"Hemm... Ehem... Hemm...." Terdengar suara batuk pelan. Kedua bola mata genit memperhatikan Deara.
"Ah, Mbak Ningsih, Bukan begitu, kok." Balas Deara sambil merapikan poni rambutnya. Malu terlihat jelas di wajahnya.
"Oh, begitu ya? CLBK itu baik, kok. Asal meningkatkan kualitas pekerjaan kita." Ucapnya. Apa mungkin terjadi? Batin Deara.
 "Semangat, ya. Deara!" Kata Mas Indra tersenyum sambil mengepalkan kedua tangan. Perempuan itu terdiam. Mulutnya membisu. Apakah hal ini patut dibanggakan? Ternyata pertemuan tidak hanya di lift saja namun terus berlanjut pada hari-hari berikutnya.
Empat bulan sudah mereka bersama. Percikan asmara masa lalu membawa mereka kembali. Bahkan Deara sempat berpikir menjalin hubungan dengan Kak Thomas sepertinya akan berjalan langgeng. Namun firasat tidak nyaman muncul sejak kehadiran kawannya berparas kurang menyenangkan.Â
Bukan masalah penampilannya, sih. Ada tanda bekas luka sayatan di pipi kanan dan wajahnya tampak kusam. Deara berusaha berpikir positif. Berkali-kali dia menemukan kekasihnya dengan seorang dengan paras tidak menyenangkan. Yang lebih menyebalkan lagi Thomas sepertinya sering menerima sesuatu darinya.
"Apa yang kamu terima darinya?" Tanya Deara penasaran setelah Kak Thomas bertemu dengannya tadi. Setelah KakThomas keluar dari restoran terburu-buru saat makan malam bertemu dengan pria kusam itu.Â
Bahkan selalu saja ada yang disimpan oleh kekasihnya. "Tidak ada." Jawab Kak Thomas tanpa ekspresi. Deara terdiam berusaha memahami apa yang terjadi. Hingga dia nekat untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ada yang berubah darinya. Badannya lebih kurus. Namun yang lebih jelasnya lagi wajahnya mulai tirus. Kalau ditanya selalu berdalih karena kecapekan atasi tugas kantor.
Besok malamnya, Deara bersembunyi dari balik pintu kantor Kak Thomas memperhatikan secara diam-diam. Punggung yang gagah itu tak lagi membuat dirinya tertarik lagi. Karena ada beberapa pil dalam bungkusan plastik putih. Kak Thomas meminumnya. Terdengar suara barang jatuh ke lantai. Kepala Kak Keenan menoleh ke belakang dan wajah Deara kaget terbenam dalam ingatan pria itu.Â
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah itu adalah..." Hatinya semakin gelisah. Tangan kanannya menyentuh dada. Menahan semua debaran khawatir tak berujung ini. "Itu adalah obat dari dokter, bukan?" tanyanya lagi.Â
Lelaki itu lidahnya kelu. Menatap Deara sayu. Sunyi temani mereka berdua di malam itu. "Maafkan aku, Deara. Aku butuh ini dan kamu tahu jelas ini bukan obat dari dokter." Jawabnya tegas. Bahkan dirinya tidak ketahui kapan ia akan keluar dari lubang hitam tak berujung ini. Jantung perempuan itu rasanya mau copot mendengar jawaban Thomas.