Mohon tunggu...
lady  anggrek
lady anggrek Mohon Tunggu... Wiraswasta - write female health travel

Suka menulis, Jakarta, Blog: amaliacinnamon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dawai Sendu untuk Deara

25 September 2018   05:20 Diperbarui: 25 September 2018   15:08 1640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: catatanrobert.com

Tarian uap secangkir coklat panas di atas meja menari syahdu ke atas. Dari balik jendela dia memperhatikan bayangan sinar matahari memasuki ruangan. Garis bayangan Sang Mentari lurus tegak terlihat di lantai marmer putih. 

Korden bergerak lembut seiring udara bagaikan ombak laut surut pada bibir pantai. Ya, lama tak merasakan lagi. Ceria kembali menyelimuti wajahnya. Bibir mungil Deara tersenyum sendiri. Kedua kakinya berayun-ayun kebiasaannya saat bahagia menjemput.

Dada kembali berdebar-debar seperti dahulu. Deara bertemu dengan Kak Thomas, Alumni kakak kelas SMA Antar Bangsa. Padahal pertemuan itu bukan pertemuan yang menyenangkan. 

Kalut tersimpan erat dalam benak karena urusan pekerjaan. Tak sangka ada seuntai senyuman tipis menyapa dirinya. Kembali teringat bagaimana dahulu saat remaja Deara terpukau oleh dirinya. Sekarang dia bertemu lagi dengan Thomas pada waktu yang berbeda. Siang kemarin mereka berjumpa di lift dalam satu gedung tempat mereka bekerja. 

Kini lelaki itu berumur 40 tahun, tubuhnya tinggi tegap, kenakan Blazer warna cokelat. Kedua bola mata menatap ramah Deara. Ya, perempuan itu tidak bisa melupakan saat bersama Thomas di bangku sekolah SMA. Nada-nada asmara bernyanyi riang seperti saat itu.

"Apa kabar? Kamu Deara, bukan?" tanya Kak Thomas penasaran. Tangan kanan pria tersebut menepuk pelan bahu sang Visualizer. Kedua bola mata menatap kaget. Aduh, dia tidak siap lagi saat bertemu Kak Thomas. 

Hatinya masih campur aduk. Pertemuan dengan klien belum membuahkan hasil yang baik. Tentang iklan minuman soda tayang di televisi. Dahinya mengkerut naik ke atas. Ia memperhatikan seksama. Antara percaya dan tidak percaya. Bertemu dengannya lagi!

"Ya, benar. Kak Thomas bekerja di sini juga?" Pakaiannya rapi. Samar-samar tercium aroma wangi parfum yang dikenakan. Harumnya wangi yang tercium. Lavender kah? Kak Thomas membalas dengan ramah. Dahinya mengkerut. Jari telunjuk tangannya membentuk sesuatu. Seakan mengingat sesuatu tentang Deara.

"Kalau kamu sepertinya berhasil meraih cita-citamu. Bukankah kamu dulu ikut klub seni melukis?" Tanyanya lagi. Deara tersenyum ceria lalu membalas.

"Benar, saya bekerja sebagai Visualizer di bagian periklanan. Tempat kerjaku di lantai 12. Media Karya, nama perusahaanku." Balas Deara menatap wajah Kak Thomas tampak berubah.

Ada senyum tipis terlihat beberapa uban putih di rambutnya. Tingg! Bunyi bel lift berbunyi kencang. Membuyarkan lamunannya beberapa saat. "Kalau saya kerja di PT. Wista Utama di lantai 5. Maaf, saya duluan. Semoga nanti kita bertemu lagi." Ucapnya sambil berlalu. Deara memperhatikan lekat punggung Kak Thomas tampak gagah dari belakang. Langkah kaki tegap terdengar keras. Berlari kencang meninggalkan dirinya dalam kegelisahan. "Aduh, sayang sekali!" Bisiknya pelan.

"Hemm... Ehem... Hemm...." Terdengar suara batuk pelan. Kedua bola mata genit memperhatikan Deara.

"Ah, Mbak Ningsih, Bukan begitu, kok." Balas Deara sambil merapikan poni rambutnya. Malu terlihat jelas di wajahnya.

"Oh, begitu ya? CLBK itu baik, kok. Asal meningkatkan kualitas pekerjaan kita." Ucapnya. Apa mungkin terjadi? Batin Deara.

 "Semangat, ya. Deara!" Kata Mas Indra tersenyum sambil mengepalkan kedua tangan. Perempuan itu terdiam. Mulutnya membisu. Apakah hal ini patut dibanggakan? Ternyata pertemuan tidak hanya di lift saja namun terus berlanjut pada hari-hari berikutnya.

Empat bulan sudah mereka bersama. Percikan asmara masa lalu membawa mereka kembali. Bahkan Deara sempat berpikir menjalin hubungan dengan Kak Thomas sepertinya akan berjalan langgeng. Namun firasat tidak nyaman muncul sejak kehadiran kawannya berparas kurang menyenangkan. 

Bukan masalah penampilannya, sih. Ada tanda bekas luka sayatan di pipi kanan dan wajahnya tampak kusam. Deara berusaha berpikir positif. Berkali-kali dia menemukan kekasihnya dengan seorang dengan paras tidak menyenangkan. Yang lebih menyebalkan lagi Thomas sepertinya sering menerima sesuatu darinya.

"Apa yang kamu terima darinya?" Tanya Deara penasaran setelah Kak Thomas bertemu dengannya tadi. Setelah KakThomas keluar dari restoran terburu-buru saat makan malam bertemu dengan pria kusam itu. 

Bahkan selalu saja ada yang disimpan oleh kekasihnya. "Tidak ada." Jawab Kak Thomas tanpa ekspresi. Deara terdiam berusaha memahami apa yang terjadi. Hingga dia nekat untuk mencari tahu apa yang terjadi. Ada yang berubah darinya. Badannya lebih kurus. Namun yang lebih jelasnya lagi wajahnya mulai tirus. Kalau ditanya selalu berdalih karena kecapekan atasi tugas kantor.

Besok malamnya, Deara bersembunyi dari balik pintu kantor Kak Thomas memperhatikan secara diam-diam. Punggung yang gagah itu tak lagi membuat dirinya tertarik lagi. Karena ada beberapa pil dalam bungkusan plastik putih. Kak Thomas meminumnya. Terdengar suara barang jatuh ke lantai. Kepala Kak Keenan menoleh ke belakang dan wajah Deara kaget terbenam dalam ingatan pria itu. 

"Apa yang kamu lakukan? Bukankah itu adalah..." Hatinya semakin gelisah. Tangan kanannya menyentuh dada. Menahan semua debaran khawatir tak berujung ini. "Itu adalah obat dari dokter, bukan?" tanyanya lagi. 

Lelaki itu lidahnya kelu. Menatap Deara sayu. Sunyi temani mereka berdua di malam itu. "Maafkan aku, Deara. Aku butuh ini dan kamu tahu jelas ini bukan obat dari dokter." Jawabnya tegas. Bahkan dirinya tidak ketahui kapan ia akan keluar dari lubang hitam tak berujung ini. Jantung perempuan itu rasanya mau copot mendengar jawaban Thomas.

"Deara.... " Panggil Thomas pelan dan meraih tangannya. Namun Deara menarik tangannya dan ia langsung berlari kencang. Meninggalkan dia seorang diri. Malam yang ramai oleh kemacetan lalu lintas. 

Kerlap-kerlip lampu mobil berlalu lalang melewati dirinya. Air mata Deara membasahi pipi. Berharap hal ini adalah mimpi buruk saja. Bukan kenyataan yang harus dilalui.

Daun-daun di taman bunga halaman depan rumah kembali bergoyang. Pelan dengan gemerisik sendu tanpa sadarkan diri. Kedua tangan Deara menggenggam secangkir cokelat panas namun kini tak lagi perhatikan bagaimana tarian udara dari uap menari ke atas. 

Paras Kak Thomas yang rupawan dan tubuh gagah tak lagi membekas di hati. Tak secerah saat bersama menjalin hubungan. "Aku banyak tuntutan pekerjaan. Sepertinya obat ini jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah." Mata Thomas menatap Deara layu. Setelah beberapa hari tak bertemu. Bahkan jika mereka berpapasan tak banyak kata yang keluar. Kedua mulut mereka membisu dan menatap dengan pandangan kosong.

 " Ternyata sudah 4 bulan seminggu lebih kita telah bersama." Bisik Deara pelan.

 Kepalanya menunduk. Hatinya kalut. Padahal baru saja terkabulkan. Perempuan itu menatap Thomas lagi.

"Apakah Kak Thomas mau berubah? Meninggalkan barang itu?" Mulut sang kekasih membisu. Tidak ada jawaban. Kepala Kak Thomas menunduk ke bawah tubuhnya lemas. Hatinya sudah pasrah menerima keputusan Deara. Tapi ia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Deara mengeluarkan sehelai kartu dan brosur dari dalam tas.

"Itu adalah nomor konseling dokter khusus bagian narkotika. Kami bersahabat saat kuliah namanya Dokter Hani." Lelaki itu kaget apa yang diberikan oleh Deara. "Ternyata kamu..." "Silakan hubungi bila Kak Thomas mau bicara tentang apa yang terjadi." Balasnya lagi. 

Deara siap seratus persen. Hanya ini yang bisa dilakukan olehnya. Semua keputusan kembali kepada Kak Thomas. "Hubungan kita sudahi saja dulu. Aku minta maaf dan terima kasih atas apa yang terjadi selama ini." Kedua mata Deara menatap pasti.

"Deara..." Ucapnya pelan.

Sedih dan penyesalan merasuk dirinya. Namun hatinya telah berkata tidak.

"Telah aku lakukan semampuku. Semoga engkau baik-baik saja. Untuk kedepannya." Deara memperhatikan Thomas seksama. Merekam wajah kekasihnya untuk yang terakhir kali.

Kedua kakinya berjalan meninggalkan kekasihnya lagi untuk yang terakhir kali. Air mata berjatuhan membasahi pipi. Bahkan ingatan terakhir Kak Thomas hanyalah punggung Deara berlalu pergi menjauh darinya. Hanya waktu yang bisa menjawab. Kepalanya menunduk lagi. "Seandainya saja aku lebih bersabar menjalani tuntutan pekerjaan. Seandainya saja." Ucapnya dalam hati. Penyesalan yang terlambat. Sangat terlambat.

Satu bulan sesudahnya. Deara tak lagi mendengar kabar tentang Kak Thomas. Bahkan Mas Indra dan Mbak Ningsih selalu membantu dia selama bekerja lagi. Tapi hari sabtu pagi ini tampaknya agak berbeda. Kedua bola mata Deara perhatikan Mas Indra bermain biola.

Angin pagi hari berhembus dengan syahdu. Bahkan ia melihat sekeliling tak sedikit ada beberapa pengunjung di taman Cattleya menikmati permainan biolanya. Jari-jemari lincah bermain dawai biola. Agak janggal rasanya melihatnya secara langsung. Apalagi dengan pernyataan mendadak  tadi pagi. Ekspresi wajahku sungguh konyol. Terdiam selama beberapa menit setelah mendengar kata-katanya.

"Maukah kamu ikut denganku besok? Ada konser biola di salah satu taman kota." Katanya. Dia berdiri tegak depan pintu rumahku.

"Hmm.... Ya... Sebenarnya..." Lidahku kelu. Bagaimana ya? Bingung menyelimuti kepala ini. Setelah kejadian Kak Thomas rasa-rasanya ingin beristirahat dulu. Setelah medengar kabar dari Hani, kawanku kuliah dulu. Memberitahu Kak Thomas mulai menunjukkan kemajuan berjuang sembuh dari kecanduan narkoba.

"Ini permintaan terakhirku. Aku minta tolong." Kedua mata menatap dengan penuh harapan. Bibirnya terkatup rapat. Mas Indra yang aku mengerti orangnya agak berbeda. Ya, dia bukan tipe orang yang tidak gampang bersosialisasi juga. Ada kotak panjang yang digenggamnya. Penasaran dalam diri Deara memuncak.

"Itu apa yang kamu bawa?" Tanyaku bingung. "Ini adalah Biola." Jawabnya. Aku perhatikan lagi. Tubuhnya yang kurus dan tinggi badan sepantaran denganku. Bahkan kalau tidak ada Mas Indra yang menyelesaikan masalah saat sedang deadline. Mungkin sudah banyak kesulitan kami terima.

Matahari bersinar cerah hangat menyelimuti. "Ada konser mini di Taman Cattleya." Samar-samar suaranya terdengar kembali dalam kepala. Baris berbaris membentuk kesatuan. Deretan tanaman bunga tertata rapi. Suara air berbunyi dari kolam menambah syahdu. Sesungguhnya aku tidak ada masalah dengan Keenan lagi. Bahkan kejutan dari Mas Indra miliki perasaan kepadaku . Sejak awal bekerja di perusahaan periklanan.

"Sebenarnya Mas Indra itu dulu pernah menekuni bermain biola profesional. Karena ada kecelakaan dia jarang bermain lagi." Jawab Mbak Ningsih.

"Lalu dia itu ternyata ada rasa sama kamu." Aku kaget hampir saja berteriak keras. Untunglah mulutku berhasil aku tutupi dengan tangan. Tubuhku maju sedikit ke depan. Mengintip dari balik kamar apa yang sedang Mas Indra lakukan kini.

Untunglah dia tidak mendengarnya. Lelaki itu berdiri dekat jendela teras halaman. Berjalan bolak-balik. Aku berbohong kepadanya untuk bersiap-siap. "Memang belum pernah diutarakan." Sambung Mbak Ningsih lagi. Apakah mungkin hal itu terjadi? Pikiran Deara semakin rumit. Nada minor dan mayor tampaknya semakin ruwet dan sulit menemukan jalan keluar tentang Mas Indra.

Ada perasaan berbeda selama bersama dengannya kini. Ada rasa lega dan nyaman setelah mendengar permainan biola darinya. Terutama lagu ini. Kitaro, Theme of Silk Road. Ya, lagu itu membawa wajahnya kembali cerah. 

Setia kali ada kesulitan terhadap pekerjaan. Setiap mendengar lagu itu kembali membawa rasa nyaman dan tenang lagi.  Lalu dia memainkan lagu Moonlight Sonata dan La Corda D'Oro. Bow berhenti menggesek biola. Beberapa orang yang menonton tak sedikit memuji dan sebagian bertepuk tangan.

"Keren permainan Mas Indra." Ucapku saat Mas Indra duduk di sebelahku.

"Ya, terima kasih. Maafkan aku tidak bilang jujur." Balasnya. Aku berikan kepadanya botol minuman yang aku bawa dari rumah.

"Terima kasih," ucapnya sambil mengangguk.

Melihatnya basah kuyub dan aroma bau keringat menerpa hidungku. Lensa kacamata juga beruap. Ia mengambil sapu tangan dari saku celana. Lalu kacamata itu di bersihkan embun yang menempel pada kacamata perlahan. Ah, wajahnya tampak berbeda. Kulitnya berwarna kuning cerah berkilau oleh terik matahari. Apakah dengan bersamanya ada harapan kedua? Dua bulan bersama Mbak Ningsih dan Mas Indra selama bekerja setelah kekecewaan oleh sang kekasih. Mungkin saja. Ya, mungkin saja. Batinku berkata.

"Hmm... Sebenarnya sebelum kita berangkat, Deara telepon Mbak Ningsih dahulu." Wajahnya langsung kaku dan terdiam sebentar.

"Aku juga... Akhirnya mengetahui kalau Mas Indra ada perasaan tersimpan." Jawabku pelan. Tersenyum-senyum sendiri menahan rasa deg-degan. Deara juga agak grogi menyampaikannya.

 "Mbak Ningsih cerita apa? Tanyanya balik.

"Ya, katanya kalau Mas Indra dulu pernah kecelakaan makanya jarang bermain biola. Dan yang tadi itu juga." Pipiku bersemu kemerahan. "Tak kusangka ternyata tangan Mas Indra banyak luka bukan karena tambahan servis komputer, ya?" Tambahku lagi.

Wajah Mas Indra tersenyum malu. Kepalanya menunduk ke bawah. Kedua tangannya memegang kotak biola dari kayu. Lucu juga melihat wajahnya seperti itu.

 "Maafkan aku, Deara. Aku ingin menghiburmu dengan cara yang agak berbeda. Tentang perasaanku kepadamu tak usah langsung menjawabnya." Katanya tegas. "Ya, Baiklah." Jawabku pelan. "Maaf sebelumnya. Bagaimana hubunganmu dengan Thomas?" Wajahnya memperhatikanku serius. Jari jemariku kembali memainkan poni rambut. Ya, kebiasaan lama sulit diubah.

"Kamu tidak ada masalah lagi dengannya? Ataukah...?" Hatinya gelisah. Khawatir melukai Deara, teman sekantornya. "Terima kasih atas perhatiannya Mas Indra. Sungguh aku lega tentang Keenan tak lagi tersimpan dalam diriku lagi. 

Selama ini aku berusaha menahan diri tidak mencari tahu kabarnya. Namun kawanku, Mbak Hani. Dia adalah dokter khusus bagian narkotika kalau Kak Keenan kini sedang berjuang melawan kecanduan narkoba di tempat rehabilitasi. 

Sepertinya dia berusaha keras untuk sembuh." Jawabku. Mas Indra menatapku mendengar penjelasanku tanpa ragu. Kami berdua memperhatikan kolam ikan itu lagi. Bunyi kecipak air dan beberapa ikan koi berlari ke sana kemari tanpa halangan. Angin lembut mengelingi kami berdua.

"Rasanya tenang dan lega  mendengarkan permainan biola Mas Indra." Kataku lagi. "Benarkah?" Tanyanya. Wajahnya riang sepertinya berhasil menghibur Deara.

"Benar." Jawabku sambil mengangguk. "Kalau kita berdua bersama menjalin hubungan.... " Kedua mataku menatap Mas Indra lagi dengan serius. Dia menatapku bingung. Setengah tidak percaya. "Lebih baik jangan cepat orang lain tahu tentang kita berdua. Bolehkan?" 

Senyumnya ceria. Wajahnya sungguh bahagia. Mas Indra lega mendengar jawaban langsung dari Deara. 

"Ya, Baiklah," balasnya. Hari baru Deara dimulai nada dawai biola menyelimuti jiwa kini dengan kenyamanan. Kedua pasangan itu saling tersenyum satu sama lain. Tak ada ragu tak ada perjalanan yang tidak dapat dilalui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun