Apa yang akan terlintas jika kita mendengar kata “Amerika”? Apakah kita akan membayangkan kebijakan perang di Timur Tengah? Aliansi dengan Israel? Kebudayaan barbar?
Saat dr. Izzeldin berkesempatan untuk mempelajari kesehatan masyarat di Harvard, ia menjadi lebih mengenal orang Amerika dengan lebih baik lagi. Izzeldin memberikan perspektif seperti ini, “Semula kusangka orang Amerikaa itu sombong. Namun hidup di tengah-tengah mereka mengajariku untuk tidak menghakimi orang hanya karena tidak suka dengan kebijakan pemerintahnnya... Selama di Boston, aku jadi tahu bahwa pada umuymnya rakyat Amerika adallah tetangga yang baik dan ramah,, menduduh mereka sombong sama saja dengan menuduh semua orang Israel penjajah dan semua orang Palestina pembuat onar.” (hal 174).
Bahkan di universitas sekelas Harvard, ada isu sentimen etnis. dr. Izzeldin menceritakan bahwa seorang kawannya menyarankannya untuk tidak mengambil kelas seorang profesor Yahudi, karena ia dikenal membenci orang Arab. Namun, Izzeldin tetap memilih kelasnya dan berbicara langsung dengan profesor tersebut. Ternyata tidak ada yang membenci. Profesor itu malahan mengajak Izzeldin untuk mendampinginnya bertemu dengan seorang pembicara dari Bank Dunia. Inilah yang dinamakan dengan prasangka.
Kita diam, dia diam. Kita pikir dia benci kita, dia pikir kita benci dia.
Dan terjadilah imajinasi di antara keduanya. Keduanya berdelusi yang konyolnya, dapat berujung konflik. Mari sejenak kita mengenal orang yang berbeda dengan kita. Temukan sisi kemanusiannya. Duduk dan berbicara dengannya. Dan buktikan sendiri apakah sentimen itu benar-benar ada atau tidak.
Apa yang biasa kita ajarkan kepada anak-anak kita mengenai orang yang kita benci? Tentu kita akan menanamkan berbagai kebencian pada anak-anak kita yang polos itu. Tak berhenti hanya diindoktrinasi dengan dendam atau labelling yang dahsyat, kita akan membatasi agar anak-anak kita tidak berhubungan atau berbaur dengan kelompok yang kita benci.