiritual yang dalam, yang dapat memberikan panduan bagi kehidupan manusia dalam mencapai keselarasan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.

Hanacaraka merupakan sistem penulisan aksara Jawa kuno yang masih digunakan hingga saat ini, terutama dalam konteks spiritual dan budaya. Tiap aksara dalam Hanacaraka memiliki makna dan filosofi tersendiri yang mendalam. Dalam gambar, aksara Hanacaraka digunakan untuk merepresentasikan tahapan-tahapan dalam siklus pemeriksaan pajak.

Misalnya, aksara "Ha" yang berarti "awalan" dapat melambangkan tahap perencanaan dan persiapan audit. Aksara "Na" yang berarti "kehidupan" dapat dimaknai sebagai tahap penilaian risiko dan pemahaman bisnis wajib pajak. Aksara "Ca" yang berarti "pencapaian" dapat melambangkan tahap pelaksanaan audit lapangan dan pengumpulan bukti. Demikian seterusnya hingga aksara "Ka" yang berarti "akhir" dapat diartikan sebagai tahap pelaporan dan tindak lanjut hasil audit.

Mengaitkan dialektika Hanacaraka dengan auditing perpajakan memerlukan penerjemahan nilai-nilai filosofis dari aksara Jawa ke dalam prinsip-prinsip yang relevan dengan proses audit perpajakan. Berikut adalah bagaimana masing-masing kelompok huruf dalam dialektika Hanacaraka dapat diterapkan dalam konteks auditing perpajakan:

  • Ha-Na-Ca-Ra-Ka (Utusan, napas kehidupan, tugas): Tugas Auditor: Auditor pajak berperan sebagai utusan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Mereka harus menjalankan tugas dengan integritas dan objektivitas, memastikan bahwa pajak dihitung dan dibayarkan dengan benar.
  • Da-Ta-Sa-Wa-La (Penerimaan, tidak mengelak): Kepatuhan Wajib Pajak: Wajib pajak harus menerima kewajiban perpajakannya dan tidak berusaha mengelak dari pembayaran pajak yang benar. Mereka harus bersedia melaksanakan dan menerima hasil audit dengan baik.
  • Pa-Dha-Ja-Ya-Nya (Kesatuan zat hidup, tindakan yang sesuai): Kejujuran dan Transparansi: Ada kesatuan antara data yang disajikan oleh wajib pajak dan hasil audit. Wajib pajak harus jujur dan transparan dalam pelaporan pajaknya, sehingga tindakan mereka selaras dengan peraturan perpajakan.
  • Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (Penerimaan perintah dan larangan): Kepatuhan pada Regulasi: Auditor dan wajib pajak harus patuh pada peraturan dan perundang-undangan perpajakan. Mereka harus menerima dan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dalam sistem perpajakan.

Implementasi nilai-nilai filosofis dari Hanacaraka dalam auditing perpajakan dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Ha: "Hana hurip wening suci" (Kehidupan adalah kehendak Yang Maha Suci) : Integritas Auditor: Auditor harus bertindak dengan integritas yang tinggi, mencerminkan transparansi dan kejujuran.
  • Na: "Nur candra, gaib candra, warsitaning candra" (Harapan manusia hanya kepada sinar Ilahi) : Keyakinan Auditor: Auditor harus yakin dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika dalam melakukan audit, bertindak sesuai dengan prosedur dan standar yang ditetapkan.
  • Ca: "Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi" (Arah dan tujuan kepada Yang Maha Tunggal) : Tujuan Audit: Tujuan dari audit adalah untuk memastikan kebenaran dan keadilan dalam pelaporan perpajakan.
  • Ra: "Rasaingsun handulusih" (Rasa cinta sejati muncul dari kasih nurani) : Empati dalam Audit: Auditor harus memiliki empati dan pengertian terhadap kondisi wajib pajak, sambil tetap teguh pada prinsip-prinsip keadilan dan kepatuhan.
  • Ka: "Karsaningsun memayu hayuning bawana" (Hasrat untuk kesejahteraan alam) : Kesejahteraan Publik: Tujuan akhir dari perpajakan adalah untuk kesejahteraan publik. Auditor memastikan bahwa pajak yang dikumpulkan digunakan untuk kebaikan masyarakat.
  • Da: "Dumadining dzat kang tanpa winangenan" (Menerima hidup apa adanya) : Objektivitas dalam Audit: Auditor harus objektif dan menerima data apa adanya, tanpa bias atau prasangka.
  • Ta: "Tatas, tutus, titis, titi, lan wibawa" (Totalitas dan ketelitian dalam memandang hidup) : Ketelitian Auditor: Auditor harus teliti dan menyeluruh dalam memeriksa laporan keuangan dan dokumen perpajakan.
  • Sa: "Sifat ingsun handulu sifatullah" (Menunjukkan kasih sayang seperti Tuhan) : Pendekatan Humanis: Auditor harus menjalankan tugasnya dengan pendekatan yang humanis dan memahami kondisi wajib pajak.
  • Wa: "Wujud hana tan kena kinira" (Ilmu manusia terbatas namun implikasinya tak terbatas) : Penggunaan Pengetahuan: Auditor harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya secara optimal, meskipun menyadari keterbatasannya.
  • La: "Lir handaya paseban jati" (Mengalirkan hidup sesuai tuntunan Ilahi) : Kepatuhan pada Prosedur: Auditor dan wajib pajak harus mematuhi prosedur dan aturan yang telah ditetapkan.
  • Pa: "Papan kang tanpa kiblat" (Hakekat Tuhan ada di segala arah) : Keseimbangan dalam Audit: Auditor harus memastikan keseimbangan antara kepatuhan pajak dan keadilan bagi wajib pajak.
  • Dha: "Dhuwur wekasane endek wiwitane" (Untuk mencapai puncak, harus dimulai dari dasar) : Proses Bertahap: Audit harus dilakukan secara bertahap dan sistematis untuk mencapai hasil yang akurat.
  • Ja: "Jumbuhing kawula lan Gusti" (Berusaha memahami kehendak Tuhan) : Pemahaman yang Mendalam: Auditor harus memahami secara mendalam aturan perpajakan dan situasi wajib pajak.
  • Ya: "Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi" (Yakin atas kodrat Ilahi) : Kepastian dalam Audit: Auditor harus yakin dan tegas dalam melaksanakan tugasnya.
  • Nya: "Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diwuruki" (Memahami kodrat kehidupan) : Pemahaman Intuitif: Auditor harus memiliki pemahaman intuitif terhadap situasi dan data yang dihadapinya.
  • Ma: "Madep mantep manembah mring Ilahi" (Yakin dalam menyembah Ilahi) : Komitmen pada Tugas: Auditor harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan tugasnya.
  • Ga: "Guru sejati sing muruki" (Belajar pada nurani) : Pembelajaran Berkelanjutan: Auditor harus terus belajar dan mengembangkan diri untuk meningkatkan kompetensinya.
  • Ba: "Bayu sejati kang andalani" (Menyelaraskan diri dengan alam) : Harmoni dalam Proses: Auditor harus bekerja dengan harmonis, mengikuti prosedur dan aturan yang ada.
  • Tha: "Tukul saka niat" (Segala sesuatu dimulai dari niat) : Niat yang Baik: Audit harus dilakukan dengan niat yang baik untuk mencapai hasil yang adil dan akurat.
  • Nga: "Ngracut busananing manungso" (Melepaskan egoisme pribadi) : Objektivitas dan Ketidakberpihakan: Auditor harus bekerja secara objektif dan tidak memihak, melepaskan ego dan kepentingan pribadi.

Dialektika Hanacaraka, yang merupakan konsep tradisional dari budaya Jawa yang menceritakan urutan abjad Jawa dan makna filosofisnya, dapat dihubungkan dengan auditing perpajakan untuk memberikan perspektif baru tentang proses, moralitas, dan etika dalam auditing. Berikut adalah cara pandang saya memahami penerapan konsep dialektika Hanacaraka dalam konteks auditing perpajakan:

  • Hana (Ada): Pada tahap ini, "Hana" melambangkan keberadaan sistem perpajakan dan peraturan yang ada. Ini juga mencakup adanya transaksi dan aktivitas ekonomi yang menjadi objek perpajakan. Dalam konteks auditing, ini adalah fase pengenalan di mana auditor mengidentifikasi dan mencatat semua kegiatan yang ada dan relevan dengan kewajiban perpajakan.
  • Caraka (Utusan): "Caraka" berarti utusan atau agen. Dalam konteks ini, auditor bertindak sebagai utusan atau agen yang memeriksa dan memastikan bahwa wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Auditor menjalankan tugas investigasi dengan integritas untuk memastikan kebenaran dan keadilan dalam pelaporan pajak.
  • Data (Ada): "Data" menunjukkan bahwa segala sesuatu telah diidentifikasi dan dicatat. Dalam proses auditing, auditor mengumpulkan dan mengkonfirmasi data dari laporan pajak, dokumen pendukung, dan catatan keuangan untuk memastikan akurasi dan keandalan informasi yang dilaporkan oleh wajib pajak.
  • Sawala (Berbicara): "Sawala" berarti berbicara atau berdialog. Tahap ini melibatkan komunikasi antara auditor dan wajib pajak. Auditor mengajukan pertanyaan, meminta klarifikasi, dan mendiskusikan temuan awal untuk memahami lebih dalam situasi wajib pajak dan mendapatkan penjelasan mengenai setiap ketidaksesuaian atau anomali yang ditemukan.
  • Padha (Sama): "Padha" berarti setara atau seimbang. Dalam konteks auditing, ini melibatkan upaya untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban baik dari sisi wajib pajak maupun otoritas pajak. Auditor memastikan bahwa kewajiban perpajakan dihitung dengan adil berdasarkan data yang valid dan transparan, serta wajib pajak diperlakukan dengan adil dan setara.
  • Jayanya (Menang): "Jayanya" berarti kemenangan atau keberhasilan. Keberhasilan dalam auditing perpajakan adalah mencapai kebenaran dan keadilan. Ini berarti mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan atau ketidakpatuhan, memberikan rekomendasi perbaikan, serta memastikan bahwa sistem perpajakan dijalankan dengan benar dan transparan.
  • Maga (Bergerak): "Maga" menunjukkan adanya tindakan atau perubahan. Setelah proses auditing selesai, hasil temuan dan rekomendasi harus diimplementasikan. Ini mencakup tindakan korektif oleh wajib pajak, reformasi dalam prosedur perpajakan, dan peningkatan sistem kontrol internal untuk mencegah kesalahan di masa depan.

Dalam perspektif dialektika Hanacaraka, auditing perpajakan dapat dilihat sebagai proses yang berkelanjutan dan harmonis yang berakar pada moralitas, etika, dan keseimbangan. Setiap tahap dari pengenalan, investigasi, komunikasi, keseimbangan, hingga tindakan perbaikan mencerminkan nilai-nilai filosofi Jawa yang mengutamakan harmoni dan kebenaran.

Dengan pendekatan ini, auditor tidak hanya mencari kesalahan, tetapi juga berperan sebagai agen yang memastikan keadilan dan integritas dalam sistem perpajakan. Mereka berusaha menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban wajib pajak, serta mendorong perubahan positif yang berkelanjutan dalam sistem perpajakan.

Dengan mengintegrasikan sistem Hanacaraka dalam proses auditing, diharapkan akan menumbuhkan perspektif budaya dan spiritualitas yang lebih dalam bagi para auditor. Setiap tahapan audit tidak hanya dilihat sebagai prosedur teknis semata, namun juga memiliki makna filosofis yang dapat menginspirasi auditor untuk bekerja dengan integritas dan kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Studi Kasus: Penerapan Dialektika Hanacaraka dalam Auditing Perpajakan

Latar belakang

Perusahaan XYZ adalah perusahaan manufaktur besar yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan ini baru saja menyelesaikan tahun fiskal dan siap untuk diaudit oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selama proses audit, auditor pajak menggunakan prinsip-prinsip dialektika Hanacaraka untuk memastikan audit dilakukan dengan adil, objektif, dan transparan.

Studi Kasus

1. Ha-Na-Ca-Ra-Ka: Integritas dan Tugas Auditor

  • Ha: Auditor memastikan semua dokumen yang diaudit adalah benar dan sesuai dengan data yang ada. Mereka memulai audit dengan niat baik dan tujuan untuk menemukan kebenaran.
  • Na: Auditor percaya pada proses audit yang transparan dan berpegang pada prinsip kejujuran. Mereka memberikan pemahaman kepada perusahaan tentang pentingnya kepatuhan perpajakan.
  • Ca: Auditor memfokuskan perhatian mereka pada tujuan utama audit, yaitu untuk memastikan kebenaran laporan keuangan perusahaan.
  • Ra: Auditor menunjukkan empati dan pengertian terhadap kesulitan perusahaan dalam menyusun laporan pajak, namun tetap teguh pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
  • Ka: Auditor bekerja dengan tujuan akhir untuk memastikan bahwa perusahaan memenuhi kewajiban pajaknya dan berkontribusi pada kesejahteraan publik.

2. Da-Ta-Sa-Wa-La: Kepatuhan dan Penerimaan Hasil Audit

  • Da: Auditor mengumpulkan semua data dan bukti yang relevan dengan laporan keuangan perusahaan.
  • Ta: Auditor meneliti semua data dengan cermat dan teliti, tidak meninggalkan satu pun rincian yang penting.
  • Sa: Auditor memastikan bahwa setiap temuan mereka adalah rasional dan didasarkan pada bukti yang kuat.
  • Wa: Auditor menjelaskan kepada perusahaan hasil audit dan menegaskan pentingnya kepatuhan pada aturan perpajakan.
  • La: Perusahaan menerima hasil audit dengan lapang dada dan bersiap untuk memenuhi kewajiban pajak yang ditemukan selama audit.

3. Pa-Dha-Ja-Ya-Nya: Kesatuan Data dan Tindakan yang Konsisten

  • Pa: Auditor memastikan bahwa semua data yang diaudit konsisten dan sesuai dengan laporan keuangan perusahaan.
  • Dha: Auditor menelusuri setiap transaksi dengan rinci, memastikan bahwa tidak ada yang terlewat.
  • Ja: Auditor dan perusahaan bekerja sama untuk memahami setiap perbedaan yang mungkin muncul dalam data dan laporan keuangan.
  • Ya: Auditor yakin pada proses yang mereka lakukan dan perusahaan mempercayai hasil audit yang diberikan.

4. Ma-Ga-Ba-Tha-Nga: Kepatuhan pada Regulasi dan Penerimaan Hasil

  • Ma: Auditor bekerja sesuai dengan semua peraturan dan undang-undang perpajakan yang berlaku.
  • Ga: Auditor terus belajar dan meningkatkan keterampilan mereka untuk memastikan audit dilakukan dengan cara yang paling efektif dan efisien.
  • Ba: Auditor dan perusahaan bekerja dalam harmoni, mengikuti prosedur yang ada dan memastikan semua langkah audit dijalankan dengan benar.
  • Tha: Auditor dan perusahaan memulai audit dengan niat baik untuk menemukan kebenaran dan mencapai kepatuhan pajak yang penuh.
  • Nga: Auditor bekerja secara objektif, tanpa memihak, memastikan semua temuan didasarkan pada bukti yang kuat dan analisis yang tepat.

Hasil dan Rekomendasi

  • Hasil Audit: Ditemukan beberapa kekurangan dalam pelaporan pajak perusahaan XYZ, termasuk kesalahan dalam penghitungan pajak dan beberapa transaksi yang tidak tercatat dengan benar.
  • Rekomendasi Auditor: Auditor memberikan rekomendasi kepada perusahaan untuk memperbaiki sistem pelaporan keuangannya, memastikan semua transaksi dicatat dengan benar, dan menghitung ulang kewajiban pajaknya sesuai dengan temuan audit.
  • Tindakan Perusahaan: Perusahaan menerima hasil audit dengan baik dan berkomitmen untuk memperbaiki kesalahan yang ditemukan. Mereka juga setuju untuk membayar kewajiban pajak yang belum terpenuhi dan meningkatkan sistem akuntansi mereka untuk mencegah kesalahan di masa depan.

Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip dialektika Hanacaraka dalam proses audit perpajakan ini, auditor berhasil menjalankan tugas mereka dengan integritas, ketelitian, dan empati, sementara perusahaan XYZ menerima hasil audit dengan baik dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Dokumen pribadi penulis
Dokumen pribadi penulis

Kesimpulan

Dialektika Hegelian adalah metode filosofis yang memandang realitas sebagai proses perkembangan ide melalui tiga tahap utama: tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam setiap tahap, sebuah proposisi awal (tesis) menghadapi kontradiksi atau oposisi (antitesis), yang kemudian disatukan dan diangkat ke tingkat kebenaran yang lebih tinggi dalam bentuk sintesis. Proses ini tidak hanya mengatasi kontradiksi, tetapi juga menyimpan elemen kebenaran dari kedua pihak yang bertentangan, menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam.

Hegel menggunakan kata Jerman "aufheben" untuk menjelaskan proses ini, yang berarti "menyangkal," "menyimpan," dan "mengangkat." Artinya, dialektika Hegel tidak menghapus salah satu elemen yang bertentangan tetapi mengintegrasikan mereka dalam bentuk baru yang lebih tinggi. Proses ini mencerminkan pemikiran totalitas di mana setiap elemen saling bernegasi, berkontradiksi, dan bermediasi.

Sebagai contoh, Hegel menunjukkan bahwa konsep "being" (keberadaan murni) dan "nothing" (ketiadaan) saling bertentangan, namun keduanya disatukan dalam konsep "becoming" (menjadi), yang mencerminkan kebenaran yang lebih tinggi. Dalam logika tradisional, proposisi terdiri dari subjek dan predikat yang dianggap benar dengan sendirinya. Namun, menurut Hegel, kebenaran absolut hanya dapat dicapai melalui proses dialektika yang mencakup keseluruhan dan mengatasi batasan logika tradisional.

Dalam konteks yang lebih luas, dialektika Hegelian menekankan bahwa kebenaran tidak statis tetapi berkembang melalui proses konflik dan resolusi, yang mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam dan holistik tentang realitas. Setiap tahap baru dalam proses dialektika mengandung elemen-elemen dari tahap sebelumnya, yang tidak sepenuhnya dihilangkan tetapi diintegrasikan dalam bentuk yang lebih tinggi.

Dialektika Hanacaraka, sebagai konsep filosofis yang terkandung dalam aksara Jawa, dapat memberikan panduan yang mendalam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam proses auditing perpajakan. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam setiap aksara, auditor dan wajib pajak dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih baik, memadukan moralitas, etika, dan keseimbangan.

Mengintegrasikan prinsip-prinsip dialektika Hanacaraka dalam proses auditing perpajakan memberikan perspektif yang lebih dalam, menggabungkan aspek budaya dan spiritualitas Jawa. Pendekatan ini membantu auditor menjalankan tugas mereka dengan lebih bijaksana dan berintegritas, sementara wajib pajak lebih memahami dan menerima hasil audit dengan baik, menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih adil dan transparan. Dengan demikian, dialektika Hanacaraka bukan hanya sekadar sistem penulisan aksara, tetapi juga panduan filosofis yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam memastikan kepatuhan dan keadilan dalam perpajakan.

Terima kasih

Referensi :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Pemeriksaan Pajak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

https://suarakreatif.com/kebebasan-dalam-pikiran-friedrich-hegel/

https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=167311

https://www.academia.edu/98437519/Filosofi_Hanacaraka_Bahasa_Jawa_Suatu_Kajian_Etnolinguistik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun