Konsep pendidikan inklusi semestinya bisa dirasakan semua anak untuk mewujudkan #SemuaBisaBelajar. Dalam aspek pendidikan, negara sewajibnya hadir dalam memenuhi hak anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan pendidikan formal, nonformal, dan pendidikan informal yang setara.Â
Berdasarkan data per Desember 2023 yang dikutip dari Kompas.com, Kemendikbud menjamin 40.164 sekolah formal di Indonesia memiliki siswa berkebutuhan khusus (disabilitas). Lalu, bagaimana praktiknya di lapangan?
Pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tasikmalaya sekaligus Kompasianer Nuning Sapta Rahayu menceritakan pengalamannya. Menurut Nuning, sebenarnya, pendidikan inklusif di Indonesia makin berkembang.Â
Apalagi, pihak Pemerintah lewat Kemendikbud sudah memberi perhatian lebih serius. Sebagai contoh, Kemendikbud mengadakan Bimtek untuk pemenuhan guru pembimbing khusus sejak 2020 hingga 2023.
Paling tidak, lanjut Kompasianer Nuning, sudah ada ribuan guru-guru umum yang memang diberi pelatihan dan pendidikan yang tidak sebentar.
"Pada tahap penguasaan konsep diberikan waktu selama 9 hari, kemudian pada tahap keterampilan selama 12 hari," kata Kompasianer Nuning.
Bimtek ini diikuti oleh guru di semua jenjang pendidikan, dari PAUD hingga SMA/SMK.
Jadi, dengan pembekalan itu semestinya sudah tidak ada lagi sekolah yang menolak siswa dengan berkebutuhan khusus.
Biar bagaimanapun anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk berkembang lewat layanan pendidikan inklusif.
Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah diperkuat agar tidak seorang pun tertinggal mendapat layanan pendidikan bermutu.
Sulitnya Mendapat Guru Pendamping
Cerita lain datang dari PLt Kepala Sekolah di SD No. 1 Kerobokan, Bali, Putu Erry. Putu yang juga Kompasianer itu mengatakan, beberapa guru memang ada yang sudah mendapat pelatihan, tetapi tidak semua guru siap ketika berhadapan langsung dengan siswa berkebutuhan khusus.
Hal ini jadi perhatian Putu karena sejak menjadi PLt Kepala Sekolah, sudah sejak 2017, Surat Keputusan (SK) sudah diberikan sebagai salah dua sekolah inklusi di Kabupaten Badung.
Meski sulit mencari guru dengan latar belakang psikologi, tetapi perlahan semua pihak stakeholder di sekolah sama-sama membantu: dari memahami dan bahkan memberikan dukungan.
Hak mendapatkan pendidikan menjadi hak semua anak, termasuk anak penyandang disabilitas.
Sekarang ini sistem pendidikan Indonesia memberi pilihan bagi anak-anak difabel, mau ke Sekolah Luar Biasa (SLB) ataupun sekolah reguler yang menyatakan dirinya sebagai sekolah inklusi.
Sedikit tentang sekolah inklusi itu sendiri, merupakan sekolah reguler yang menyatakan dirinya menerima juga anak-anak berkebutuhan khusus.
Sekolah inilah yang jadi tempat Kompasianer Putu Erry mengabdi sebagai PLt Kepala Sekolah dengan total 18 siswa anak berkebutuhan khusus pada tiap tingkat kelas.
Meski tidak ada penanda sebagai sekolah inklusi yang tertera di plang sekolah, masyarakat bisa mengetahui sekolah ini sebagai sekolah yang menerima ABK.
Itupun dari 18 siswa yang terdaftar, sekolahnya masih menerima siswa yang berada di luar zonasi SD No. 1 Kerobokan.
Sebelum masuk sekolah, kata Kompasianer Erry, memang setiap anak akan terlebih dulu melakukan screening hingga assessment awal. Tantangannya adalah tidak mau mengakui keadaan anaknya.
"Tantangannya memang ada, mungkin merasa malu, tetapi rata-rata tidak ada orangtua yang sampai tidak menyekolahkan anaknya," lanjut Kompasianer Erry.
Berbeda cerita dengan apa yang dijalani Kompasianer Nuning yang mengajar di sekolah yang memang dirancang khusus.
Sudah hampir 20 tahun mengajar di Sekolah Luar Biasa, awalnya Kompasianer Nuning ditempatkan di SLB Swasta. Tetapi bidangnya tetap sama, yakni mengajar peserta didik penyandang autisme dan Bahasa Inggris untuk semua anak dengan hambatan.
"Saat ini ada 230 peserta didik dari jenjang TK-LB sampai SMA-LB dengan beragam jenis hambantan penglihatan, pendengaran, autis, hingga hambatan fisik," ungkap Kompasianer Nuning.
Jika dirata-rata, di SLB Negeri Tasikmalaya, anak yang terbanyak mendaftar adalah anak penyandang autisme dan hambatan intelektual.
Sedangkan tenaga pengajar, lanjutnya, terdiri dari 56 guru dan beberapa staf lain sehingga berjumlah 70 karyawan yang bertugas di sana.
Ada cerita menarik terkait bagaimana proses guru-guru di SLB Negeri Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, ini bertugas. Karena mereka tidak hanya mengajar murid yang datang ke sekolah, tetapi "menjemput bola".
Permasalahannya juga beragam, ada yang kesulitan akses menuju sekolah --bahkan untuk kendaraan sepeda motor sekalipun-- ataupun anak dengan hambatan fisik.
"Oleh karena itu dari pihak kami ditugaskan untuk memberikan pelayanan ada kelas jauh di 3 titik tertentu," lanjutnya.
Padahal, dari cerita Kompasianer Nuning, setiap anak yang mendaftar di sekolahnya itu sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis.
Cerita dari Balik Dinding Sekolah Luar Biasa
Tantangan yang masih jadi perhatian Kompasianer Nuning Sapta Rahayu saat mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tasikmalaya adalah anak-anak yang terlambat dimasukkan ke sekolah.
"Malah ada usia 20 tahun baru sekolah, kemudian di sekitar sekolah masih ada anak yang tidak diizinkan sekolah oleh orangtuanya," kata Kompasianer Nuning, menceritakan keadaan yang saat ini sering dihadapi ketika mengajar.
Padahal sekolah tempat Kompasianer Nuning bisa dibilang SLB Negeri terbesar di Kabupaten Tasikmalaya dan menjadi resource center yang memberi layanan untuk sekolah-sekolah umum yang memerlukan konsultasi.
"Jadi, biasanya (tim ini) terjun ke desa-desa setempat untuk mendata apakah ada anak berkebutuhan khusus hingga kunjungan ke rumah-rumah," lanjutnya.
Malah tidak jarang mendapat penolakan sendiri dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Dari banyaknya terjun ke lapangan dan mendapat pengalaman yang beragam, Kompasianer Nuning berkesimpulan bahwa orangtua-orangtua ini mesti melewati fase yang mana sampai mereka bahwa anaknya istimewa.
Biar bagaimanapun karena tujuan dari program ini adalah memberi pelayanan pembelajaran, kemandiaran, hingga vokasional untuk anak-anak.
"Untuk goal-nya nanti anak-anak ini tidak lagi sekadar akademik, apalagi bagi anak-anak dengan hambatan intelektual, yakni bisa lebih mandiri ke depannya," ujar Kompasianer Nuning.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tasikmalaya saat ini ada dari semua jenjang pendidikan, dari TK-LB sampai SMA-LB.
Siswa yang mendaftar juga ada dengan beragam kebutuhan seperti anak dengan hambatan penglihatan, pendengaran, kemudian anak autisme, anak dengan hambatan fisik, dan hambatan intelektual.
"Di sini setelah dikembangkan bahkan mengungguli anak-anak pada umumnya," kata Kompasianer Nuning.
Bantuannya yang diterima SLB Negeri Tasikmalaya tidak tanggung-tanggung, dari alat-alat lukis hingga pelatihan lukis dari Jerman.
"Ternyata anak-anak kami ini kemampuan lukisnya luar biasa, malah ada yang sampai lukisannya dikirim ke Jerman dan mampu terjual," ujar Kompasianer Nuning, ketika menceritakan lukisan anak-anaknya.
Itu baru dari satu keahlian, SLB Negeri Tasikmalaya juga mengembangkan kriya kayu yang dilakukan oleh anak-anak dengan hambatan fisik.
Sedangkan anak-anak penyandang tunanetra yang memiliki suara-suara emas diarahkan ke seni musik dan puisi. Prestasinya juga tak kalah membanggakan, dari lomba cipta baca puisi sempat mendapat juara di tingkat Nasional.
"Kalau anak-anak dengan hambatan pendengaran dioptimalkan ke desain grafis dan komik strip," lanjutnya, manambahkan.
Hal terpenting dari hidup dengan anak-anak berkebutuhan khusus adalah memberi kepercayaan sepenuhnya pada si anak.
Walaupun berhambatan, kata Kompasianer Nuning, kami selalu ada believe dulu; sesusah dan seberat apapun hambatannya pasti tetap ada potensi yang bisa dikembangkan.
Pemahaman Orang Tua tentang Sekolah Luar Biasa
Sampai hari inipun masih ada saja orangtua yang menganggap Sekolah Luar Biasa itu seperti bengkel. Orangtua datang ke sekolah minta untuk dibimbing agar nantinya bisa dipindahkan ke sekolah umum.
Sayangnya, itu pemahaman yang keliru. Komapasianer Nuning mengatakan kalau itu tidak bisa dilakukan secara instan.
Sekolah Luar Biasa biar bagaimanapun tidak bisa menjanjikan, tetapi setiap kali berhadapan dengan orangtua seperti itu, maka Kompasianer Nuning akan menjelaskan bahwa butuh kolaborasi antara sekolah, pengajar, dan orangtua itu sendiri.
"Mari kita sama-sama, untuk progres tidak bisa menjanjikan tetapi kita dapat berkoordinasi bersama, berbagi harapan, berbagi program, kemudian bisa saling merefleksikan bersama," lanjutnya.
Hal demikian jadi jauh lebih penting untuk anak-anak berkebutuhan khusus ini, sehingga setiap waktu terlihat bagaimana perkembangan anak.
Setiap selesai sekolah, Kompasianer Nuning bercerita, banyak orangtua yang menanyakan anaknya belajar apa di sekolah dan bagaimana progresnya.
"Progres itu ada, dari anak itu bersosialisasi hingga tidak mengerti instruksi, malah sampai menyerang temannya, kini seiring berjalannya waktu anak lebih disiplin," katanya.
Fun Fact: Untuk sistem kenaikan kelas peserta didik di SLB itu sudah pasti otomatis naik kelas. Jadi, anak tetap difasilitasi dan bisa berkembang sesuai kapasitasnya.
Program kebutuhan khusus anak penyandang autisme yakni interaksi, komunikasi hingga kemampuan sensorik dan motorik itu diintegrasikan dalam setiap pembelajaran.
"Karena kalau tidak diperhatikan sedikit saja, anak ada yang bisa sampai naik ke lemari; lalu kalau pintu kelas tidak dikunci maka anak sudah (lari) ke mana-mana," lanjutnya, menceritakan pengalaman selama mengajar di kelas.
Pola pengajaran seperti itu nantinya dikomunikasikan ke orangtua, sehingga ketika di rumah pembelajaran masih bisa dilanjutkan dan dikembangkan.
Akan tetapi ada yang tidak kalah penting dari mengajarkan anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu terapi.
Sekarang ini lebih baik dimasukan ke lembaga-lembaga terapi ataupun rumah sakit, karena itu semua sudah tercover oleh BPJS Kesehatan.
Hal tersebut justru bisa menghambat bagaimana perkembangan si anak dari apa yang sudah dapat di sekolah. Malah ada satu kasus yang mana anaknya justru ditarik dari TK-LB dan dimasukan ke TK umum.
"Melihat itu rasanya sangat kasihan, karena di sini ketika anak tidak bisa disatukan maka dibagi sesi, tetapi jika TK umum jadi tidak terperhatikan," ungkapnya.
Bayangkan saja, lanjutnya, jika anak masuk ke sekolah TK umum  betapa banyak siswa kemudian anak dengan anak yang terhambat komunikasi dan sosialisasinya malah terlihat dalam perundungan.
Ketika Sekolah Umum (Bisa) Mendampingi ABK
Latar belakang setiap guru itu penting, kata Kompasianer Putu Erry, dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus. Terlebih sekolah umum itu jadi tantang lebih.
Sebagai Plt Kepala Sekolah di SD No. 1 Kerobokan, Bali, Kompasianer Putu Erry merasa sangat terbantu dengan adanya pelatihan-pelatiahan yang diikuti oleh guru.
"Pelatihan itu sangat membantu, jadi jarang sekali mendapat permasalahan yang cukup signifikan," kata Kompasianer Putu Erry.
Terlebih sekolah yang dipimpinnya ini merupakan salah dua sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan siswa berkebutuhan khusus maka tugas sekolah yakni bisa lebih memaksimalkan hingga mengoptimalkan perkembangan anak.
Namun, sekolah tidak memaksakan itu kepada anak dan melihat potensi apa saja yang dimiliki anak itu sendiri.
Masalah yang banyak ditemui di sekolah-sekolah umum adalah ketika menemukan anak dengan kondisi autism. Menurut Kompasianer Putu Erry, ini yang memerlukan pendidikan khusus juga bagi guru-gurunya.
Kompasianer Putu Erry menjelaskan, karena anak dengan kondisi autism ini secara fisik baik-baik saja, tetapi bagaimana dengan kemmpuan bersosialnya yang lebih diperhatikan.
"Di sekolah kami cukup merata, hampir setiap kelas malah ada 2-3 anak berkebutuhan khusus," katanya.
Apalagi dengan masuknya tahun ajaran baru, ketika wawancara berlangsung, sudah ada 2 siswa anak berkebutuhan khusus yang masuk di sekolah Kompasianer Putu Erry.
Kedua siswa tersebut ada yang masih masuk dalam zonasi dan ada yang dari luar zonasi. Kendala inilah yang jadi perhatian Kompasianer Putu Erry sebenarnya, terkait sekolah inklusi, bahwa banyak sekolah yang tidak siap.
"Kesiapan yang dimaksud ini adalah kembali soal pengajarnya, kalau sarana dan prasarana sejauh ini pasti didukung penuh oleh pemerintah," kata Kompasianer Putu Erry.
Akan tetapi ada yang menarik dari sekolah tempat Kompasianer Putu Erry bertugas ketika bagaimana anak berkebutuhan khusus ini berbaur dengan murid umum lainnya.
Terlebih di SD No. 1 Kerobokan, Bali sudah cukup lama, sekitar 8 tahun jadi dan menjalani sekolah inklusi.
Untuk saat ini memang baru ada 2 guru pendamping khusus yang berlajar psikologi untuk 18 anak berkebutuhan khusus di sekolah. Sistemnya, setiap hari kedua guru tersebut akan mendampingi anak secara bergantian.
"Ketika ada satu anak yang mendapat pendampingan, maka akan digabung dengan anak lainnya di kelas," kata Kompasianer Putu Erry, menjelaskan pola kerja guru pendamping khusus.
Namun, ada strategi lain yang diterapkan, yakni pendamping sebaya. Ada tutor sebaya dan ada pula tutor kakak.
"Ternyata siswa umum yang tidak berkebutuhan khusus berdampak sangat baik, seperti membentuk empatinya, lebih simpati, higga saling tolong menolong," lanjutnya.
Sejauh ini bahkan tidak pernah ditemukan satupun kasus perundungan yang terjadi antara siswa umum kepada anak berkebutuhan khusus maupun sebaliknya. Anak-anak jadi belajar langsung dan menyadari bahwa adanya keberagaman di sekolah.
Sedangkan tugas dari tutor sebaya ini adalah mendampingi adik-adiknya yang berkebutuhan khusus mapun tidak. Ada nama program yang diterap, yaitu "Hai, Kak...".
"Hai Kak atau tutor Kakak ini sekolah memilih siswa kelas 6 yang memiliki kemampuan tidak hanya secara akademis, melainkan secara sosial untuk mendampingin adik-adik kelasnya," ujar Kompasianer Putu Erry.
Menarinya program "Hai, Kak..." ini secara tidak langsung mengajarkan bagaimana seorang Kakak menyangi Adik dan seorang Adik menghormati Kakak.
Jadi, ketika guru mendampingi sekian ratus murid di sekolah, lanjut Kompasianer Putu Erry, lewat program-program yang disusun dan jalankan memberikan layanan terbaik bagi peserta didik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya