Dari kumpulan yang terbuang ...
Syair karya Chairil Anwar itu agar di pahat di batu nisanku kelak jika aku telah tiada. Begitu pesanku pada kawanku. Begitu kami tinggal dua orang yang tersisa yang masih hidup kala kami tersesat di Gunung Lawu.
Dari lima orang yang tersesat, aku dan kawanku memilih jalur menyusuri sungai menuju ke desa terdekat. Sementara tiga orang kawan kami lainnya, mencoba menyusuri hutan mencari jejak-jejak yang pernah kita lalui.
Sudah seminggu lebih kami tersesat dan hanya berputar-putar diantara lembah dan jurang di Gunung Lawu. Kelaparan dan keletihan yang amat sangat, membuat kematian seperti sebuah lelucon dimata kami.
Disebuah pagi yang masih dipenuhi kabut, sebujur tubuh kawanku kaku membiru akibat dingin yang menusuk tulang kami semalam. Aku mencoba membangunkan nya. Dia tetap kaku tak bergerak. Matanya melotot, mulutnya ternganga tapi tak ada jejak desah yang keluar dari mulutnya. Aku pun terdiam, jatuh tersungkur ke tanah.
Tuhan, kenapa tidak aku saja mati?. Bukankah aku yang selalu minta ingin pulang...
Tanpa terasa hangat menetes di pipiku. Aih, akhirnya aku menangisi mu kawan. Apakah kau masih perlu sedu sedanku itu, kawan?.
Aku akan menemanimu kawan!. Mati dalam pendakian adalah cara mati terhormat bagi pendaki gunung seperti kita. Aku ingin mati di Mount Everest, begitu cita-citaku dulu. Ah, itu cuma darah mudaku saja. Melihat kau terbujur kaku saja aku sudah menangis tersedu-sedu. Sudah berapa lama aku menangisi jenazah kawanku tapi tetap saja aku tidak mati-mati.
Matahari telah sepenggalan naik, kabut mulai pudar dicerai terik.
Selamat tinggal kawan!. Aku tidak ingin mati disini!, aku hanya ingin mati di Mount Everest dalam pendakianku nanti.
*****