Berbeda cerita dengan apa yang dijalani Kompasianer Nuning yang mengajar di sekolah yang memang dirancang khusus.
Sudah hampir 20 tahun mengajar di Sekolah Luar Biasa, awalnya Kompasianer Nuning ditempatkan di SLB Swasta. Tetapi bidangnya tetap sama, yakni mengajar peserta didik penyandang autisme dan Bahasa Inggris untuk semua anak dengan hambatan.
"Saat ini ada 230 peserta didik dari jenjang TK-LB sampai SMA-LB dengan beragam jenis hambantan penglihatan, pendengaran, autis, hingga hambatan fisik," ungkap Kompasianer Nuning.
Jika dirata-rata, di SLB Negeri Tasikmalaya, anak yang terbanyak mendaftar adalah anak penyandang autisme dan hambatan intelektual.
Sedangkan tenaga pengajar, lanjutnya, terdiri dari 56 guru dan beberapa staf lain sehingga berjumlah 70 karyawan yang bertugas di sana.
Ada cerita menarik terkait bagaimana proses guru-guru di SLB Negeri Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, ini bertugas. Karena mereka tidak hanya mengajar murid yang datang ke sekolah, tetapi "menjemput bola".
Permasalahannya juga beragam, ada yang kesulitan akses menuju sekolah --bahkan untuk kendaraan sepeda motor sekalipun-- ataupun anak dengan hambatan fisik.
"Oleh karena itu dari pihak kami ditugaskan untuk memberikan pelayanan ada kelas jauh di 3 titik tertentu," lanjutnya.
Padahal, dari cerita Kompasianer Nuning, setiap anak yang mendaftar di sekolahnya itu sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis.
Cerita dari Balik Dinding Sekolah Luar Biasa
Tantangan yang masih jadi perhatian Kompasianer Nuning Sapta Rahayu saat mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tasikmalaya adalah anak-anak yang terlambat dimasukkan ke sekolah.
"Malah ada usia 20 tahun baru sekolah, kemudian di sekitar sekolah masih ada anak yang tidak diizinkan sekolah oleh orangtuanya," kata Kompasianer Nuning, menceritakan keadaan yang saat ini sering dihadapi ketika mengajar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya