Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Roh Jahat dalam Diri Penyair

25 Maret 2019   11:14 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:59 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi penyair. (sumber: kintaka.co)

Aku hanya seorang penyair kere. Menggantungkan hidupku pada pemuatan tulisanku di berbagai media serta royalti penjualan buku. Saat-saat tertentu jika mendapat undangan menghadiri workshop menulis, maka aku mendapatkan tunjangan yang tidak seberapa jika dibandingkan penghasilan istriku.

Syukur, karena istriku bukan tipikal perempuan mata duitan. Dia adalah istri paling pengertian di dunia, selalu kutekankan itu padanya. Dia tidak pernah permasalahkan penghasilanku yang sangat minim dan tidak menentu. 

"Aku memandang kebahagiaan bukan hanya sebatas materi. Cinta dan kasih sayang yang kau curahkan pada diriku itu yang lebih utama. Dan aku sudah sangat bahagia dengan itu," katanya ketika aku menyinggung soal ketidakmampuanku memberikan uang belanja yang banyak. "Bahkan gajiku sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebahagiaan kita, sayang," lanjutnya.      

Selain karena pengertiannya yang membuatku berpikir seribu kali untuk meninggalkannya. Ada hal lain yang selalu menghantuiku, ialah pernikahan kami. Betapa pernikahan kami dibangun dengan susah payah. Benteng sana-sini menjadi penghalang.

/3/
Jauh sebelum sang suami memasuki kehidupan sang istri. Sang istri terlebih dahulu menjalin hubungan dengan salah seorang pria. Mereka menjadi sepasang kekasih sejak masih berkuliah. Namun harapan mereka ke pelaminan kandas, lantaran keluarga sang istri menjodohkannya dengan laki-laki lain.

Prosesi lamaran telah dilangsungkan. Sang istri telah resmi bertunangan dengannya. Walaupun begitu, sang istri juga tetap menjalani hubungan dengan kekasihnya. Tidak mudah bagi keduanya untuk merobohkan hubungan mereka yang terlanjur merekat kuat. Namun mereka harus menerima tidak ada kesetiaan yang absolut di muka bumi ini.

"Jangan sekali-kali berpikir aku yang meninggalkanmu. Kita tidak bisa menentang keadaan. Kau harus menerima dirimu sebagai tunangan laki-laki lain. Kita sekarang sedang berada di persimpangan jalan. Dan jalan yang kita tempuh tidak sama lagi. Aku akan menjalani kehidupanku sendiri, begitupun denganmu. Berpisah adalah sebaik-baik solusi dari keadaan yang tidak diinginkan ini," jelas kekasihnya. Ia terseduh-seduh menangis. Sejak saat itu mereka berpisah.

Pernikahan sang istri dengan tunangannya menghitung bulan lagi. Perpisahan dengan kekasihnya sungguh membuatnya terpukul. Kehadiran sang tunangan dalam hari-harinya tak bisa menjadi penawar pilu.

"Aku ini adalah tunanganmu. Berhentilah untuk menolak takdir. Tuhan menjatahkan kau milikku begitupun sebaliknya."

"Yang menjodohkaan adalah Tuhan. Aku percaya bukan namamu yang dipasangkan dengan namaku."

"Entah sampai kapan kau enggan meyakini. Bukankah pernikahan kita tinggal menghitung purnama saja?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun