Parman menjadi berang setelah mendengar tuturan Bang Wahyu.
"Jangan sekali-kali menganggap dia sebagai pelacur, kalau kau masih ingin hidup"
"Kelihatannya kau orangnya keras kepala dan tempramen" Bang Wahyu tersenyum. Emosi Parman kembali tak terkontrol. Dia memukul meja dihadapannya, hingga cangkir yang menyisahkan ampas kopi jatuh ke lantai hancur beberapa kepingan. Seketika itu Parman beranjak dari hadapan Bang Wahyu.
"Hei Parman! Kau mau kemana?" teriak Bang Wahyu. Namun Parman sama sekali tak menghiraukannya lagi.
"Kalaupun kau mau menemui pacarmu, baiknya kamu ke rumah pelacuran itu. Aku yakin pasti dia ada disana bersama laki-laki berhidung belang"
Parman berbalik haluan, wajahnya terlihat memerah. Satu kali pukulan telak menghantam wajah Bang Wahyu. Lalu Parman pergi tanpa sepata kata lagi. Dia menuju pelacuran yang dimaksud Bang Wahyu.
Disana dia tak mendapati Pinasti. Mungkin karena banyak orang serta pencahayaan agak gelap.Sehingga pandangannya sulit menangkap keberadaan Pinasti. Banyak perempuan-perempuan nakal disana dengan pakaian yang menggoda iman, menemani laki-laki yang sedang mabuk.
Parman kembali melelehkan pandangannya. Tetap saja matanya tak dapat menangkap Pinasti. Di sudut ruangan dia mendapati perempuan paruh baya. Dia adalah Cha Bipao, sang pemilik rumah pelacuran tersebut.
"Dimana kau sembunyikan Pinasti?" Parman mengancam Cha Bipao dengan pisau. Cha Bipao gemetaran melihat pisau itu hanya berjarak beberapa senti meter dari perutnya.
"Baiklah aku akan beritau. Tapi turunkan pisaumu" Ucap Cha Bipao terbata-bata. Bedak tebalnya tak mampu menutupi keringat dingin mengalir dipelipisnya. Jantungnya berdegub lebih kencang.
"Dia berada dikamar 13. Ini kuncinya" lanjutnya masih dalam keadaan takut. Sontak Parman meraih kunci itu lalu menuju kamar yang di maksud Cha Bipao.