Mohon tunggu...
Kusuma Maharani
Kusuma Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

hobi saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosiologi Hukum Islam

1 Oktober 2024   04:19 Diperbarui: 1 Oktober 2024   04:19 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembangunan nasional dalam dua puluh tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok, antara lain terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia yang ditandai oleh terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Undang-Undang Republik Indonesia 2007, No. 7)

Dalam lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, disebutkan bahwa landasan idiil RPJP Nasional adalah Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan operasionalnya meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan pembangunan nasional, yaitu antara lain Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.

Problem utama masyarakat yang menggunakan agama sebagai sistem acuan nilai yang relatif dominan seperti ditemukan di Indonesia, terletak pada kemampuan masyarakat tersebut menemukan mekanisme sosial tertentu, baik secara alamiah maupun terencana yang dapat menjamin tertib hukum dan sosial. Salah satu bentuk mekanisme sosial yang dapat diusahakan secara terencana adalah mengembangkan perangkat peraturan yang berfungsi mencegah kemungkinan timbulnya penggunaan agama sebagai sistem acuan hingga ke tingkat konflik. Dalam konteks inilah, hukum kerukunan umat beragama menjadi urgen.

Di Sulawesi Selatan, tepatnya di pinggiran Danau Mawang, Kampung Butta Ejayya, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, terdapat sebuah komunitas Islam yang dewasa ini mencuat ke ruang publik. Bercirikan penampilan yang serba hitam, berambut pirang sebahu, dan serban hitam yang berpadukan putih, serta cadar bagi sebagian kaum ibu. Itulah An-Nadzir. Kemunculan komunitas ini sempat menuai kontroversi. Ia dianggap sebagai Islam tradisional kolot. Paham mereka yang paling mengejutkan adalah penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal yang kerap berbeda dari pemerintah (Situju, 2011: 1).

Munculnya banyak aliran (pemahaman) baru dalam agama Islam, sering kali disikapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa "sesat" yang menuai polemik. Sebagian umat terkadang merespon fatwa yang demikian itu dengan tindak kekerasan dan memperburuk citra Islam, karena suatu kelompok dominan (mainstream) merasa bahwa pemaksaan keyakinan terhadap orang atau pun kelompok lain adalah hak sebagaimana terajar, meniadakan yang munkar (baca: sesat) adalah makruf. Inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu munculnya kekerasan komunal.

Realitas Sosial An-Nadzir Sebagai Suatu Komunitas

Komunitas An-Nadzir mulai menata diri sebagai organisasi keagamaan pada tanggal 8 Februari 2003 di Jakarta dalam bentuk yayasan yang diberi nama Yayasan An-Nadzir. Komunitas An-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah di Indonesia; Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi Selatan, perkembangan awal An-Nadzir dimulai di tanah Luwu. Terutama ketika Syamsuri Madjid masih aktif melakukan dakwah keagamaan di Luwu. Namun, ketika kegiatan dakwah Syamsuri Madjid mulai jarang dilakukan dan setelah Syamsuri meninggal dunia pada tahun 2006, komunitas An- Nadzir di Luwu mengalami stagnasi.

Bagi An-Nadzir, semangat martir seperti di atas merupakan suatu modal. Suatu kekuatan untuk eksis. Dengan latar belakang semangat itulah kemudian diadakan silaturahmi nasional An-Nadzir pertama pada awal tahun 2006 di danau Mawang. Dalam acara tersebut Lukman menunjukkan bahwa :

Komunitas ini meyakini bahwa segala hal yang mereka peroleh saat ini adalah buah dari kedekatan kepada Sang Khalik: bantuan lahan dari pemerintah, bibit ikan, listrik, dan segala peralatan pertanian modern. Lukman menjelaskan: "Kami percaya bahwa dengan bertakwa kepada Allah, kita akan dimudahkan hidup di dunia. Terbukti sekarang, di sini masyarakat hidup sejahtera. Lahan pertanian subur, ikan-ikan bisa dipanen dengan hasil yang melimpah".

Meski jauh dari kehidupan kota, mereka tetap membuka diri terhadap akses informasi. Mereka juga tetap mengikuti perkembangan dunia luar lewat tayangan televisi, berbeda dengan misalnya komunitas Yearning for Zion di Texas, Amerika Serikat atau Commune Friedrichshof di Austria, yang sama sekali menutup akses seperti itu.

Ektremitas atau keekstreman adalah hal (tindakan, perbuatan) yang sangat keras dan sebagainya. Hal ini perlu diamati karena, sebagaimana kelompok identitas lainnya, cenderung memiliki tingkat ektremitas tertentu. Komunitas An-Nadzir sesungguhnya cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang komunitas ini. Namun demikian, dalam hal-hal yang dapat menyinggung perasaan mereka, boleh jadi ektremitas mereka timbul. "Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An-Nadzir. Banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An-Nadzir" ungkap Arifin Idris Daeng Ngiri, warga di sekitar permukiman An-Nadzir (Arowelitenggara.co.id., 20 Agustus 2009).

An-Nadzir tidak memastikan diri bahwa yang dimaksud oleh janji Allah tersebut adalah mereka, namun demikian, mereka mencoba mengapresiasi dan mengasosiasi diri mereka untuk berada pada posisi seperti yang digambarkan dalam janji Rasul itu. Bagi mereka, berada pada posisi sebagaimana yang dijanjikan tersebut adalah suatu kemuliaan dan hanya orang bodohlah yang tidak menghendaki kemuliaan tersebut.

  • Eksistensi Kelompok dalam Perspektif Sosiologi Hukum Islam
  • Cinta terhadap (Identitas) Kelompok

  • Dalam rangkaian teori identitas ini, tidak dapat diabaikan teori aabiyah dari Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M). Menurutnya, pelaku utama dalam masyarakat adalah aabiyah. Menurut Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M), manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan, serta harga diri kelompok, kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu dalam menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok (Khaldun, 2000:12-56)

  • Cinta sebagai sebuah konsep masuk dalam perbincangan filsafat melalui agama, khususnya ketika asal mula dunia dilukiskan sebagai suatu tindakan penciptaan atau pencipta yang diakui sebagai yang mencintai ciptaan-Nya, baik secara keseluruhan atau sebagian (misalnya, bangsa manusia). Namun demikian, konsep cinta juga merupakan sebuah subjek meditasi filosofis yang berkaitan dengan masalah-masalah etis. Cinta sebagai salah satu dorongan manusia yang paling kuat, awalnya lebih dilihat sebagai kebutuhan akan kontrol, teristimewa ketika manusia sebagai rational animal mampu menggunakan kemampuan rasionalnya (Rosyadi, 2000:38-39).

  • Aabiyah sebagai Poros

  • Konsep aabiyah merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M). Melalui konsep ini Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M) mencoba menjelaskan berbagai fenomena sosial yang terjadi dalam nasyarakat yang menyangkut berbagai bidang kehidupan, seperti: politik, ekonomi, dan agama. Para ilmuan yang telah mengkaji pemikiran Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M) selalu menjadikan konsep aabiyah ini sebagai salah satu pembahasan penting. Secara etimologi, aabiyah dapat diartikan sebagai kedekatan hubungan seseorang dengan golongan atau kelompoknya dan berusaha sekuat tenaga untuk memegang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut.

  • Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk menghindari penggunaan terminologi tertentu sebagai padanan dari aabiyah. Hal ini dimaksudkan untuk tidak terlibat masuk dalam perdebatan di atas dan menjadikan aabiyah sebagai terminologi yang lebih familiar dalam perdebatan ilmu-ilmu sosial.
  • Menurut Abdu al-Raziq al-Makhi, aabiyah dilihat dari polanya terbagi ke dalam lima bentuk.


Aabiyah kekerabatan dan keturunan adalah aabiyah yang paling kuat

Aabiyah persekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang lain.

Aabiyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat kondisi- kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian ini, aabiyah timbul dari persahabatan dan pergaulan yang tumbuh dari ketergantungan seseorang pada garis keturunan yang baru.

Aabiyah penggabungan, yaitu aabiyah yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung pada keluarga dan kaum yang lain.

Aabiyah perbudakan yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan tuan-tuan mereka (al-Khudairi 1979:145- 146)

Dari lima bentuk aabiyah yang dibedakan oleh Abdu al-Raziq al- Makhi hanya satu yang tidak didasarkan atas keturunan atau keluarga, yaitu bentuk aabiyah kelima. Bila memang demikian aabiyah yang dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M), maka bagaimana dengan solidaritas yang terdapat antarsesama pegawai dalam suatu instansi tertentu dan ketidakrelaan mereka bila instansi atau korpsnya dilecehkan? Sebuah realitas yang tentunya juga dialami dan diamati oleh Ibnu Khaldun (732 H-808 H/1332 M-1406 M).

Kelompok Sempalan dalam Nomenklatur Sosiologi Hukum Islam

Serangkaian aliran dan kelompok ini kelihatannya sangat beranekaragam.

Definisi Kelompok Sempalan

Berbicara tentang "kelompok sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena kelompok sempalan adalah kelompok yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", pertama-tama harus didefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dari sudut pandang orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, ahl al-sunnah wa al- jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat.

Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili ahl al-sunnah wa al-jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus. Sebagai fenomena sosial tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan misalnya Al Irsyad pada masa berdirinya. Perlu dicatat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlusunnah sebagai paham dominan baru kira-kira lima abad belakangan. Seperti diketahui, Syi'ah Itsna'asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai abad ke-10 hijriyah (abad ke-16 masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut madzhab Syafi'i. Paham ini baru menjadi dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamirkan Syi'ah sebagai agama resmi negara dan mendatangkan ulama Syi'i dari Irak Selatan.

Contoh lain, Darul Islam dan kelompok Usroh. Keduanya dapat dianggap kelompok sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun tidak pernah terdengar kritik mendasar terhadap akidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal mereka.

Klasifikasi Kelompok Sempalan

Untuk menganalisa fenomena kelompok sempalan secara lebih jernih, mungkin ada baiknya kalau merujuk kepada kajian sosiologi yang sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia. Hanya saja, karena sosiologi adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya.

Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai peranan sekte- sekte Protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di Eropa dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai munculnya kelompok sempalan di Eropa pada abad pertengahan  (Troeltsch 1979:41-78).

Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah umat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi-organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan.

Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte-sekte tidak selalu menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai kelompok sempalan dari denominasi lain.

Kelompok Sempalan Islam di Indonesia dan Tipologi Sekte

Wilson -dalam tipologi sekte yang dikemukakan di atas- menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas dari pada spektrum kelompok sempalan Indonesia. Meskipun demikian, beberapa kelompok di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar. Terdapat berbagai kelompok di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain. Tiga kelompok ini memainkan peranan sangat berlainan di Indonesia dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda. Kelompok Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai kelompok protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran.

Kepedulian sosial (perhatian terhadap musta'afn) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan. Dengan kata lain, kelompok Syi'ah Indonesia sudah bukan kelompok sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Kelompok ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara semua kelompok sempalan masa kini, hanya kelompok Syi'ah yang agaknya mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping kelompok pemurni dan pembaru yang Sunni.

Latar Sosial Kelompok Sempalan

Fenomena yang paling menonjol pada masa itu, banyak aliran agama menunjukkan aktivitas politik dan sosial. Namun setelah pemberontakan- pemberontakan 1926 diberantas dan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih represif (dan setelah pemimpin-pemimpin nasionalis dibuang), munculah aliran-aliran agama baru yang introversionis, yaitu yang berpaling dari aktivitas sosial dan politik kepada penghayatan agama secara individual dan yang bersifat mistis (sufistik). Dasawarsa 1930-an melihat lahirnya berbagai aliran kebatinan yang masih ada sampai sekarang, seperti Pangestu dan Sumarah, dan juga masuk dan berkembangnya dua tarekat baru, yaitu Tijaniyah dan Idrisiyah (Kartodirdjo, 1966).

Setelah penumpasan PKI, neo-tarekat iddiqiyah dan Wahidiyah, serta tarekat lama Syattariyah di Jawa Timur mengalami pertumbuhan pesat dengan masuknya tidak sedikit orang dari kalangan abangan. Mereka ketika itu ingin, dengan alasan yang dapat dimengerti, membuktikan identitasnya sebagai muslim dan sikap nonpolitik mereka. Pada dekade terakhir ini dapat disaksikan bahwa tarekat dan aliran mistik lainnya berkembang dengan pesat dalam semua kalangan masyarakat -- suatu fenomena yang agaknya berkaitan erat dengan depolitisasi Islam (Abdurrahman, 1978:23-40)

Radikalitas Kelompok Sempalan

Gejala menonjol dalam beberapa kelompok sempalan yang radikal adalah latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama banyak anggotanya yang relatif rendah, tetapi diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka sangat idealis dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat. Mereka adalah orang yang sadar akan kemiskinan dan korupsi, ketidakadilan, dan maksiat di masyarakat sekitarnya; dalam kehidupan pribadi, banyak dari mereka telah menghadapi kesulitan untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang baik dan mengalami banyak frustrasi lainnya.

Karena adanya jurang komunikasi antara tokoh-tokoh agama dan kalangan muda yang frustrasi tetapi idealis ini, tokoh-tokoh tadi tidak mampu menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka ke dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Pemuda-pemuda radikal di pihak lain justru karena masih dangkalnya pengetahuan agama mereka, menganggap bahwa seharusnya Islam mempunyai jawaban yang sederhana, jelas, dan konkret atas semua permasalahan  inilah watak khas setiap sekte.

Kelompok sempalan radikal mendorong ortodoksi untuk setiap saat memikirkan kembali relevansi ajaran agama dalam masyarakat kontemporer dan untuk mencari jawaban atas masalah dan tantangan baru yang terus-menerus bermunculan. Bahaya baru muncul kalau komunikasi antara ortodoksi dan kelompok sempalan terputus dan kalau mereka diasingkan. Karena kurangnya pengalaman hidup dan pengetahuan agama, mereka dengan sangat mudah bisa saja dimanipulir dan/atau diarahkan kepada kegiatan yang tidak sesuai dengan kepentingan umat.

Fungsi Sosial Kelompok Sempalan

Aliran agama dalam situasi ini, sering bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat berfungsi sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya, sehingga mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama anggota diperkuat lagi, kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia sekitarnya. Inilah agaknya daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) atau gnostic (yang mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam dan menerapkan sistem baiat)

Beberapa kelompok agama di kampus dapat dilihat sebagai gejala konflik budaya ("Islam yang konsisten" melawan "sekularisme yang bebas nilai") yang tidak lepas dari perbedaan status sosial-ekonomis. Tidaklah mengherankan kalau di kalangan pemuda/mahasiswa pernah muncul kelompok sempalan yang bersifat messianis-revolusioner yang ingin merombak tatanan masyarakat dan/atau negara (seperti kasus Jama'ah Imran).

Paham dan praktik keagamaan komunitas An-Nadzir

Hukum Islam sebagai Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial

Menurut teori struktural fungsional, masyarakat merupakan suatu organisme yang harus ditelaah dengan konsep-konsep biologis tentang struktur dan fungsi. Fungsionalisme yang berakar pada awal abad ke-19 masehi masih merupakan perspektif konseptual tertua dalam sosiologi yang hingga kini masih dominan dan memengaruhi ilmu sosial lainnya, termasuk antropologi. organisme August Comte, Spencer, dan Emile Durkheim memengaruhi para fungsionalis antropologi pertama, seperti Malinowski dan Radclife Brown yang kemudian membantu perspektif fungsional. Meskipun Durkheim memandang arti penting agama sebagai faktor conscience collective, sebenarnya ia sangat sekuler sebab pernah berkata bahwa semakin modern suatu masyarakat, maka semakin berfungsilah solidaritas yang organik. Hukum yang bersumber dari agama atau norma sosial telah kehilangan relevansinya karena telah digantikan oleh moralitas ilmiah (Saebani, 2007: 47)

Pemahaman di atas memberikan wacana tentang berbagai fungsi agama dalam membentuk sikap hidup dan budaya masyarakat. Keyakinan atas agama adalah kebudayaan terbesar dalam sejarah hidup manusia Yang tidak terbantahkan lagi, agama tidak dapat keluar begitu saja dari jiwa manusia. Simbol-simbol dalam beragama yang dijadikan alat komunikasi dengan Tuhan merupakan kebudayaan yang paling pertama lahir pada manusia. Perkembangan sistem keyakinan dalam beragama pun merupakan salah satu ciri bahwa kebudayaan berubah menuju cara hidup dan cara berpikir manusia yang lebih modern, bahkan termasuk meyakini Tuhan dalam beragama. Bangsa yang menyatakan tidak bertuhan pun dapat dikatakan bahwa keyakinan tidak ada tuhan adalah tuhannya karena tuhan dalam agama-agama tidak bergantung pada ada atau tidaknya keyakinan manusia.

Paham dan Praktik Keagamaan

Salat

Menurut An-Nadzir, benar-tidaknya waktu salat ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah "Sesungguhnya waktu-waktu salat sudah ada ketetapannya yang tercantum dalam al- Qur'an." Bagi An-Nadzir, karena waktu salat itu merupakan ketetapan Allah, dengan demikian, waktu tersebut wajib diikuti  dan tidak boleh diubah-ubah (Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya 2011: 95). Patokan waktu salat bagi komunitas ini adalah bayangan matahari.

Mengenai hal ini, Lukman Bakti menjelaskan: "Hadis Jibril menjelaskan tentang bayangan-bayangan matahari, sebagai rujukan waktu shalat. Ini bisa dibuka pada Nayl al-Au r... dan berbagai kitab rujukan dari berbagai ulama. Bisa dibuka di situ. Hanya saya heran kenapa para ulama tidak memfatwakan itu, tidak menjadikan itu rujukan. Padahal, jelas dan nyata. Tidak samar. Perintah itu tentang bayangan matahari. Dikatakan, awal zuhur, ketika satu bayangan benda yang ada. Artinya, ketika benda yang kita tancapkan di ruangan bebas pada saat matahari condong ke barat, sehingga bayangan ke timur, pada saat bayangan ke timur yang diukur.

An-Nadzir mengibaratkan gerakan salat berkomunitas dengan gerakan jari-jari tangan. Ketika jari-jari ditegakkan, semua serempak lurus. Kemudian dirapatkan. Jika satu bergerak maka semuanya ikut. Semua gerakan salat dilakukan serempak. Tidak ada yang terlambat.

An-Nadzir sangat menyesalkan salat berkomunitas di berbagai tempat yang tidak kompak: ada yang rukuk, masih ada yang berdiri. Sementara sebagian masih berdiri, sudah ada yang sujud. Menurut An-Nadzir, salat seperti itu tidak benar dalam berkomunitas karena satu orang saja yang melaksanakan salat berkomunitas mufarraqah atau berbeda dengan yang lainnya, baik gerakannya maupun caranya, menyebabkan pahala komunitas tidak diterima di sisi Allah. Tegasnya, cara berkomunitas yang demikian itu adalah sia-sia.

Dalam hal salat Jumat, komunitas ini membantah tuduhan bahwa mereka melaksanakan salat dulu sebelum khutbah. Menurut An-Nadzir, dalam salat Jumat, jika khatib lain, imam lain, berarti hal yang demikian sudah merusak tatanan waktu salat Jumat. Salat Jumat tersebut tidak diterima. Padahal, seseorang yang salat Jumatnya tidak diterima sebanyak tiga kali berturut-turut dicap sebagai orang kafir. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa salat Jumat yang dilaksanakan dengan khatib dan imam yang berbeda adalah batal dan dipandang tidak melaksanakan salat Jumat, meskipun orang tersebut tiap hari ke masjid.

Jadi, dalam mendirikan salat jumat, komunitas An-Nadzir memulainya dengan khutbah sebelum salat. Khutbah, bukan ceramah. Khatib tampil hanya memuji Allah, salawat kepada Nabi, setelah itu membacakan ayat. Setelah baca ayat, braka Allahu l, berkah dari Allah bagi khatib dan bagi komunitas dari ayat yang telah dibacakan. Setelah itu duduk, lalu berdiri lagi untuk khutbah kedua. Jadi di sana tidak ada interpretasi, tidak ada uraian-uraian. Semata-mata hanya membacakan ayat karena khutbah bagian dari salat

Penetapan Ramadan dan Puasa

Untuk menetapkan datangnya Ramadan, An-Nadzir melihat titik perpisahan bulan pada air laut, tetapi hal ini tidak berdiri sendiri. Sang guru (Syamsuri Madjid) mengajarkan bahwa untuk menentukan awal bulan, seseorang terlebih dahulu harus mengetahui akhir bulan. Oleh karena jika seseorang mampu menentukan akhir bulan, maka awal bulan dapat ditentukan dengan benar walaupun ia tidak melihat bulan terbit. Hal yang paling mungkin dilihat secara sederhana dan kasat mata, tanpa alat bantu, adalah akhir bulan.

Menurut pengamatan An-Nadzir, lazimnya, ketika pemerintah menetapkan 1 Ramadan, bulan sudah berada pada posisi tiga puluh enam derajat. Bagi An-Nadzir, pada posisi demikian, berarti itu bukan lagi bulan pertama (tanggal satu). Hal ini didasarkan pada pemikiran, jika lingkaran bulan secara utuh tiga ratus enam puluh derajat, lalu dibagi tiga puluh malam, maka ketinggian bulan setiap malam ia terbit adalah nol sampai dua derajat.

Keyakinan terhadap Al-Mahdi

Pandangan terhadap Imam Mahdi yang akan datang di akhir zaman merupakan hal yang diperdebatkan di kalangan umat Islam. Teologi Syiah mengaitkan kepercayaan terhadap datangnya Imam Mahdi dengan masalah keimanan seseorang, tetapi sebaliknya, tidak demikian dengan teologi Sunni. Bagi An-Nadzir, yang dimaksud dengan Imam Mahdi adalah Syamsuri Abdul Majid, yang merupakan pendiri An-Nadzir. Pandangan inilah yang tampak ganjil dan secara akademis sulit dipertanggung- jawabkan.

Kedudukan Komunitas An-Nadzir Dalam Hukum Islam dan Ruang Sosial Negara Republik Indonesia

Perspektif Hukum Islam

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kehidupan adalah sebuah proses penciptaan yang progresif. Oleh karena itu, merupakan satu keharusan bagi setiap generasi untuk memecahkan problemnya sendiri tanpa dicekoki oleh proses dan teknis para pendahulunya. Problem yang dihadapi oleh setiap generasi itu tidak selalu sama. Demikian pula situasi dan kondisinya juga berbeda (Schacht, 1964: 110-111).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas An-Nadzir menggunakan syahadat yang tidak berbeda dengan syahadat komunitas. umat Islam pada umumnya. Mereka mengakui bahwa hanya Allah sendiri yang berhak untuk disembah dan berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain-Nya.

Kerangka dasar yang berpatokan pada hadis yang diriwayatkan Muslim dari Umar r.a. yang menceritakan ketika Nabi Muhammad saw. didatangi oleh malaikat Jibril dan bertanya mengenai Islam (dalam pengertiannya yang khusus) iman dan ihsan. Islam, menurut Nabi, adalah melakukan syahadatain, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa.

Perspektif Hukum Nasional

             Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan- ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara.

             Penafsiran tentang dasar hukum komunitas-komunitas keagamaan tersebut disesuaikan dengan frasa "terhadap cara pandang tentang komunitas keagamaan atau kepercayaannya itu", sebagai kepercayaan di luar mainstream (NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain sebagainya) atau legalitas formal berbagai komunitas keagamaan di Indonesia telah menjadi warisan budaya spiritual bersifat kebatinan, kerohanian bagi bangsa Indonesia

             Dengan demikian, eksistensi komunitas-komunitas keagamaan, seperti An-Nadzir dijamin dan dilindungi oleh hukum nasional. Sejumlah ketentuan hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan yuridis eksistensi kelompok-kelompok keagamaan tersebut, antara lain ssebagai berikut.

  • Pembukaaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke 4 ".... dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E, 28I, 28J, dan 29
  • Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pokok pikiran IV: "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab".
  • Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  • Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pada pasal 18 kovenan mengatur tentang kebebasan beragama, dan bahwa kebebasan tersebut dibatasi dengan Undang-Undang.
  • Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang isinya setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
  • KUHP, Pasal 156a dan Pasal 175. Pasal 156a yang menyatakan, "Dipidana dengan hukuman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun
  • Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
  • Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, tentang GBHN
  • Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun