Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatas Mengagumi Tanpa Bersuara

14 April 2020   13:04 Diperbarui: 14 April 2020   13:04 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya: Anissaul Hania

Hari ini tiba-tiba memoriku kembali memutar pada kejadian saat kami pertama kali dipertemukan . Di mana hari itu juga merupakan hari pertama mulai kuliah ta'aruf. 

Kami didampingi oleh kakak asuh bernama Kak Melisa. Kami dikumpulkan dalam satu halaman kampus membentuk sebuah lingkaran dan dipersilahkan untuk saling memperkenalkan diri.

Awalnya biasa saja, dimulai satu per satu menyebutkan nama, alamat dan asal sekolah. Namun, tiba-tiba aku merasa janggal. Seolah ada yang mengamatiku dengan tatapan yang aneh. Entah ini benar atau hanya perasaanku saja. 

Perasaanku, seorang yang sedang duduk diseberangku begitu tajam menatapku. Aku mencoba pelan-pelan memberanikan diri menatapnya juga, benarkah?

Benar saja, mata tajam itu mengarah padaku. Aku langsung kembali menundukkan kepala. Sekeras apapun usahaku mencoba fokus, tetap saja hati ini tidak tenang. Dipenuhi dengan rasa penasaran. Apa yang sebenarnya ia lihat? Apa luka di wajahku terlihat aneh? 

Ya, memang saat itu kondisiku sedang tidak sehat. Satu Minggu sebelum kuliah ta'aruf aku mengalami kecelakaan sepeda motor bersama temanku. Tidak ada luka serius, hanya saja wajahku lebam dan banyak goresan. Tatapan anehnya tentu membuatku merasa tidak percaya diri. Menyebalkan!

Tidak berhenti sampai disitu, saat kami dibariskan untuk upacara pembukaan dia sedang duduk jongkok sembari berteduh karena cuaca cukup panas hari itu, ya tepat disebelahku.

Karena salah tingkah dan bingung apa yang harus kulakukan, aku pun memberanikan diri untuk sekadar menyapanya.

"Panas ya?"

Dia hanya mendongakkan kepalanya, kembali menatap ke arahku dengan mata tajamnya disipitkan seperti sedang berpikir. Tanpa sepatah kata, lantas memalingkan wajahnya dariku.

"Apa sih maksudnya, sudahlah biarkan saja", gumamku dalam hati.

Kuliah ta'aruf pun selesai. Tiba saatnya pembagian kelas. Aku pasrah saja, bagiku mau dimana saja rasanya akan sama. Karena aku belum menemukan teman dekat waktu itu. Rupanya aku masuk di kelas A. 

Setelah masuk dalam kelas, melihat postur tubuhnya dari belakang seperti orang yang tidak asing. Ternyata dia lagi. Padahal dia adalah orang yang paling ingin kuhindari karena kesan pertama yang aku anggap dia sedikit angkuh dan tidak ramah lingkungan. Aku sangat tak menyukainya. Tapi mau bagaimana lagi, dia bahkan jadi kosma di kelasku.

Presepsiku terhadapnya tidak hanya dirasakan olehku saja. Teman-teman sekelas lainnya pun merasakan hal yang sama. Bahkan awal-awal perkuliahan satu kelas antara laki-laki dan perempuan serasa ada sekat, jauh sangat jauh. 

Aku rasa seperti dalam kehidupan pesantren. Kami tak saling bertegur sapa untuk urusan yang tak penting, kecuali tugas kuliah atau forum diskusi.

Laki-laki di kelasku mayoritas alumni pondok pesantren. Tentu sangat banyak pembekalan dari segi ilmu agama dibandingkan dengan yang sekolah umum. Sebab itu, forum diskusi seakan dominan laki-laki yang mempunyai peran.

Dan pada suatu forum diskusi, aku duduk dibaris kedua. Di sebelah kiri paling depan ada suara laki-laki yang sedang menjelaskan sebuah jawaban atas pertanyaan para peserta.

Jawabannya sangat jelas, gamblang dengan kalimat yang mudah dipahami. Jujur aku sangat terpesona dengan jawaban memukau itu.

"Astagfirullahaladzim", seketika aku tersadar bahwa dia adalah laki-laki angkuh itu dalam sadarku.

Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama hingga satu semester. Rasa-rasa aku ingin menyerah saja. Lingkungan tidak asyik, perkuliahan terasa datar. Hanya kuliah, presentasi dan diskusi seperti itu terus. 

Kami belum ada praktik karena di awal masih pembekalan materi, selain itu fakultas masih belum lengkap dalam penyediaan alat praktikum pendukung. Jenuh, membosankan, tidak betah rasanya aku ingin berhenti saja dan pindah ke cita-citaku awal.

Semester satu lewat begitu saja. Hingga memasuki awal perkuliahan semester dua, tanpa sengaja kami semua berkumpul dalam satu moment sharing agar lebih mengenal satu sama lain.

"Pak, kamu itu jangan begitu sikapnya, kelihatan seram dan angkuh lho", ketus salah satu teman.

"Memangnya bagimana?", jawabnya.

"Ya biasa aja, tatapanmu lho bikin seram orang yang lihat", seru Mufi.

"Owalah, perasaan saya biasa saja lho. Ya sudah saya minta maaf, besok-besok nggak lagi", sahutnya.

Semenjak moment itu, sikapnya berubah. Jadi lebih aware, saling bercerita satu sama lain tapi tetap jaga jarak. Dia memang pintar sejak dulu IPnya saja nyaris sempurna dan di semester berikutnya benar-benar sempurna 4.00. Amazing banget menurutku. Selain pintar, akhlaknya juga sangat baik, terlebih kepada para dosen. Maka tak heran lagi jika dia menjadi kesayangan dosen-dosen fakultas.

Malam itu tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Entah mengapa, rasanya sangat gelisah. Aku sendiri tak paham apa yang sebenarnya menguasai pikiranku. 

Kubuka HPku tak ada notice apapun. Waktu menunjukkan pukul 01.00 WIB semesta seakan memberikanku kode untuk mengadu pada Sang Illahi. Tak ingin menyia-nyiakannya begitu saja. Segera aku bergegas untuk mengambil wudu dan melaksanakan qiaumulail.

Pagi hari aku berangkat kuliah seperti biasanya. Rupanya hari itu dosen kami sedang berhalangan tidak masuk. Kelaspun kosong hanya di isi diskusi sebentar.

Tiba-tiba aku terkaget dengan pernyataannya saat di depan kelas.

"Semalam aku memimpikan kamu lho", ucapnya sembari duduk di bangku dosen.

Semua teman-temanku yang mendengar lantas meledekku "cie-cieee", seru mereka kompak.

Dengan menahan pipi yang merah merona karena malu, aku menutupinya dengan pertanyaan balik . Yah, penasaran juga sih sebenernya.

"Mimpi apa?", tanyaku.

"Mimpi selamatkan kamu" jawabnya.

"Cieeeeee", makin kompak saja temen-temenku.

Mungkin wajahku udah kayak kepiting rebus, merah merona. Hanya kututupi dengan senyum tipis dari bibirku. Jujur aku malu. Apa mungkin ini jawaban atas keresahan yang kurasakan semalam?

Jatuh cinta padamu secara diam-diam bagaikan derita yang kurawat sendiri. Setiap hari aku ingin memperhatikanya walaupun logikaku ingin mengelak, tapi hati terus mendorong untuk memikirkannya. 

Aku tak pernah menyangka pandanganku akan berubah begitu drastis setelah aku mendengar penyataanya. Bahwa aku sempat masuk dalam mimpinya. Bagaikan penguat untukku, seakan semesta mengirimkannya untukku.

Untuk pertama kali aku melihatnya. Saat itu tak pernah terbersit olehku akan jatuh cinta padanya, bisa dibilang benci. Namun waktu berkata lain dan semua berubah saat ini.

Sebelum melanjutkan cerita, aku Zahra Novela adalah wanita yang sangat pemalu, tertutup dan tidak pandai mengekspresikan perasaan. Mungkin keadaan dari rumah yang membuatku menjadi pribadi yang seperti ini. Karena dalam keluargaku, tidak terbiasa terbuka dan saling menyimpan masalah masing-masing. 

Meja makan bahkan jarang terisi, untuk sekedar makan bersama. Aku yang sudah dewasa masih saja dianggap anak kecil yang tak harus tau apa-apa yang sedang menjadi masalah keluarga.

Di kota aku tinggal ngontrak bersama 3 temanku dari daerah dan suku yang berbeda-beda. Kami sudah seperti keluarga. Saling berbagi makanan, resep masakan dan berganti jadwal untuk saling menjadi imam saat shalat jamaah di rumah. Kami begitu dekat, bahkan tak sungkan untuk makan satu piring berempat.

Hingga suatu malam saat aku tengah berkumpul dengan teman-temanku, sebut saja namanya Tika, Septy dan Ida. Semua berawal ketika Tika teman sekamarku bilang kalau dia sedang naksir sama kakak tingkat kita sebut saja namanya Jojo. Septy pun demikian dia sedang naksir dengan teman sekampus, kalau Ida setia sama pacar lamanya. Dia pacaran sejak SMA dan bertahan sampai sekarang. Kalau kredit mobil lunas kayaknya. Hehe

"Zahra, kita sudah ngasih tahu gebetan kita nih. Sekarang kamu kasih tahu siapa gebetan kamu", ucap Tika.

"Apa, gebetan? Aku nggak punya hehehe" jawabku polos, karena memang saat itu tidak pernah terlintas untuk mencari gebetan di kampus. Bisa bertahan di jurusan yang tidak kuinginkan saja sudah suatu anugerah.

"Ah, masa nggak ada sih. Ayo dong kasih tahu kita, siapa orang yang kamu suka", desak Septy.

Aku berpikir sejenak

"Baiklah kalau kalian maksa", hmmm. (sejenak aku diam membuat mereka penasaran). Aku beneran nggak ada gebetan dan gak ada yang lagi di sukai, aku ke sini buat kuliah, lagian aku nggak pernah pacaran sampai sekarang", jawabku.

"Serius kamu belum pernah pacaran?", tanya Ida dengan nada kepo.

"Iya, serius" jawabku.

"Kenapa?", sahut Septy.

Awal mula aku memutuskan untuk tidak ingin berpacaran sebetulnya karena ketidaksengajaan waktu itu. Semasa SMA aku menaruh hati pada kakak kelasku, dia ketua OSIS yang begitu tampan dan seorang aktivis. Entah mengapa aku selalu suka dengan aktivis. Apalagi kalau dia sebagai ketua. Seakan menunjukkan kalau dia bisa menjadi pemimpin yang baik. Yah, dia adalah cinta pertamaku. Laki-laki pertama yang bisa membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

Aku selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah waktu itu, berdandan rapi nyaris 2 jam sebelum berangkat setiap harinya. Dia begitu terkenal di sekolah. Mantan pacarnya juga banyak. Tapi herannya saat mendekatiku bahkan dia tidak berani menyatakan cinta padaku. Takut ditolak katanya. Padahal aku sangat menunggu moment itu. Menyebalkan!!!

Tapi bersyukur, Allah menyelamatkanku dari pacaran. Akhirnya cinta itu terpendam sampai aku lulus sekolah. Meski banyak laki-laki lain yang datang, namun hatiku masih tertambat padanya, cinta pertamaku.

Pada tahun 2014 tepatnya tanggal 12 Januari, tanpa sengaja aku melihat tayangan infotainment. Ada salah satu public figure yang menikah di hari itu. Wanita cantik, Sholehah dan pintar yaitu Oki Setiana Dewi. Sebetulnya aku tak mengidolakannya atau bisa di bilang biasa saja.

Tapi saat di wawancara beliau menceritakan perasaanya ketika pertama kali sah menjadi isteri " Ketika awal-awal, deg-degannya minta ampun. Kalau teman-teman lihat pas udah akad nikah, bang Rio pegang tangan kali pertama itu, saya deg-degannya minta ampun. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata karena kita kan menjaga sekali. Setelah menikah kan bisa segala macam, dipanggil sayang juga deg-degan," ucapnya dengan tersenyum.

Entah mengapa, penuturannya saat wawancara membuat hatiku tergetar, seakan aura bahagia itu tertular padaku. Indahnya penjagaan sebelum pernikahan itu benar-benar terlihat. Aku yang tadinya biasa saja jadi sangat mengidolakan Oki Setiana Dewi.

"Aku ingin merasakan apa yang ia rasakan, semuanya belum terlambat, toh aku juga belum pernah pacaran, kenapa tidak dilanjutkan dengan tidak usah pacaran saja sampai pernikahan", tekadku dalam hati.

Kembali pada obrolan dengan teman-temanku tadi, sejujurnya aku ingin sekali menyampaikan pada mereka. Kalau ada nama seseorang yang tersimpan rapat dalam hatiku. Tapi nyatanya laki-lagi aku gagal untuk terbuka terhadap apa yang aku rasa.

***

Setelah obrolan kita malam itu tentang gebetan masing-masing, diam-diam aku mulai mencuri-curi waktu untuk sekedar melirik Zaky di sela-sela perkuliahan. Dan mencari-cari sisi lain darinya.

Hari-hari kulalui dengan terus memperhatikanya, terlalu sering aku memperhatikanya membuatku semakin mengangguminya, hingga tanpa kusadari yang mampu membuatku sakit saat aku mengetahui dia sudah berpacaran dengan wanita lain. Sudah lama sejak 5 tahun yang lalu.

Walaupun sekarang aku tahu, dia mencintai wanita lain yang pasti itu bukan aku, namun rasa cinta untuknya masih tetap sama dan aku tetap berharap ada sedikit cinta yang tersisa untukku.

Aku mencoba terlihat biasa di depannya. Seperti tidak ada apa-apa. Herannya dia hanya dekat denganku. Dengan teman-teman kelas perempuan yang lain tidak. Dia sering sharing denganku. Bahkan bertanya tentang kado yang pas untuk ulang tahun pacarnya juga.

Setelah kutau kalau dia sudah mempunyai pacar, aku coba menghapus rasa itu, namun semakin besar usahaku untuk menghapus rasa itu, semakin kuat cinta yang ku rasakan, hingga akhirnya kubiarkan rasa itu terus tumbuh dan berkembang, walaupun aku tau ini akan berakhir sakit. Dalam diam aku terus mencintainya. Bukan memaksa untuk memilikinya. Hanya membiarkan jalan seperti apa yang akan Allah tunjukkan padaku.

Tahun 2016 adalah babak akhir dalam perkuliahanku. Skripsi, sebutan untuk tugas akhir yang menurut sebagian orang sangat horor. Karena harus bimbingan dan harus siap dengan segala coretan warna-warni dari para pembimbing.

Bagiku tugas akhirku sangat mengesankan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Aku memilih judul yang benar-benar aku suka. Aku tak ingin terkekang oleh beban. Aku ingin skripsi benar-benar manis seperti namanya. "Pesan Dakwah dalam Novel karya Oki Setiana Dewi " menjadi judul terpilih yang telah di ACC oleh jurusanku.

Entah mengapa semua tentang Oki Setiana Dewi jadi inspirasi bagiku. Ada lima novel yang harus kubaca dan kupahami setiap hari. Benar saja setelah membaca dan memahami banyak sekali pesan dakwah yang disampaikan di dalamnya baik dari segi akidah, syariah dan akhlak. Kisah-kisah yang di sampaikan based on true story dengan bahasa yang ringan dan mudah diterima oleh siapa saja yang membacanya karena terasa dekat dengan kehidupan kita sehari-sehari.

Berdakwah pada zaman sekarang ini memang tidak hanya bisa dilakukan oleh para mubalig di masjid, tetapi bisa dilakukan dengan banyak cara dan media yang bisa di gunakan sebagai media dakwah. Seperti televisi, koran, majalah, lagu, internet dan buku. Seperti yang di lakukan beberapa penulis yang memanfaatkan karyanya sebagai media dakwah.

Dakwah melalui karya tulis merupakan buah dari keterampilan dalam penyampaian pesan dakwah. Dakwah melalui tulisan bisa di kemas secara populer salah satunya dalam bentuk novel. Berdakwah melalui novel ini pesan dakwahnya akan lebih mudah diingat karena menggunakan rangkaian peristiwa atau kisah-kisah dengan gaya bahasa yang digunakan penulis sehingga akan mempermudah dalam mempengaruhi orang lain dan berkesan.

Novel sebagai media dakwah sangat efektif terutama bagi orang-orang yang gemar membaca. Karena novel bisa dibawa kemana-mana, dapat diterima oleh siapa saja dan bisa diulang-ulang kapan saja.

"Bagus ini, nanti kalau sudah jadi bunda mau baca juga ya novelnya. Lebih bagus lagi kalau kamu bisa wawancara langsung dengan penulisnya", saran pembimbingku waktu itu.

"Mau banget, tapi gimana ya caranya ketemu dan ngobrol langsung sama Mbak Oki", jawabku.

Aku bukan orang yang mudah menyerah begitu saja melainkan merasa tertantang dengan saran Bunda Fariza, meski beliau tidak memaksa. Zahra Novalia akan mengupayakan yang terbaik untuk karya pertamanya.

Setiap hari kuhabiskan waktu untuk mencari tau cara untuk bertemu dengan OSD, dari stalking semua akun sosial medianya, nonton TV, youtube dan membaca artikel tentangnya.

Saking buntunya aku pernah search di google "alamat Oki Setiana Dewi", tapi tak muncul juga.

Ribuan komentar pun satu persatu rajin aku baca, berharap kutemukan setitik jalan untuk dapat menemuinya. "Aku ingin skripsiku maksimal ya Allah, tolong beri hamba jalan", doaku di kamar yang sunyi dan berpasrah dalam tangis. Aku selalu percaya Allah selalu berikan jalan bagi hamba-Nya yang ingin berusaha. Bismillah pasti ada jalan.

Suatu hari, tanpa sengaja aku menjatuhkan novelku dengan posisi terbalik. Setelah kuambil baru kusadari ada email yang tertera. Kenapa aku tidak kirim email saja. Sampai tidak kepikiran. Begitulah cara Allah memberi jalan. Yang tadinya seolah buntu menjadi terang seketika.

"Assalamu'alaikum Wr Wb. Semoga Allah senantiasa melindungi Mbak Oki Setiana Dewi dan keluarga. Perkenalkan saya Zahra Novalia saat ini mahasiswa akhir di IAIN Lampung, sedang mengerjakan skripsi dengan judul "Pesan Dakwah Dalam Novel Karya Oki Setiana Dewi". Jika di perkenankan saya ingin menanyakan beberapa hal tentang novel tersebut kepada Mbak Oki langsung, semoga Allah mengizinkan kita bertemu. Terimakasih sebelumnya. Wassalamu'alaikum Wr Wb.

Bismillah, ya Allah semoga engkau meridhoi, klik enter. Kukirim ke tiga alamat email yang tertera sembari deg-deg kan.

Dua hari kemudian ada notice di handphoneku, Masya Allah balasan email dari manajemen OSD. Emailku disambut hangat oleh beliau, aku diberikan nomor handphone OSD agar bisa menghubungi beliau langsung.

Sujud syukur kupanjatkan pada Allah. Ya Rabb yang tadinya tidak mungkin mudah bagi-Mu jika engkau berkehendak. Aku ingat pada suatu ayat dalam Al-Qur'an yang mengatakan " Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah di usahakanya". Dari sini aku mendapat pelajaran jika ada kemauan , pasti ada sejuta pintu kemudahan disana, ini nyata.

Kusiapkan semua pertanyaan dalam lembaran-lembaran kertas sebelum menghubunginya. Tepat pukul 11.00 WIB aku diminta untuk menghubungi beliau dan karena keterbatasan waktu kami sepakat untuk melakukan sesi interview melalui sambungan telepon saja.

Meski tak jadi bertemu secara langsung, bagiku itu sudah cukup senang bisa berkomunikasi dengan beliau. Sangat ramah dan telaten membantuku dalam menjawab satu demi satu pertanyaan yang kuajukan. "Semangat ya, semoga ilmunya berkah", kalimat terakhir yang OSD sampaikan kepadaku sebelum kututup obrolan singkat kami dengan salam.

Alhamdulillah, setelah melalui beberapa kali bimbingan akhirnya skripiku benar-benar berakhir manis. Bahkan pembimbingku tak menyangka aku bisa mendapatkan data langsung dari penulisnya. Saat sidang semuanya lancar dan pembimbingku merasa bangga terhadapku. Bagiku itu sudah lebih dari cukup membuat senyum indah di bibirku. Nilai sudah tak menjadi prioritasku. Yang penting ada manfaat yang bisa disampaikan dalam karyaku. Dan aku dinyatakan resmi mendapat gelar sarjanaku. Finally, setelah banyak drama yang kulalui.

Bahagia karena aku telah menyelesaikan studiku. Tapi ada rasa sedih juga, artinya aku mempunyai banyak PR untuk kehidupanku selanjutnya. Belum lagi soal asmara yang terpendam selama hampir empat tahun lamanya.

Aku dan Zaky tetap berhubungan sebagaimana biasanya. Kami dekat, cukup dekat tapi hanya untuk saling memotivasi dan mengoreksi selama skripsi. Temanku Mely sempat bercerita kalau Zaky pernah mengatakan sayang jika melewatkanku. Tapi aku hanya akan jadi yang kedua. Artinya bukan prioritasnya. Setelah mendengar itu semua aku melepaskan dan mengikhlaskan semuanya. Lagian aku juga akan berpisah dengannya. Dia melanjutkan pendidikannya Surabaya dan aku akan fokus dengan karirku. Aku tak pernah memaksa dia akan kembali dan menjadi milikku nanti. Tapi aku selalu berdoa denganku atau bukan dia akan tetap bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun