Sebenarnya, alasan kehilangan ini sudah cukup untuk membuatnya menjadi seorang pembenci Israel. Siapa yang tak benci jika tiga anaknya meninggal berkeping-keping akibat rudal Israel? Bisa saja orang datang dan mencibir, “Masih ingin toleransi? Tiga putrimu meninggal dengan rupa yang tidak dikenali lagi, tapi masih ingin toleransi?”
Izzeldin sama sekali tidak terpikir untuk balas dendam atau berubah menjadi seorang pembenci. Malahan, ide-ide ini didapatkan dari kompor-kompor yang ada di sekitarnya. “Balas dendam merupakan gagasan yang muncul di bibir dan di benak kebanyakan orang yang kuajak berbicara dalam hari-hari setelah putri dan kemenakanku tewas.” (hal. 295) Hal ini adalah hal yang sebenarnya sering terjadi. Hasutan atau keinginan balas dendam seringkali dicetuskan oleh pihak ketiga, bukannya pihak korban. Ketika korban sedang berduka, seringkali pihak ketiga datang mengobarkan kebencian.
Dalam kesedihannya, Izzeldin tetap memiliki idealismenya yang luar biasa, “Bagi mereka yang menginginkan pembalasan, kataku, sekalipun aku membalas dendam kepada semua orang Israel, apakah itu akan membawa anak-anak perempuanku kembali? Kebencian adalah penyakit. Kebencian mencegah penyembuahn dan perdamaian.” (hal. 297)
Izzeldin dan keluarganya kemudian pindah ke Kanada karena diundang untuk bekerja di sana. Sesampainya di sana, Izzeldin sangat terpukau dengan tetangga-tetangganya yang sangat menerimanya. Tetangganya memiliki anak-anak yang seusia dengan anak-anak Izzeldin. Halaman belakang rumah keduanya dibatasi pagar. Tetangga Izzeldin kemudian melepaskan salah satu bagian pagar, agar anak-anak dapat saling berkunjung.
Menanamkan nilai-nilai toleransi: pembauran