Laki-laki itu termenung di bawah jendela, pandangannya menengadah ke langit. Menyaksikan semburat bintang serta bulan yang menggantung indah. Dia adalah suamiku. Aku sudah siap di atas tempat tidur. Wangi-wangian kusemprot pada pakaianku serta bersolek sedemikian menawan. Bukan suamiku tidak terpikat pada istrinya ini. Terlebih dahulu ia mengurusi ide-idenya dituangkan dalam sajak. Suamiku adalah seorang penyair.
Sedikit-sedikit ia akan memandangiku yang bersandar di kepala ranjang. Jariku sibuk memiling rambut panjangku. Kami saling bertatapan memang. Aku mengerti jika dia sedang menggubah sajaknya, tidak layak kupecahkan konsentrasinya dengan katakata. Setelah memandangku, dia akan menengadah keluar jendela. Berulang-ulang dia melakukan itu.
Seolah-olah pada wajahku ini ada idenya yang perlu ia angkat ditumpahkan pada secarik kertas. Begitu juga dengan suasana yang ada di luar. Bukan untuk kali pertama aku menunggu seperti ini, seringkali malahan. Aku tidak keberatan, toh bersedia dipersunting olehnya harus siap menerima dunianya. Sehingga tidak kujadikan persoalan tentang itu. Aku tidak ingin mencederai diriku sendiri di matanya. Terlanjur dia menyanjungku; istri yang paling pengertian di dunia.
Kalau urusan dengan ide-idenya itu usai. Dia akan menghampiriku di atas ranjang ini. Membelai rambutku, membisik kata-kata romantis ke telingaku. Pusinya adalah mantra sebelum kami memasuki babak foreplay.
Aku tidak pernah bermasalah dengan hakhakku sebagai istri yang ia berikan. Tidak diragukan lagi kepiawaiannya untuk membuatku kesengsem. Tentang orgasme yang diimpikan oleh seorang istri dari suaminya, bukan masalah bagiku.
Ahh, pikiranku sekarang menjalar ke hal yang dapat mengganggu kesabaranku. Sedangkan dia masih asyik mencumbui ideidenya. Kulirik jam yang bertengger di dinding, sudah hampir sejam ia termenung di posisinya. Tidak ada kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Terakhir kami saling bertegur ketika aku hendak mengurusi keperluan di kamar mandi. Sedangkan ia mengambil posisi di bawah jendela.
Saking fokusnya pada sajak yang ia garap, sama sekali tidak mau menoleh padaku saat kupasang lingerie membalut tubuhku. Begitupun saat aku bersolek di depan cermin. Barulah ketika aku mengambil posisi di atas ranjang ini, ia memandangku berkali-kali. Sialan, kelamaan menunggunya aku terserang kantuk. Berapa lama lagi ia menyudahi pekerjaannya itu?
/2/
Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Kurasakan ada roh lain yang menyelinap ke dalam tubuhku. Aku menyebutnya roh jahat. Kian hari ia mengambil peran penting kesadaranku. Kemarin aku masih bisa mencintai istriku dengan sepenuh hati. Lama-lama perasaan muak hadir hingga sekarang porsinya sudah sangat keterlaluan.
Lihatlah! di atas ranjang sana, dia sudah menungguku untuk kujamah tubuhnya.Â
Bersolek dengan sebaik-baiknya. Sungguh aku tidak memiliki ketertarikan dengan dirinya lagi. Segala perasaanku yang semula mengakar kuat, kini mati. Bahkan aku tidak merasakan apa-apa lagi pada persetubuhan terakhir kami. Aku ingin berhenti dalam segala kepura-puraan. Makanya kuputuskan untuk tidak melayaninya malam ini.
Puisi yang kugarap belakangan, semua tentang kebencianku padanya. Melampiaskan keanehanku ini lewat puisi aku merasa sedikit lebih baik. Aku tidak ingin terus bertahan dalam situasi seperti ini. Roh jahat dalam tubuhku kian hari kian menunjukkan segala kemungkarannya. Berlama-lama hidup dengannya di rumah ini, bisa saja tanganku membunuhnya.
Namun aku berfikir keras untuk meninggalkannya. Pernikahan kami bukanlah perkara yang mudah. Bahtera rumah tangga kami baru berlayar beberapa purnama. Aku masih punya rasa malu pada orang lain. Terutama pada diriku sendiri. Kupisahkan dia dari orang tuanya karena aku percaya, dia bisa hidup bahagia bersamaku. Itu yang ingin kubuktikan pada mereka. Sekalipun orang-orang menggap itu hanya lelucon. Standar kebahagian yang mereka tahu hanyalah uang semata. Makanya mereka tidak malu-malu memvonis aku akan gagal membuat istriku bahagia.
Aku hanya seorang penyair kere. Menggantungkan hidupku pada pemuatan tulisanku di berbagai media serta royalti penjualan buku. Saat-saat tertentu jika mendapat undangan menghadiri workshop menulis, maka aku mendapatkan tunjangan yang tidak seberapa jika dibandingkan penghasilan istriku.
Syukur, karena istriku bukan tipikal perempuan mata duitan. Dia adalah istri paling pengertian di dunia, selalu kutekankan itu padanya. Dia tidak pernah permasalahkan penghasilanku yang sangat minim dan tidak menentu.Â
"Aku memandang kebahagiaan bukan hanya sebatas materi. Cinta dan kasih sayang yang kau curahkan pada diriku itu yang lebih utama. Dan aku sudah sangat bahagia dengan itu," katanya ketika aku menyinggung soal ketidakmampuanku memberikan uang belanja yang banyak. "Bahkan gajiku sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebahagiaan kita, sayang," lanjutnya. Â Â Â
Selain karena pengertiannya yang membuatku berpikir seribu kali untuk meninggalkannya. Ada hal lain yang selalu menghantuiku, ialah pernikahan kami. Betapa pernikahan kami dibangun dengan susah payah. Benteng sana-sini menjadi penghalang.
/3/
Jauh sebelum sang suami memasuki kehidupan sang istri. Sang istri terlebih dahulu menjalin hubungan dengan salah seorang pria. Mereka menjadi sepasang kekasih sejak masih berkuliah. Namun harapan mereka ke pelaminan kandas, lantaran keluarga sang istri menjodohkannya dengan laki-laki lain.
Prosesi lamaran telah dilangsungkan. Sang istri telah resmi bertunangan dengannya. Walaupun begitu, sang istri juga tetap menjalani hubungan dengan kekasihnya. Tidak mudah bagi keduanya untuk merobohkan hubungan mereka yang terlanjur merekat kuat. Namun mereka harus menerima tidak ada kesetiaan yang absolut di muka bumi ini.
"Jangan sekali-kali berpikir aku yang meninggalkanmu. Kita tidak bisa menentang keadaan. Kau harus menerima dirimu sebagai tunangan laki-laki lain. Kita sekarang sedang berada di persimpangan jalan. Dan jalan yang kita tempuh tidak sama lagi. Aku akan menjalani kehidupanku sendiri, begitupun denganmu. Berpisah adalah sebaik-baik solusi dari keadaan yang tidak diinginkan ini," jelas kekasihnya. Ia terseduh-seduh menangis. Sejak saat itu mereka berpisah.
Pernikahan sang istri dengan tunangannya menghitung bulan lagi. Perpisahan dengan kekasihnya sungguh membuatnya terpukul. Kehadiran sang tunangan dalam hari-harinya tak bisa menjadi penawar pilu.
"Aku ini adalah tunanganmu. Berhentilah untuk menolak takdir. Tuhan menjatahkan kau milikku begitupun sebaliknya."
"Yang menjodohkaan adalah Tuhan. Aku percaya bukan namamu yang dipasangkan dengan namaku."
"Entah sampai kapan kau enggan meyakini. Bukankah pernikahan kita tinggal menghitung purnama saja?"
"Andai besok tanggal pernikahan itu, aku masih belum bisa percaya. Bahkan setelah ijab kabul pun aku tidak mau percaya. Aku hanyalah satu dari sekian perempuan yang menjadi korban  betapa ambisiusnya orang tua, yang berlagak jadi Tuhan untuk anaknya."
"Apa maksudmu?"
"Aku kira sudah cukup jelas. Seorang anak terlahir ke dunia tidak selamanya harus patuh dan tunduk pada telunjuk orang tua yang sudah keterlaluan. Tuhan menyiapkan sendiri jalan untuk anak tempuh. Dan orang tua tidak selayaknya memaksakan anaknya melewati jalan yang mereka mau."
"Aku mengerti. Kuharap kau bisa menerima lapang dada kenyataan hidup yang terjadi padamu. Asal kau ketahui, aku menjanjikan kebahagian padamu setelah kita menikah nanti."
"Semua suami memang berupaya untuk membahagiakan istrinya."
"Ada suami yang menzalimi istrinya."
"Ya, karena ada roh jahat bersemayam dalam dirinya."
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi pada diriku."
Suasan lengang.
"Untuk sementara waktu aku perlu sendiri. Pikiranku benar-benar kacau. Kumohon jangan menampakkan diri dulu di hadapanku."
"Aku mengerti. Kuharap sekembaliku nanti kau bisa menerima kehadiranku. Memang aku harus tidak mengganggumu dulu."Â
Untuk kali pertama tunangannya meremas jarijarinya. Dia hanya diam saja. Namun tidak, saat tunangannya ingin menyentuh terlalu jauh. Sekalipun keduanya telah bertunangan. Dia tidak sudi keningnya dikecup oleh bibir laki-laki pilihan orang tuanya itu.
Niat sang tunangan mendapatinya dalam keadaan yang lebih baik hanyalah harapan semu belaka. Sang tunangan lesuh meratapi kenyataan yang terjadi pada dirinya. Bunga mekar yang siap dipetik, lenyap di pelupuk mata.
/4/
Aku tidak tahu, sampai kapan suamiku termenung di tempatnya mencumbui ideidenya. Sudah satu jam berlalu, belum nampak tanda-tanda menyudahi semuanya. Baru kali ini dia seperti itu. Malam-malam sebelumnya tidak pernah sampai satu jam. Istri yang baik tentunya akan selalu berpikir positif pada suaminya.
Suamiku seorang penyair, barangkali kali ini dia menggarap sajak yang lebih hebat atau lebih berbobot atau lebih panjang dari sebelumnya.
Aku tidak pernah menyangka bisa berjodoh dengannya.Â
Setelah pacarku mengetahui bahwa aku dijodohkan oleh keluargaku, dia memilih meninggalkanku. Saat itulah keadaan yang benar-benar rumit terjadi dalam hidupku. Aku ditinggalkan oleh orang terkasih dan kedatangan tunangan yang tidak kuterima kehadirannya.
Saat itu aku memilih untuk sendiri. Membuang segala penat yang kurasakan. Untuk sementara waktu aku meninggalkan kota tempat tinggalku datang ke kota ini.
Jalan hidup seseorang tidak bisa dipastikan. Tuhan, mempertemukan aku dengan seorang penyair di taman kota. Dia adalah suamiku. Puisi-puisinya yang dia bacakan pada pementasan itu membuatku tersihir. Entah mengapa saat turun dari panggung dia langsung berdiri di dekatku. Kami saling bertegur sapa untuk pertama kali. Aku kewalahan dengan kata-kata puitis yang dia tuturkan.
Rupanya ada kecocokan di antara kami. Pertemuan pada malam itu menjadi batu loncatan pertemuan kami selanjutnya. Selama satu minggu berada di kota ini, setiap hari dia menyempatkan diri untuk menemaniku. Mengunjungi tempat-tempat menarik.
"Aku akan datang ke rumahmu," begitu katanya satu hari sebelum aku pulang.
"Untuk apa?"
"Minta restu."
"Untuk apa?"
"Menikahimu."
"Aku sudah punya tunangan. Kau tahu itu kan?"
"Kan belum menikah. Lagi pula kau tidak menginginkan pertunangan itu kan?"
Aku menggeleng, "Mereka tidak akan mengindahkan permintaan restumu."
"Dicoba saja dulu."
"Kau sungguh nekat jika benar-benar datang ke rumahku."
"Akan kubuktikan itu," katanya memegang daguku untuk pertama kali.
Kusudahi ingatanku pada awal-awal pertemuan kami. Ia masih nyaman duduk di bawah jendela. Kelamaan menunggunya, rasa kantuk menyerangku sangat keterlaluan. Tidak bisa ditorerir lagi. Dengan terpaksa kuperbaiki posisiku, kupejamkan mataku, aku memunggunginya. Terlebih dahulu aku memecahkan konsentrasinya, terpaksa kulakukan itu. "Kalu semuanya sudah selesai, kuharap kau membangunkanku," teriakku padanya. Ia tidak membalas dengan kata-kata, hanya menyunggingkan senyum manisnya. Â
Aku pun terlelap. Namun tidak berselang lama aku merasakan ada sesuatu yang mencekik batang leherku.
/5/
Aku dan istriku tidak butuh waktu lama saling kenal kemudian melangsungkan pernikahan. Namun pernikahan kami rumitnya minta ampun. Keluarganya sangat menentang keras kenekatanku untuk mempersunting istriku. Alasan mereka sangat klise, lantaran aku hanyalah lakilaki yang tidak dianugerahi harta yang menumpuk. Menyambung hidup saja aku mengandalkan karyakaryaku yang jauh dari cukup. Mereka memandangku tidak akan bisa membahagiakannya.
Dan ada alasan lain sehingga mereka menentang keras. Istriku saat itu telah memiliki tunangan pilihan orang tuanya. Bahkan pernikahan keduanya tinggal menunggu waktu yang tepat. Aku terbilang lakilaki berani, sudah kutahu tentang itu dari penjelasan istriku.Â
Tapi bukan menjadi penghalang bagiku untuk bertamu ke rumahnya. Menyampaikan maksud baik untuk mempersuntingnya. Kehadiranku tentu dianggap lelucon oleh mereka. Bagaimana mungkin aku nekat menikahi seorang perempuan yang telah bertunangan dengan lakilaki lain. Kedatanganku yang pertama gagal total, aku ditolak mentahmentah.
Dua minggu setelah itu aku kembali lagi dengan maksud yang sama. Adegan alot dan dramatis terjadi. Betapa istriku kebelet bersamaku, dia sangat tidak menginginkan tunangannya itu menjadi suaminya.
"Seribu kali pun kau datang ke rumah kami. Tidak akan bisa mengubah keadaan. Apa kau sudah gila? Nekat meminang anakku padahal sebentar lagi dia ingin dipersunting tunangannya," kata mertua lakilaki, emosinya berapiapi.
Bergantian keluarga mereka mengatangataiku. Mulai dari pamannya, mertua perempuan, hingga abangabangnya. Bahkan salah satu abangnya sudah melayangkan pukulan keras ke wajahku. Mulutku berdarah. Saat itulah istriku tidak bisa tinggal diam. Suasana semakin menengangkan.
Aku tidak tahu istriku mendapat bisikan darimana untuk mengancam mereka. Dia mengambil pisau. Ia akan melakukan bunuh diri andai tidak merestui hubungan kami. Bercucuran air mata istriku memohon pada mereka untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan tunangannya itu.
"... apa artinya hidup jika jalan seorang anak selalu dihalanghalangi oleh orang tua. Tidak selamanya aku harus patuh dan tunduk pada telunjuk kalian. Aku berhak menentukan sendiri pendampingku kelak. Akulah yang menjalani sendiri kehidupanku, bagaimana mungkin kalian sampai hati memaksaku melakukan itu?"
Aku hanya menjadi penonton adu mulut antara mereka. Bergantian mereka memberikan penjelasan padanya. Namun mata pisau itu semakin mendekat ke perut istriku. Mereka tidak punya pilihan lagi. Selain menuruti keinginan anak perempuannya itu. Mereka tampaknya sadar, malu karena membatalkan rencana pernikahan lebih baik daripada nyawa seseorang melayang.
Kami pun melangsungkan pernikahan. Hanya akad nikah, tanpa resepsi. Setelah itu kami memilih tinggal di kota ini, menjauh dari kehidupan mereka. Kami ingin membuktikan bahwa kebahagian bisa kami raih tanpa sokongan materi dari mereka.
Kami menyewa rumah kontrakan ini. Tidak menunggu lama, istriku diterima bekerja di sebuah kantor perusahaan. Sedangkan aku kerap menerima undangan sebagai pembicara dalam suatu kegiatan yang berhubungan dengan menulis. Sejauh ini aku bisa membuatnya bahagia. Tapi berbeda denganku, sejak roh jahat itu hadir dalam diriku, aku mulai muak bersamanya.
Lihatlah! Aku tidak tertarik lagi untuk mencampurinya malam ini. Roh jahat itulah yang menutupi segala hasratku padanya. Kupandangi dia yang terbaring di atas ranjang, tampaknya sudah terlelap. Aku menyudahi segala kepurapuraanku menulis puisi selama lebih dari satu jam. Yang tertulis di atas kertas hanya beberapa baris saja.
Aku beranjak dari posisiku, mengambil pisau di dalam laci. Aku terdiam sejenak di samping istriku. Kupandangi wajahnya yang cantik. Ahh, aku berubah pikiran. Kusingkirkan pisau yang ada di tanganku. Kuletakkan di atas meja. Ada cara lain untuk membunuhnya, tidak harus menumpahkan darahnya.
Aku semakin mendekat dengannya. Kuarahakan kedua tanganku pada batang lehernya itu.
/6/
Ramai diberitakan pasangan suami istri yang mendiami kontrakan di perumahan X meninggal dunia. Hasil investigasi kepolisian menyatakan; sebelum sang istri bunuh diri dengan cara mencekik lehernya sendiri, dia terlebih dahulu membunuh suaminya.
Sebuah pisau yang tertancap di tubuh suaminya menjadi bukti kuat bahwa sang istrilah yang melakukan itu. Diduga motif sang istri sudah sangat klise dan umum dijumpai di negeri ini, lantaran permasalahan ekonomi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H