Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pacarku Seorang Pelacur

28 Juli 2017   21:56 Diperbarui: 28 Juli 2017   22:29 4657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Masih banyak yang harus kau urusi Parman. Bukan hanya soal ayam jagomu itu yang hilang"

"Tidak paman, ayam itu bukanlah ayam biasa. Apa pun yang terjadi saya akan melaporkan ke polisi"

"Laporanmu tidak bakalan diterima. Hanya persoalan kehilangan ayam saja. Kau malah ngotot melaporkannya ke polisi. Semacam kasus besar saja"

"Itu memang sudah menjadi tugas polisi paman. Bukankah kita ini negara hukum. Bahkan seorang kakek yang kedapatan mencuri tiga potong kayu jati harus menerima ganjarannya dipidanakan tiga bulan. Karena sudah semestinya para aparat hukum harus benar-benar menjunjung tinggi hukum. Tanpa pilih kasih. Mulai dari kaum bourjuis hingga proletar. Saya pun ingin orang yang mencuri ayam jagoku harus dipidanakan"

"Saya tidak setuju denganmu. Kita memang negara hukum. Tapi tidakkah kau lihat bagaimana paraktek hukum dinegeri kita? hanya berjalan dengan satu mata. Ketegasan hukum hanya berlaku bagi orang-orang kecil seperti kita. Mereka yang berduit bisa kebal hukum. Mereka para penguasa bisa mengendalikan hukum. Cobalah untuk ikhlas, bukankah kasus hilangnya ayam jagomu terjadi bulan lalu. Walaupun kau melaporkannya ke polisi, mereka tidak bakalan menggubrisnya. Kasus itu sudah kadaluarsa"

"Tidak ada kasus yang kadaluarsa paman. Hukum tidak memandang itu. Tidakkah paman ingat, dua tahun yang lalu salah satu petinggi KPK harus menerima kenyataan pahit. Dia dipidanakan lantaran kasusnya 8 tahun yang lalu. Sekali lagi paman, siapa pun pelakunya harus menerima ganjarannya. Saya amat menghargai negara ini sebagai negara hukum"

"Hahahahaa, ada-ada saja kamu Parman. Kalau memang kamu masih ngotot ingin melaporkannya silahkan! Lagi pula saya tidak yakin betul kalau ayam jagomu itu telah dicuri orang. Bisa jadi dia kabur dari kandangnya lantaran sudah tidak betah punya majikan penjudi seperti kamu. Kalau memang kamu menghargai hukum dinegeri kita tentunya kau akan sadar kalau praktek sabung ayam adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum"

Parman terdiam setelah mendengar tuturan Paman Dali. Tampaknya dia betul-betul mencerna perkataan pamannya barusan.

"Suda sering saya bilang, jangan hanya mengurusi ayam jagomu yang hilang. Sesekali luangkanlah waktumu untuk ngobrol dengan kekasihmu. Tampaknya masih banyak yang tidak kau ketahui tentangnya"

"Apa itu paman?" Parman mendekatkan wajahnya pada pamannya yang duduk dihadapannya.

"Untuk saat ini saya akan mencoba menutupi aib dia. Terlalu kejam untuk membeberkan semuanya. Bukankah Tuhan akan menutupi aib kita, jika kita bersedia menutup aib orang lain. Dalam waktu dekat ini kau juga pasti tahu. Untuk itu sesegara mungkin kau ngobrol dengannya. Barangkali saja dia sudi membeberkan padamu apa yang telah dia rahasiakan"

***

Bagi Parman bisa saja apa yang telah Paman Dali tuturkan hanyalah spekulasinya belaka. Pinasti bukanlah tipikal wanita yang suka menyembunyikan sesuatu. Namun Parman juga sedikit khawatir jika apa yang dikatakan Paman Dali ada benarnya. Hal itulah yang membuat pikiran Parman runyam. Dia amat mencintai kekasihnya. Sangking cinta dia rela memberikan segalanya untuk Pinasti. Sepatak sawah warisan dari kedua orang tuanya terpaksa digadaikan semata-mata hanya untuk membahagiakan Pinasti. Ulang tahun Pinasti yang kedua puluh empat, Parman menghadiakannya sebuah kalung emas yang cukup mahal. Bukan hanya itu, beberapa lembar baju-baju mahal turut dia berikan pada kekasihnya. Sebagai pembuktian kalau dia benar-benar tulus mencintainya, dan ingin hubungannya berlanjut kejenjang pernikahaan.

Malam minggu, ini adalah malam yang telah dinanti-nantikan Parman. Ada baiknya pertemuannya dengan Pinasti kali ini dijadikan momentum untuk membuktikan perkataan Paman Dali. Dia amat penasaran apa yang sebenarnya Pinasti rahasiakan selama ini. Membuat Parman tak bisa tidur beberapa hari belakangan, lantaran selalu kepikiran hal itu.

"Kita kan sudah tiga tahun pacaran, kita juga sudah saling tahu banyak hal satu sama lain. Namun tidak tertutup kemungkinan masih ada sesuatu hal yang belum saya tahu darimu. Begitu pun dengan kamu, pasti masih ada yang ingin kau tahu dariku. Untuk itulah malam minggu ini baiknya kita saling terbuka satu sama lain. Jangan ada yang disembunyikan"

Parman terdiam sejenak memandangi wajah Pinasti lamat-lamat seraya berkata.

"Kamu tidak merahasiakan sesuatukan dariku?"

Pinasti sedikit terkejut mendengar pernyataan Parman.

"Kenapa mas tiba-tiba bertanya seperti itu padaku? Apa selama ini mas kurang mempercayai aku?"

"Bukan tidak percaya sayang. Saya hanya tak ingin jika orang yang paling aku cintai didunia ini merahasiakan sesuatu dariku. Saya amat mencintaimu Pinasti, percayalah!"

"Kalau memang mas cinta sama aku. Pasti mas tidak akan berfikir yang macam-macam terhadapku dan juga akan selalu bersedia menerima setiap kekuranganku"

"Oh Maaf Sayang, jika omonganku sedikit menyinggung perasaanmu. Saya akan selalu mencintai kekuranganmu kok" Parman meremas jemari Pinasti. Beberapa pelanggang lain yang ada di kedai itu memerhatikan mereka.

Malam minggu kali ini rasa penasaran Parman luluh seketika hanya dengan kata-kata Pinasti. Walau sebenarnya dia selalu dihantui spekulasi Paman Dali.

Masih melekat dalam ingatan Parman awal pertama kalinya di bertemu dengan Pinasti. Saat itu tepat jam dua belas malam. Perjalanan pulang menuju rumahnya, sedikit dalam keadaan mabuk, lantaran baru selesai minum tuak di rumah rekannya. Begitulah kebiasaan Parman kalau lagi setres, jalan satu-satunya adalah minum minuman keras. Dia juga kerap kali hadir di meja-meja judi. Walaupun berlagak preman, namun Parman dikenal sebagai pemuda yang berjiwa sosial yang tinggi. Tatkala dia lagi dinaungi keberuntungan di meja judi, dia tak tanggung-tanggung menyumbangkan hasil judinya untuk pembangunan Masjid. Dia juga sering memberi makan kepada kaum duafa. Tanpa ada rasa bersalah dalam dirinya kalau semua itu diperoleh dari jalan yang haram.

Jauh dari perumahan penduduk, dari kejauhan Parman mendapati tiga orang laki-laki yang sedang membuntuti seorang wanita. Dan perempuan itu adalah Pinasti. Tatkala mereka sudah siap untuk memperkosa Pinasti. Parman tiba-tiba menjadi pahlawan tengah malam. Dia menghajar ketiga laki-laki itu hingga tak berdaya. Saat kejadian itu, Pinasti menaruh kekaguman yang mendalam pada sosok Parman. Begitupun dengan Parman, diam-diam dia mulai mencintai Pinasti sejak pandangan pertama.

Dua bulan sejak kejadian itu. Parman mengungkapkan rasa cintanya pada Pinasti. Tanpa berfikir panjang, tanpa menimbang-nimbang terlebih dahulu. Pinasti menerima dengan setulus hati ajakan Parman untuk pacaran. Sejak saat itulah mereka terikat jalinan asmara yang lebih serius. Bahkan kini Parman tengah sibuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk meminang Pinasti.

Sebenarnya dari dulu Parman menaruh curiga pada kekasihnya itu. Dia sering mendapati Pinasti dijalan saat menjelang waktu fajar tiba. Entah Pinasti dari mana, penampilannya saja terlihat ganjil, tidak seperti penampilan wanita pada umumnya. Awalnya Parman tidak berfikir yang macam-macam. Namun seiiring berjalannya waktu, dia mulai menaruh curiga tatkala dia sudah berulang kali mendapati Pinasti seperti itu. Kuat dugaan Parman, jangan-jangan semua itu ada kaitannya akan pernyataan Paman Dali beberapa hari yang lalu. Bahwasanya ada sesuatu yang disembunyikan Pinasti tanpa sepengetahuannya.

Masih seperti malam minggu kemarin. Selalunya Kedai kopi milik Bang Wahyu adalah tempat andalang bagi Pinasti dan Parman untuk bertemu. Disamping tempat itu romantis juga jauh dari serangan gosip orang-orang disekitarnya. Mereka bahkan betah tiga jam nongkrong di Kedai itu.

Kali ini Parman masih mencari tahu apa sebenarnya yang dirahasiakan Pinasti darinya. Sayangnya tatkala memandangi wajah Pinasti niatnya untuk mengintrogasinya dia urungkan lagi. Paradigmanya yang menaruh kecurigaan pada pacaranya luluh seketika. Saat wajah cantik itu terpampang jelas dikedua pelupuk matanya.

"Aku ingin mas jangan terlalu mudah percaya sama omongan orang-orang diluar sana" cetus Pinasti

"Maksud kamu apa? Kok tiba-tiba bicara seperti itu sih sayang"

"Bisa jadi besok-besok mas dengar gosip miring kalau aku ini orangnya begini dan begitu"

"Kamu tahu kan sayang. Selamanya saya akan selalu berada dipihak kamu. Saya akan lebih percaya perkataan kamu. Jangan cemaskan itu, saya ada didunia hanya untukmu. Karena saya sangat mencintai kamu" Parman menyeruput secangkir kopi yang mulai mendingin dihadapannya.

"Apa selama ini mas belum pernah sama sekali mendengar kabar miring tentangku?"

Parman tidak langsung menjawab pertanyaan Pinasti. Baginya pertanyaan Pinasti barusan terkesan aneh dan ganjil. Apakah Pinasti memang menyembunyikan sesuatu dari Parman? Ataukah jangan-jangan hal tersebut ada kaitannya dengan ucapan Paman Dali pada Parman tempo hari yang lalu?

"Kabar miring tentangmu? Saya rasa belum pernah mendengar itu. Yang saya tahu kalau banyak orang yang menganggap saya sebagai laki-laki beruntung lantaran bisa menjadi kekasihmu. Kau orangnya baik dan cantik. Jikapun esok tiba-tiba ada orang yang memberitahuku kalau kamu tipikal perempuan bejat. Saya anggap itu semua hanya fitnah belaka"

Parman makin bertambah curiga pada Pinasti. Pasti ada sesuatu yang telah dia rahasiakan dari kekasihnya itu. Sayangnya malam minggu kali ini dia belum sanggup bertanya hal yang macam-macam padanya. Lantaran rasa cintanya selalu mengalahkan rasa curiga pada pacarnya.

***

"Jangan sampai kamu salah dalam memilih wanita. Sebelum engkau melangkah lebih jauh. Cobalah renungkan apakah wanita yang kau pilih itu sudah benar-benar cocok denganmu" Ucap salah seorang teman Parman.

"Saya rasa keputusanku sudah bulat, untuk menikahi Pinasti nantinya. Saya sudah merenungkan semuanya kawan, janganlah terlalu khawatir"

"Tampaknya engkau belum banyak tahu tentang pacarmu itu"

"Maksud kamu apaan sih? Jangan banyak ngaco diwaktu pagi begini"

"Hei Parman. Sesekalilah engkau cari tau sendiri kebusukan pacarmu itu?"

Parman merasa tak enak hati mendengar tururan kawannya itu.

"Engkau sebenarnya memang tidak tahu atau hanya pura-pura saja"

"Saya sama sekali tak mengerti apa yang kau bicarakan"

"Pacarmu seorang pelacur. Kau tak tahu itu?"

Bagaikan disambar petir disiang bolong setelah mendengar pernyataan kawannya.

"Apa kau bilang? Pacarku seorang pelacur?" Parman mendekatkan wajahnya pada temannya. Tampaknya dia tak bisa menerima ucapan kawannya itu.

"Engkau sangat ketinggalan info Parman. Hampir separuh pemuda disini sudah tau.Kalau Pinasti itu seorang pelacur. Sengaja mereka tak memberi tahumu. Bisa jadi engkau akan marah. Aku nih sobat engkau. Sudah sepatutnya aku yang memberitahu hal ini padamu. Sebelum kau akan menyesalinya nanti"

"Kau bercanda kan? Mana ada Pinasti melakukan perbuatan sekeji itu. Saya banyak tahu hal tentangnya. Kau jangan menuduh dia yang tidak-tidak" Parman menarik kera baju rekannya. Merasa tak terima semua itu. Wajahnya terlihat memerah, layaknya manusia yang kerasukab anak iblis.

"Aku tak bohong Parman. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Hampir setiap malam dia berada di rumah pelacuran dikampung sebelah" ucapnya setengah gemetaran.

Parman sudah tak bisa membendung amarahnya lagi. Seketika itu juga dia melabuhkan pukulan keras mendarat diwajah rekannya itu. Hingga tersungkur ke tanah.

"Berani sekali kau menuduh Pinasti berbuat seperti itu" Amarah Parman makin tak terkontrol kembali ia meninju wajah rekannya hingga lebam.

"Pinasti bukanlah seorang pelacur. Saya tahu betul orangnya seperti apa. Sekali lagi kau menuduhnya pelacur kau akan mati ditanganku"

Dengan terbata-terbata teman Parman kembali berucap.

"Aku hanya kasihan denganmu Parman. Kau adalah sahabatku, dan aku tak ingin jika kau salah dalam memilih wanita. Kalau kau tak percaya silahkan tanyakan pada Paman Dali, dia tahu segalanya tentang pacarmu"

Malamnya Parman menemui Paman Dali dirumahnya.

"Ada perlu apa kau datang kemari Parman? Jangan bilang kau mau membahas ayam jagomu yang hilang? Atau kau sudah tahu siapa pencurinya? Atau pihak polisi tak menerima laporanmu?"

Parman diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam.

"Apa benar Pinasti seorang pelacur?"

"Hahahahaha, sekalipun kau ingin tahu jawabannya. Saya akan selalu mencoba menutupi aib pacarmu itu. Bukankah tempo hari saya bilang. Ketika kita bersedia menutupi aib orang lain, makan Tuhan pun juga akan menutupi aib kita"

"Terus terang saja Paman. Apakah Pinasti memang benar seorang pelacur?"

"Saya takut jawabanku nantinya akan menjadi alasanmu untuk menghajarku, bisa saja kau akan membunuhku. Saya tidak akan bilang dia seorang pelacur atau bukan. Biarlah kau sendiri yang mencari tahu jawaban dari pertanyaanmu itu. Yang jelasnya ada banyak hal yang belum kau ketahui dari pacarmu. Kau hanya selau berupaya membuat Pinasti bahagia, dan selalu mencintainya. Tapi kau sama sekali tidak pernah meluangkan waktumu untuk mengenalinya lebih dalam lagi. Yang kau tahu tentang Pinasti hanyalah sisi luarnya saja..."

Parman tak bisa lagi menyimak perkataan Paman Dali. Saat itu juga dia pulang dengan kepala tertunduk dan sulit menerima semuanya. Dia belum sepenuhnya percaya kalau Pinasti adalah seorang pelacur.

Saat-saat seperti ini yang dia inginkan hanyalah kejujuran Pinasti. Biarlah Pinasti yang mengatakan semuanya.

Masih seperti malam minggu sebelumnya. Parman dan Pinasti kembali berdua di Kedai kopi milik Bang Wahyu. Parman tak seceria biasanya. Sedari tadi dia terlihat murung, hanya sesekali menampakkan senyumannya. Biasanya saat pertemuan seperti ini sesekali dia akan mengeluarkan jurus jenakanya. Hanya untuk membuat Pinasti tertawa. Suasana kali ini garing, beku, dan tak asyik. Pinasti juga menyadari akan hal itu. Namum dia tidak ingin berspekulasi yang tidak-tidak terhadap Parman.

Sebenarnya Parman ingin sekali menanyakan pada Pinasti, apakah benar dia seorang pelacur? Sebagaimana anggapan orang-orang. Tapi Parman menghindari jangan sampai pertanyaan itu nantinya melukai perasaan Pinasti. Dia amat tidak ingin menyakiti orang yang dia cintai. Jadilah malam minggu kali ini dia belum bisa membuktikan kebenaran anggapan orang-orang tentang pacarnya.

Hari-hari Parman berikutnya masih diliputi perasaan tidak nyaman. Jangan-jangan memang benar Pinasti seorang pelacur. Jangan-jangan ini semua hanya sandiwara belaka. Sengaja mereka menuduh Pinasti pelacur agar dia menjauhi Pinasti. Saat itulah mereka akan mencoba mendekati Pinasti. Begitulah dugaan Parman yang berkicamuk dalam pikirannya.

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi kalau Pinasti memang sosok wanita yang cantik sedap dipandang. Kulitnya mulus dan bersih. Laki-laki otak mesum manapun didunia ini akan tergiyur tatkala memandangi Pinasti.

***

Malam minggu berikutnya. Parman sudah berkomitmen dengan dirinya sendiri untuk menyelesaikan rasa curiganya pada Pinasti. Dia akan mencoba menanyakan hal itu pada Pinasti. Sudah tak tahan dia berlarut-larut dalam rasa penasaran yang mendalam. Malam ini, Dia harus tahu apa yang sebenarnya Pinasti sembunyikan darinya. Memangkah benar dia seorang pelacur?

Di kedai kopi Bang Wahyu kali ini sepi hanya ada 5 orang pengunjung. Dibagian pojok Parman duduk sendiri menikmati betul secangkir kopi sambil dihibur lagu-lagu melow yang diputar di Kedai itu. Dua jam Parman menunggu, namun Pinasti belum juga menampakkan batang hidungnya. Tidak biasanya Pinasti seperti ini. Kalaupun dia telat, biasanya hanya 5-10 menit.

Malam semakin larut tersisa Parman satu-satunya pelanggan di Kedai itu. Dia amat yakin kalau Pinasti pasi akan menemuinya.

"Tampaknya pacarmu tidak bakalan datang kali ini" Bang Wahyu menghampiri Parman, lalu duduk dihadapannya.

"Saya tidak berfikir demikian. Saya tahu betul Pinasti orangnya bagaimana. Dia tidak mungkin mengingkari janjinya"

"Lihat sekarang sudah jam berapa? Jam dua belas. Hanya seorang pelacur yang akan menemui kekasihnya ditengah malam begini"

Parman menjadi berang setelah mendengar tuturan Bang Wahyu.

"Jangan sekali-kali menganggap dia sebagai pelacur, kalau kau masih ingin hidup"

"Kelihatannya kau orangnya keras kepala dan tempramen" Bang Wahyu tersenyum. Emosi Parman kembali tak terkontrol. Dia memukul meja dihadapannya, hingga cangkir yang menyisahkan ampas kopi jatuh ke lantai hancur beberapa kepingan. Seketika itu Parman beranjak dari hadapan Bang Wahyu.

"Hei Parman! Kau mau kemana?" teriak Bang Wahyu. Namun Parman sama sekali tak menghiraukannya lagi.

"Kalaupun kau mau menemui pacarmu, baiknya kamu ke rumah pelacuran itu. Aku yakin pasti dia ada disana bersama laki-laki berhidung belang"

Parman berbalik haluan, wajahnya terlihat memerah. Satu kali pukulan telak menghantam wajah Bang Wahyu. Lalu Parman pergi tanpa sepata kata lagi. Dia menuju pelacuran yang dimaksud Bang Wahyu.

Disana dia tak mendapati Pinasti. Mungkin karena banyak orang serta pencahayaan agak gelap.Sehingga pandangannya sulit menangkap keberadaan Pinasti. Banyak perempuan-perempuan nakal disana dengan pakaian yang menggoda iman, menemani laki-laki yang sedang mabuk.

Parman kembali melelehkan pandangannya. Tetap saja matanya tak dapat menangkap Pinasti. Di sudut ruangan dia mendapati perempuan paruh baya. Dia adalah Cha Bipao, sang pemilik rumah pelacuran tersebut.

"Dimana kau sembunyikan Pinasti?" Parman mengancam Cha Bipao dengan pisau. Cha Bipao gemetaran melihat pisau itu hanya berjarak beberapa senti meter dari perutnya.

"Baiklah aku akan beritau. Tapi turunkan pisaumu" Ucap Cha Bipao terbata-bata. Bedak tebalnya tak mampu menutupi keringat dingin mengalir dipelipisnya. Jantungnya berdegub lebih kencang.

"Dia berada dikamar 13. Ini kuncinya" lanjutnya masih dalam keadaan takut. Sontak Parman meraih kunci itu lalu menuju kamar yang di maksud Cha Bipao.

Saat pintu kamar itu dibuka. Apa yang terpampang dihadapan Parman? Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Perempuan yang paling dia cintai selama ini tengah melayani nafsu bejat seorang laki-laki. Dan siapa gerangan laki-laki itu? Dia adalah Paman Dali. Parman sangat murka dan jijik atas apa yang keduanya lakukan. Seperti ada anak iblis yang merasuki tubuhnya. Parman membunuh Pinasti dan Paman dali dengan menikamya berkali-kali.

"Memang benar pacarku seorang pelacur"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun