Jika kita berbicara mengenai konflik yang bernuansa agama, akan lebih menarik. Di sini, agama berfungsi sebagai justifikasi rasional. Jadi, orang yang rela membunuh atas nama agama merasa tindakan mereka sepenuhnya rasional, karena mereka mengikuti instruksi kitab keyakinan mereka. Agama aliran radikal menumbuhkan kebencian dan doktrinnya akan membenarkan mereka secara kognitif.
“Perdamaian hanya akan tercipta setelah ada pergeseran cara pikir internal dari kedua pihak. Yang kita butuhkan adalah rasa saling menghormati, dan kekuata dari dalam diri untuk tidak membenci. Saat itulah kita takkan berhasil mencapai perdamaian.” (hal 339)
Kesimpulan
Kita harus berusaha keluar dari sentimen dan berusaha mengenal orang lain dengan lebih baik lagi. Tidak ada yang lebih konyol dibanding saling sentimen dan berandai-andai pihak lain memusuhi kita. Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita sudah paham apa itu “tak kenal maka tak sayang”.
Untuk ambil bagian dalam perdamaian, mulailah dari kedamaian hati kita masing-masing. Jika kita menjadi korban konflik, kita memiliki dua pilihan: balas dendam atau memilih perdamaian. Pendendam bagaikan orang kerasukan yang haus darah lawannya. Orang yang memilih damai adalah orang yang secara hukum moral sangat unggul, karena mereka mampu untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Pilihan ada di tangan kita.