Mohon tunggu...
Kutu Kata
Kutu Kata Mohon Tunggu... -

No comment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Pulang

27 Agustus 2012   15:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ingin pulang, kawan.

Pulang ke kesejatian.

Pulang dan tak ingin kembali lagi.

Mati maksudmu?. Tanya kawan padaku.

Memangnya setelah mati, selesai sudah semua urusanmu?. Tanya kawan itu lagi padaku.

Tak semudah itu, sobat. Setelah kita mati pun, urusan kita baru saja dimulai. Satu persatu benang kusut itu akan di urai.

Tangan dan kakimu akan bicara tentang hidupmu dulu di dunia fana. Kawanku menjelaskan tentang kehidupan setelah kematian.

Ah, kadang aku buang jauh-jauh pikiran seperti itu. Aku cuma berharap setelah aku mati, selesai sudah semua urusan.

Tubuhku akan dimakan cacing, ulat dan bakteri pengurai lainnya hingga lebur jadi tanah. Dari tanah kembali lagi ke tanah, bukankah itu akan lebih baik?.

Tak perlu kau cari karena kematian pasti akan datang. Entah dimana dan kapan?, itu yang kita tidak pernah tahu.

Apakah kita bisa memilih kapan, dimana dan dengan cara apa kita akan mati?. Kalau saja bisa, setiap orang pasti akan memilih yang sesuai dengan harapannya.

Begitu kawanku menjelaskan tentang kematian padaku.

Perasaan ingin pulang ku tak pernah surut atau hilang. Rasa nya aku ingin mati dari kehidupan di dunia. Kalau pun dihidupkan kembali di alam lain, aku akan memilih kehidupanku yang lebih baik dari di dunia ini. Tentu saja ini sebuah keinginan yang tak berlebihankan?.

Memangnya kita punya hak untuk memilih sobat?. Tanya kawanku lagi.

Kenapa waktu di dalam rahim ibumu dulu kamu tidak memilih kehidupan yang baik?. Tanya kawanku mengejek.

Aku cuma diam. Tak bisa menjawab pertanyaan kawanku.

Jadi kita cuma harus menjalaninya saja, kawan?. Tanyaku penasaran. Menjalani saja apa yang t'lah digariskan untuk kita?.

Kini kawanku yang terdiam. Beberapa saat, dia hanya bisa menarik napas lalu membuangnya kesal.

Ah, terserah kau sajalah sobat!. Kau mau mati atau tidak, itu urusanmu!. Bukankah kalau kau mati pun tak akan ada orang yang merindui kamu?. Kata kawanku kesal.

Hahaha, mungkin cuma kamu saja yang tidak menginginkan aku mati. Bukankah begitu, kawan?. Tanyaku padanya.

Jangan Ge Er, sobat!. Lihatlah siapa yang akan menangisi kematian kita nanti!. Kata kawanku menantang.

Ok!, tentu saja harus ada yang mati lebih dulu diantara kita. Dan yang masih hidup akan menjadi saksi, siapa kelak yang akan menangisi kematian kita masing-masing.

Hahaha, apakah kau akan menangisi kematianku, sobat?. Hahaha, aku tak perlu sedu sedanmu itu!. Ejek kawanku.

Aku juga!. Tak perlu isak tangismu yang meraung-raung di batu nisanku, kawan!. Biar tak seorangpun yang akan menangisi!. Walau langit menurunkan rintik hujannya pun, aku tak akan rela!. Biarkan aku sendiri dalam kematianku!. Hahahaha!.

Ha!, begitu getir keinginanmu sobat!.  Biar aku sajalah yang mati lebih dulu, agar kau sempat menangisi aku, hahaha. Dan aku akan merasa tersanjung ditangisimu, sobat!. Kata kawanku mulai merajuk.

Hei!, lancang sekali kau kawan!. Dari awal aku bicara, aku yang lebih dulu ingin pulang. Bukankah kau masih mencintai dunia ini sobat!. Kau masih betahkan di dunia ini?.

Biar aku saja yang lebih dulu mati. Dan aku tak minta setetes pun air mata darimu, kawan. Karena aku tak butuh itu!. Lepaskan kepergianku seperti kau melepaskan angin...

Kentut, maksudmu?. Hahaha, baiklah kalau memang itu sudah mau mu. Aku akan mengentuti kepergianmu kelak, Ok?.

Hahaha, bukan itu maksudku kawan. Tapi tak apalah!. Apakah ada bedanya tangisan dan kentut mu itu?. Hahaha, sama-sama tak berguna, kawan!. Cuma basa-basi pengantar upacara kematian saja, agar terlihat lebih tragis tentunya, bukan begitu kawan?.

Hahaha, apakah kita ini sudah gila, sobat?. Berrebut tentang kematian. Bukankah kematian itu rahasia Tuhan?.

*****

Tak perlu sedu sedan itu,

Aku ini binatang jalang,

Dari kumpulan yang terbuang ...

Syair karya Chairil Anwar itu agar di pahat di batu nisanku kelak jika aku telah tiada. Begitu pesanku pada kawanku. Begitu kami tinggal dua orang yang tersisa yang masih hidup kala kami tersesat di Gunung Lawu.

Dari lima orang yang tersesat, aku dan kawanku memilih jalur menyusuri sungai menuju ke desa terdekat. Sementara tiga orang kawan kami lainnya, mencoba menyusuri hutan mencari jejak-jejak yang pernah kita lalui.

Sudah seminggu lebih kami tersesat dan hanya berputar-putar diantara lembah dan jurang di Gunung Lawu. Kelaparan dan keletihan yang amat sangat, membuat kematian seperti sebuah lelucon dimata kami.

Disebuah pagi yang masih dipenuhi kabut, sebujur tubuh kawanku kaku membiru akibat dingin yang menusuk tulang kami semalam. Aku mencoba membangunkan nya. Dia tetap kaku tak bergerak. Matanya melotot, mulutnya ternganga tapi tak ada jejak desah yang keluar dari mulutnya. Aku pun terdiam, jatuh tersungkur ke tanah.

Tuhan, kenapa tidak aku saja mati?. Bukankah aku yang selalu minta ingin pulang...

Tanpa terasa hangat menetes di pipiku. Aih, akhirnya aku menangisi mu kawan. Apakah kau masih perlu sedu sedanku itu, kawan?.

Aku akan menemanimu kawan!. Mati dalam pendakian adalah cara mati terhormat bagi pendaki gunung seperti kita. Aku ingin mati di Mount Everest, begitu cita-citaku dulu. Ah, itu cuma darah mudaku saja. Melihat kau terbujur kaku saja aku sudah menangis tersedu-sedu. Sudah berapa lama aku menangisi jenazah kawanku tapi tetap saja aku tidak mati-mati.

Matahari telah sepenggalan naik, kabut mulai pudar dicerai terik.

Selamat tinggal kawan!. Aku tidak ingin mati disini!, aku hanya ingin mati di Mount Everest dalam pendakianku nanti.

*****

Setelah setengah hari aku terseok dan tertatih-tatih menyusuri jalan curam, aku pun ditemukan oleh beberapa orang tim SAR. Teriak-teriakan mereka yang riuh tertelan deru angin. Saat mataku manangkap fatamorgana itu, tiba-tiba saja semangatku seperti dibakar kembali. Aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka.

“Woooooiii... !.”

Diantara mereka ada yang menangkap isyaratku. Mereka pun akhirnya bergegas memburuku. Seketika itu juga aku pingsan. Dan tak tahu apa-apa lagi.

Tuhan aku yang selalu ingin pulang. Hanya bisa menangisi kepergian empat orang temanku lainnya saat mereka dikebumikan. Ya, diantara kami berlima yang tersesat cuma aku yang selamat. Apakah aku harus berterima kasih pada-Mu, Tuhan?.

Ah, entahlah?. Dari puncak gunung ke puncak gunung lainnya aku mencari-Mu, Tuhan. Kini aku dan timku menyusuri jalan setapak ke puncak Gunung Kerinci. Akankah kita saling bertegur sapa lagi, Tuhan?.

*****

Kutu Kata, Aku Ingin Pulang, 27022012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun