Akan tetapi ada yang menarik dari sekolah tempat Kompasianer Putu Erry bertugas ketika bagaimana anak berkebutuhan khusus ini berbaur dengan murid umum lainnya.
Terlebih di SD No. 1 Kerobokan, Bali sudah cukup lama, sekitar 8 tahun jadi dan menjalani sekolah inklusi.
Untuk saat ini memang baru ada 2 guru pendamping khusus yang berlajar psikologi untuk 18 anak berkebutuhan khusus di sekolah. Sistemnya, setiap hari kedua guru tersebut akan mendampingi anak secara bergantian.
"Ketika ada satu anak yang mendapat pendampingan, maka akan digabung dengan anak lainnya di kelas," kata Kompasianer Putu Erry, menjelaskan pola kerja guru pendamping khusus.
Namun, ada strategi lain yang diterapkan, yakni pendamping sebaya. Ada tutor sebaya dan ada pula tutor kakak.
"Ternyata siswa umum yang tidak berkebutuhan khusus berdampak sangat baik, seperti membentuk empatinya, lebih simpati, higga saling tolong menolong," lanjutnya.
Sejauh ini bahkan tidak pernah ditemukan satupun kasus perundungan yang terjadi antara siswa umum kepada anak berkebutuhan khusus maupun sebaliknya. Anak-anak jadi belajar langsung dan menyadari bahwa adanya keberagaman di sekolah.
Sedangkan tugas dari tutor sebaya ini adalah mendampingi adik-adiknya yang berkebutuhan khusus mapun tidak. Ada nama program yang diterap, yaitu "Hai, Kak...".
"Hai Kak atau tutor Kakak ini sekolah memilih siswa kelas 6 yang memiliki kemampuan tidak hanya secara akademis, melainkan secara sosial untuk mendampingin adik-adik kelasnya," ujar Kompasianer Putu Erry.
Menarinya program "Hai, Kak..." ini secara tidak langsung mengajarkan bagaimana seorang Kakak menyangi Adik dan seorang Adik menghormati Kakak.
Jadi, ketika guru mendampingi sekian ratus murid di sekolah, lanjut Kompasianer Putu Erry, lewat program-program yang disusun dan jalankan memberikan layanan terbaik bagi peserta didik.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya